Sejak mewabahnya pandemi COVID-19 secara global dari bulan Januari 2020 hingga saat ini, hampir seluruh negara di dunia terkena dampak yang cukup signifikan tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi juga di bidang ekonomi bahkan mengarah ke persoalan politik.
Itulah sebabnya, dari sederet dampak berbahaya dari pandemi, seluruh negara di dunia berlomba-lomba menghadirkan vaksin melalui rangkaian penelitian ketat untuk menyudahi pandemi COVID-19, termasuk Indonesia. Dalam usahanya, negeri ini terus melaksanakan rangkaian penelitian vaksin dan menjalin kerjasama dengan berbagai negara untuk memperoleh penangkal virus tersebut.
Meski belum ada titik terang mengenai waktu proses vaksinasi, masyarakat Indonesia sudah terpecah menjadi dua bagian dengan pendapat yang berbeda —pro dan kontra. Mereka yang pro vaksinasi berpendapat bahwa hanya vaksinasi-lah yang menjadi jurus ampuh untuk menghentikan ganasnya COVID-19.
Sedangkan, bagi mereka yang kontra vaksinasi tentu memiliki beragam alasan yang melatarinya, mulai dari keamanan vaksin yang kurang teruji, persoalan kehalalan vaksin, dan mungkin diselimuti pendapat lain yang didasari atas teori konspirasi.
Dengan kondisi seperti ini, kita sudah dapat melihat bahwa akan ada penolakan vaksin oleh sebagian masyarakat pada suatu hari ketika vaksinasi dilaksanakan. Hadirnya masyarakat yang kontra tentu menjadi tugas dan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk melaksanakan vaksinasi kepada masyarakat agar tidak berujung pada gerakan penolakan vaksin.
Sebetulnya, penolakan seperti ini tidak hanya terjadi dalam kasus kekinian saja, tetapi pernah berulang kali terjadi di kepulauan Indonesia.
Sepanjang Belanda berkuasa di Nusantara, pemerintah Hindia Belanda beberapa kali mendapat kabar penolakan vaksinasi dari berbagai daerah. Dalam kasus cacar di Hindia Belanda tahun 1831 misalkan, masyarakat menolak vaksin dengan rela menyogok pemberi vaksin agar anaknya tidak divaksinasi.
Mungkin hal ini dipandang sebagai tindakan penghamburan uang, tetapi kisah ini benar-benar terjadi apabila Anda melihat laporan dr. Waitz dalam penelitian Vivek Neelakantan “Eradicating Smallpox in Indonesia: The Archipelagic Challenge” (2010).
Sejak cacar hadir di kepulauan Indonesia, tepatnya di Ambon, pada tahun 1558, penyakit ini menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial dan masyarakat. Seiring dengan pesatnya perkembangan transportasi dan arus perdagangan, semakin cepat pula penyebaran dan penularan cacar dari satu manusia ke manusia lain hingga ke seluruh wilayah Hindia Belanda pada tahun-tahun berikutnya.
Tentu saja yang dirasakan tidak hanya di sektor kesehatan, tetapi juga di sektor ekonomi. Banyaknya manusia yang sakit mengakibatkan kegiatan ekonomi pun terganggu, sehingga pemerintah kolonial memikirkan upaya untuk meredam keganasan cacar, salah satunya dengan mengadakan riset dan produksi vaksin.
Setelah penantian panjang selama 300 tahun lebih, waktu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, untuk pertama kalinya vaksin cacar diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Johannes Sibberg, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (menjabat, 1801—1805), pada tahun 1804.
Dari sinilah perkembangan vaksinasi cacar di Hindia Belanda dimulai dan upaya vaksinasi pun gencar dilakukan pemerintah Hindia Belanda dari waktu ke waktu sebagai bentuk pencegahan cacar.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Baha’udin, dalam penelitiannya “Dari Mantri Hingga Dokter Djawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial Dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX” di tahun 2006, mengungkapkan bahwa upaya vaksinasi mencapai titik yang signifikan ketika pemerintah secara terorganisir memulai usaha pemberantasan cacar secara nasional saat mengeluarkan Reglement Voor den Burgerlijke Geneeskundige Dienst (Peraturan Dinas Kesehatan) yang dibarengi dengan dikeluarkan Reglement op de uitoefening der koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar) pada tahun 1820.
Namun, apakah pelaksanaan vaksinasi tersebut berjalan lancar?
Dari pembacaan atas penelitian-penelitian mengenai vaksinasi cacar, terungkap bahwa dalam proses vaksinasi terdapat hambatan berupa penolakan vaksin oleh sebagian masyarakat. Alasannya pun beragam, mulai dari alasan yang terkesan lucu hingga alasan yang masih logis dan masuk akal.
Kisah lucu dan menggelitikan tersebut dapat kita lihat pada kasus vaksinasi cacar di Madiun pada tahun 1831. Kala itu, ketika ada vaksinasi, orang tua beserta anaknya langsung kabur ke hutan untuk bersembunyi sebagai langkah penyelamatan diri agar menghindari vaksinasi.
Rupanya, informasi yang sampai ke telinga orang tua tersebut ialah informasi keliru yang mengatakan bahwa vaksinasi adalah upaya pemerintah untuk menjadikan anaknya sebagai makanan untuk buaya peliharaan residen, sehingga mereka pun melarikan diri untuk bersembunyi.
Dalam laporan lainnya, penolakan vaksin ini berujung pada pemberontakan lokal sehingga menimbulkan dampak yang cukup besar dan mengusik pemerintah kolonial, sebagaimana dipaparkan oleh Peter Boomgard dalam artikel “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica Indonesia, 1550-1930” yang terbit tahun 2003 dalam kumpulan tulisan Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde.
Kisah pemberontakan ini terjadi di Banten, Jawa, pada tahun 1820 dan di Sipirok, Sumatera bagian Utara, pada 1847.
Dalam kasus di Sipirok, pemberontakan terjadi karena vaksinasi dianggap sebagai tindakan magis orang Belanda untuk menandai anak mereka agar kelak ketika dewasa nanti anak tersebut bergabung dengan tentara kolonial Belanda. Parahnya, rumor ini mencuat pula di Aceh, Pantai Barat Sumatera, dan Bali; Seakan rumor ini menjadi kisah yang dipercaya di beberapa daerah.
Laporan penolakan vaksinasi lainnya turut dilaporkan oleh dokter keturunan Jerman yang bertugas di Semarang, dr. F.A.C Waitz, sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Vivek Neelakantan dalam penelitiannya tahun 2010. Terungkap beberapa alasan logis yang mendasari masyarakat Jawa menolak vaksinasi.
Dalam laporannya yang merujuk pada tahun 1823, di Kedu, Jawa, penolakan vaksin oleh masyarakat didasari karena cara vaksinasi dilakukan di bawah standar.
Tujuh tahun setelahnya, laporan yang berbeda disampaikan pula oleh Waitz bahwa masyarakat Jawa menolak vaksin karena mereka menyaksikan sebagian anak yang diberi vaksin meninggal dunia, sehingga mereka menolak vaksin karena takut nasib buruk tersebut menimpa pula pada anaknya. Di samping itu, terdapat alasan bahwa pemberi vaksin adalah orang yang tidak terlatih.
Atas permasalahan yang dihadapinya, Waitz mengusulkan tiga cara kepada pemerintah agar vaksinasi berjalan lancar, antara lain dengan mengadakan pelatihan vaksinasi, melakukan sosialisasi vaksinasi dalam buku berbahasa Melayu, dan pengikutsertaan masyarakat lokal dalam proses vaksinasi.
Selain ditolak oleh masyarakat, suara penolakan pun muncul dari pejabat dan pemuka agama. Sebagian di antara mereka melontarkan pernyataan penolakan dengan alasan bahwa tubuh penerima vaksin kelak akan menjadi lemah.
Tidak jarang, argumentasi yang diucapkan didasarkan atas kepercayaan yang mereka anut bahwa penyakit adalah catatan Tuhan dan tidak bisa dicegah karena itu menyalahkan kodrat yang ada, sehingga mereka pun menolak vaksin.
Lantas, dari rangkaian kisah penolakan vaksin tersebut, apa yang dilakukan pemerintah negeri koloni untuk meredam penolakan tersebut?
Pemerintah kolonial rupanya mengetahui bahwa untuk mendekatkan sains modern kepada masyarakat adalah dengan melakukan pendekatan budaya, lokal, dan spiritual, dengan mengajak bangsawan, kepala desa, dan pemuka agama agar mendukung dan terlibat dalam vaksinasi.
Mengingat, terdapat pandangan umum bahwa pada masyarakat tradisional memang hal yang mudah “disentuh” untuk bisa menerima sesuatu hal baru—termasuk sains kesehatan modern—jika berkenaan dengan hal-hal yang menyangkut sistem kepercayaan, adat istiadat, dan kebiasaan yang mereka lakukan.
Uraian lengkap mengenai pendekatan sains dan spiritual dalam kampanye kesehatan sudah dibahas dalam artikel saya disini: Pendekatan Sains dan Spiritual dalam Usaha Kampanye Kesehatan Masyarakat.
Masyarakat lokal, khususnya kaum bumiputra, biasanya akan mengikuti arahan dan mendengarkan instruksi dari para tokoh kharismatik, bangsawan, kepala desa, dan pemuka agama setempat. Pola perilaku inilah yang dilihat oleh pemerintah negeri koloni sebagai hal yang potensial untuk diikutsertakan dalam memperlancar vaksinasi.
Tidak hanya itu, pemerintah kolonial pun mengajak masyarakat bumiputra untuk ikut serta menjadi pemberi vaksin yang disebut mantri cacar dan mengajak dokter-djawa untuk memberikan vaksin. Tentu saja, hal ini didasari atas pertimbangan ikatan emosional dan kultural antara pemberi vaksin dan target vaksin yang berasal dari golongan bumiputra, sehingga kelak akan memudahkan proses sosialisasi dan vaksinasi.
Meskipun dalam perjalanannya terdapat banyak rintangan berupa penolakan vaksin oleh sebagian masyarakat, vaksinasi terbukti menjadi jurus paling ampuh untuk menghentikan dampak berkepanjangan dari penyakit tersebut.
Dengan adanya memori kolektif mengenai penolakan vaksin, sudah seharusnya Indonesia melihat sejarah untuk mengantisipasi kesalahan dan menjadikan sejarah sebagai landasan pembuatan kebijakan khususnya terkait vaksinasi COVID-19 di masa depan.
Apabila melihat sejarah penolakan vaksin, pemerintah seharusnya menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain sebagainya, dalam proses vaksinasi agar berjalan lancar tanpa adanya penolakan baik dalam tahap sosialisasi ataupun ketika pelaksanaan vaksinasi.
Jangan sampai jatuh ke dalam kesalahan yang sama karena tidak mengetahui sejarah. Sebagaimana kalimat bijak “tak ada yang baru dibawah kolong langit", kita sejatinya memiliki pola-pola sejarah yang bisa dicermati untuk menghindari kesalahan dari ‘sejarah berulang' tersebut.
Referensi
- Baha’udin. (2006). “Dari Mantri Hingga Dokter Djawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial Dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX”. Jurnal Humaniora, 18(3): 286-296
- Boomgard, Peter. (2003). “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica Indonesia, 1550-1930” dalam kumpulan Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde.
- Loedin, A.A. (2005). Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.
- Neelakantan, Vivek. (2010). “Eradicating Smallpox in Indonesia: The Archipelagic Challenge”. Health History, 12(1): 61-87.
- Satrio, dkk. (1978). Sejarah Kesehatan Nasional Jilid 1. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Penulis
Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta. Tulisannya berfokus pada kajian sejarah kesehatan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI