Dalam laporannya yang merujuk pada tahun 1823, di Kedu, Jawa, penolakan vaksin oleh masyarakat didasari karena cara vaksinasi dilakukan di bawah standar.
Tujuh tahun setelahnya, laporan yang berbeda disampaikan pula oleh Waitz bahwa masyarakat Jawa menolak vaksin karena mereka menyaksikan sebagian anak yang diberi vaksin meninggal dunia, sehingga mereka menolak vaksin karena takut nasib buruk tersebut menimpa pula pada anaknya. Di samping itu, terdapat alasan bahwa pemberi vaksin adalah orang yang tidak terlatih.
Atas permasalahan yang dihadapinya, Waitz mengusulkan tiga cara kepada pemerintah agar vaksinasi berjalan lancar, antara lain dengan mengadakan pelatihan vaksinasi, melakukan sosialisasi vaksinasi dalam buku berbahasa Melayu, dan pengikutsertaan masyarakat lokal dalam proses vaksinasi.
Selain ditolak oleh masyarakat, suara penolakan pun muncul dari pejabat dan pemuka agama. Sebagian di antara mereka melontarkan pernyataan penolakan dengan alasan bahwa tubuh penerima vaksin kelak akan menjadi lemah.
Tidak jarang, argumentasi yang diucapkan didasarkan atas kepercayaan yang mereka anut bahwa penyakit adalah catatan Tuhan dan tidak bisa dicegah karena itu menyalahkan kodrat yang ada, sehingga mereka pun menolak vaksin.
Lantas, dari rangkaian kisah penolakan vaksin tersebut, apa yang dilakukan pemerintah negeri koloni untuk meredam penolakan tersebut?
Pemerintah kolonial rupanya mengetahui bahwa untuk mendekatkan sains modern kepada masyarakat adalah dengan melakukan pendekatan budaya, lokal, dan spiritual, dengan mengajak bangsawan, kepala desa, dan pemuka agama agar mendukung dan terlibat dalam vaksinasi.
Mengingat, terdapat pandangan umum bahwa pada masyarakat tradisional memang hal yang mudah “disentuh” untuk bisa menerima sesuatu hal baru—termasuk sains kesehatan modern—jika berkenaan dengan hal-hal yang menyangkut sistem kepercayaan, adat istiadat, dan kebiasaan yang mereka lakukan.
Uraian lengkap mengenai pendekatan sains dan spiritual dalam kampanye kesehatan sudah dibahas dalam artikel saya disini: Pendekatan Sains dan Spiritual dalam Usaha Kampanye Kesehatan Masyarakat.
Masyarakat lokal, khususnya kaum bumiputra, biasanya akan mengikuti arahan dan mendengarkan instruksi dari para tokoh kharismatik, bangsawan, kepala desa, dan pemuka agama setempat. Pola perilaku inilah yang dilihat oleh pemerintah negeri koloni sebagai hal yang potensial untuk diikutsertakan dalam memperlancar vaksinasi.
Tidak hanya itu, pemerintah kolonial pun mengajak masyarakat bumiputra untuk ikut serta menjadi pemberi vaksin yang disebut mantri cacar dan mengajak dokter-djawa untuk memberikan vaksin. Tentu saja, hal ini didasari atas pertimbangan ikatan emosional dan kultural antara pemberi vaksin dan target vaksin yang berasal dari golongan bumiputra, sehingga kelak akan memudahkan proses sosialisasi dan vaksinasi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!