Setelah penantian panjang selama 300 tahun lebih, waktu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, untuk pertama kalinya vaksin cacar diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Johannes Sibberg, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (menjabat, 1801—1805), pada tahun 1804.
Dari sinilah perkembangan vaksinasi cacar di Hindia Belanda dimulai dan upaya vaksinasi pun gencar dilakukan pemerintah Hindia Belanda dari waktu ke waktu sebagai bentuk pencegahan cacar.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Baha’udin, dalam penelitiannya “Dari Mantri Hingga Dokter Djawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial Dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX” di tahun 2006, mengungkapkan bahwa upaya vaksinasi mencapai titik yang signifikan ketika pemerintah secara terorganisir memulai usaha pemberantasan cacar secara nasional saat mengeluarkan Reglement Voor den Burgerlijke Geneeskundige Dienst (Peraturan Dinas Kesehatan) yang dibarengi dengan dikeluarkan Reglement op de uitoefening der koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar) pada tahun 1820.
Namun, apakah pelaksanaan vaksinasi tersebut berjalan lancar?
Dari pembacaan atas penelitian-penelitian mengenai vaksinasi cacar, terungkap bahwa dalam proses vaksinasi terdapat hambatan berupa penolakan vaksin oleh sebagian masyarakat. Alasannya pun beragam, mulai dari alasan yang terkesan lucu hingga alasan yang masih logis dan masuk akal.
Kisah lucu dan menggelitikan tersebut dapat kita lihat pada kasus vaksinasi cacar di Madiun pada tahun 1831. Kala itu, ketika ada vaksinasi, orang tua beserta anaknya langsung kabur ke hutan untuk bersembunyi sebagai langkah penyelamatan diri agar menghindari vaksinasi.
Rupanya, informasi yang sampai ke telinga orang tua tersebut ialah informasi keliru yang mengatakan bahwa vaksinasi adalah upaya pemerintah untuk menjadikan anaknya sebagai makanan untuk buaya peliharaan residen, sehingga mereka pun melarikan diri untuk bersembunyi.
Dalam laporan lainnya, penolakan vaksin ini berujung pada pemberontakan lokal sehingga menimbulkan dampak yang cukup besar dan mengusik pemerintah kolonial, sebagaimana dipaparkan oleh Peter Boomgard dalam artikel “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica Indonesia, 1550-1930” yang terbit tahun 2003 dalam kumpulan tulisan Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde.
Kisah pemberontakan ini terjadi di Banten, Jawa, pada tahun 1820 dan di Sipirok, Sumatera bagian Utara, pada 1847.
Dalam kasus di Sipirok, pemberontakan terjadi karena vaksinasi dianggap sebagai tindakan magis orang Belanda untuk menandai anak mereka agar kelak ketika dewasa nanti anak tersebut bergabung dengan tentara kolonial Belanda. Parahnya, rumor ini mencuat pula di Aceh, Pantai Barat Sumatera, dan Bali; Seakan rumor ini menjadi kisah yang dipercaya di beberapa daerah.
Laporan penolakan vaksinasi lainnya turut dilaporkan oleh dokter keturunan Jerman yang bertugas di Semarang, dr. F.A.C Waitz, sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Vivek Neelakantan dalam penelitiannya tahun 2010. Terungkap beberapa alasan logis yang mendasari masyarakat Jawa menolak vaksinasi.