Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jokpin dan Puisi Indonesia

24 April 2022   12:51 Diperbarui: 28 April 2022   18:45 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dari kiri) Para penulis seperti Ahmad Tohari, Joko Pinurbo, dan Vika Wisnu dalam acara Kesaksian! Cerpenis Berbagi di Menara Kompas, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2019). (Foto: KOMPAS.com/ANDIKA ADITIA)

Sepi makin modern_Jokpin_

 Angkatan Puisi Indonesia

Perpuisian Indonesia dengan kemunculan pemuisi dari waktu ke waktu tak dapat dilepaskan dari kondisi yang terjadi saat ia hidup.

Kondisi keagamaan, sosial, pendidikan, politik dan budaya direspon oleh pemuisi bukan sekadar pajangan kata dan kedangkalan makna tapi ada kegelisahan yang harus disuarakan tentang kondisi-kondisi yang rapuh dan menyimpang.

Secara garis besar periode angkatan puisi Indonesia modern terbagi kepada; periode pra pujangga baru dan pujangga baru (1920-1942), periode Angkatan 45 (1942-1955), periode 50-60an (1955-1970an) Periode 70-80an (1970-1990) dan periode 2000.

Angkatan pra pujangga baru dan pujangga baru masih terpengaruh pengucapan puisi lama, seperti pantun dan syair dengan pemuisi seperti M. Yamin dan Sanusi Pane. Aliran yang dominan yaitu romantik, alam, emansipasi dan cinta tanah air karena masih dijajah Belanda.

Angkatan 45, dengan pemuisi diantaranya Chairil Anwar dan Sitor Situmorang serta kondisi Indonesia yang ingin merdeka dari penjajahan Belanda, mengambil bentuk puisi pemberontakan dan perjuangan nasionalisme.

Angkatan 50 dan 60 dalam balutan Orde Lama dan kemunculan PKI menjadikan puisi Indonesia bergerak ke arah yang berbeda dari dua angkatan di atas.

Ada pertentangan keras antara pemuisi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikaitkan dengan PKI  dan moto "Seni untuk Rakyat" yang ditentang pemuisi lain mengatasnamakan agama dan kemunculan Manikebu (Manifestasi Kebudayaan) yang bermoto "Seni untuk Seni."

Diantara tokoh Lekra, Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin sedangkan tokoh Manikebu, H.B Jassin, Goenawan Muhammad dan Taufik Ismail.

Angkatan 70 lebih banyak lagi pemuisi yang bermunculan, apakah itu dari angkatan 50 dan 60an yang masih eksis atau munculnya pemuisi baru.

Illustrasi diambil dari Utaratimes. pikiran-rakyat.com
Illustrasi diambil dari Utaratimes. pikiran-rakyat.com

Periode ini disebut dengan periode sastra, terkhusus puisi karena beberapa pemuisi dibesarkan dalam klub puisi seperti Emha Ainun Nadjib dan berasal dari kampus seperti Sapardi Djoko Damono.

Di Angkatan 70 untuk aliran sangatlah majemuk dan tema puisi yang diambil tergantung kepada pemuisi itu. Seperti Sutardji Chalzoum Bachri yang menjadikan puisi bagai mantra dan Rendra yang puisinya cenderung kritik.

Angkatan 2000 merupakan pemuisi era reformasi dengan ciri khas muncul kembali pemuisi wanita, renungan keagamaan, dominan mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari. Di antara pemuisi angkatan 2000, Oka Rusmini, Acep Zamzam Noor dan Joko Pinurbo (Jokpin).

Arti penting dari periode per angkatan puisi Indonesia bahwa puisi itu tidak muncul dari ruang kehampaan dan tiba-tiba tapi ada sebab dan akibat.

Pun, penciptaan puisi, karakter dan aliran berbeda itu menggambarkan gejolak sosial dan kebudayaan yang terjadi saat itu sehingga puisi merekam rasa dan batin terdalam manusia dengan kata-kata untuk menggugat kondisi itu.

Foto cover buku Celana karya Jokpin diambil dari Mojokstore.com
Foto cover buku Celana karya Jokpin diambil dari Mojokstore.com
Bermula dari Puisi Celana

Di atas dituliskan puisi Indonesia angktan 2000 ada Joko Pinurbo dan lebih dikenal dengan nama Jokpin. Jokpin pemuisi Indonesia yang lahir di tahun 1962 di Sukabumi dan tinggal di Yogyakarta. Sejak SMA belajar sastra dan alumni dari Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma, sekarang menjadi Universitas Sanata Dharma.

Kesukaan Jokpin kepada puisi sejak remaja dan buku puisi DukaMu Abadi karya Sapardi Djoko Damono. Seuntai puisi Sapardi, "masih terdengar sampai di sini/dukaMu abadi" meninggalkan gema dan keterpukauan dalam kepala Jokpin karena ada tabrakan makna antara "duka" dan "terdengar", ditambah misteri yang menyelubungi sosok "Mu".   

Keterpukauan Jokpin kepada puisi semakin menjadi-jadi dengan membaca puisi Iwan Simatupang dan Budi Darma. Puis Iwan dan Budi beraliran absurditas hidup manusia.

Memasuki usia tak lagi muda, Jokpin dalam belasan tahun belajar dan berlatih menulis puisi dengan gamang dan frustasi namun Jokpin bersyukur bisa mengalami frustasi dan tak lantas mati.

Di masa itu Jokpin banyak menciptakan puisi yang tidak mengecewakan namun ia belum menemukan karakter dan gaya penulisan puisi ciri khas Jokpin.

Momen kelahiran kembali Jokpin sebagai penulis puisi terjadi ketika memeriksa ulang karya-karya pemuisi Indonesia untuk menemukan kira-kira apa yang belum mereka tulis.

Momen memeriksa ulang karya-karya pemuisi Indonesia dan pengalaman mencari celana panjang yang sesuai tapi tidak didapatkan oleh Jokpin membawa pencerahan. Sepulang berburu celana yang gagal justru Jokpin memiliki bahan menuliskan puisi tentang celana.

Puisi celana yang berseri "Celana 1", "Celana 2" dan "Celana 3" yang diciptakan Jokpin membuat namanya mulai dikenal di kalangan pemuisi Indonesia.

Bermula dari puisi celana, imajinasi, kreasi dan penjelajahan puisi Jokpin merambah ke berbagai objek dan peristiwa keseharian dan tubuh manusia yang absurd dan komplek semisal puisi cita-cita, di sebuah mandi, telepon genggam, perjamuan khong guan, sepotong hati di angkringan, dan buku latihan tidur.  

Puisi yang dituliskan Jokpin cenderung naratif atau bercerita dengan menguraikan atau menjelaskan sebuah peristiwa sehingga menjadi peristiwa puisi.  

Jokpin baca puisi. Foto dari Pojokseni.com
Jokpin baca puisi. Foto dari Pojokseni.com
Kerja Kepenyairan Jokpin

Kerja kepenyairan/puisi Jokpin sehingga menciptakan puisi yang ciri khas Jokpin dipengaruhi oleh renungan kegelisahan keberadaan manusia, penggunaan bahasa gaul dan lekat dalam keseharian hidup, refleksi keagamaan, dan humor seperti puisi berjudul "Pemeluk Agama."

"Pemeluk Agama"

Dalam doaku yang khusyuk/Tuhan bertanya padaku, hambaNya yang serius ini,/"Halo, kamu seorang pemeluk agama?" /"Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan."

"Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, enggak perlu kamu peluk-peluk./"Sungguh kamu seorang pemeluk agama?"/"Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan."/"Tapi aku lihat kamu enggak pernah memeluk. Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama.

Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk./"Sungguh kamu seorang pemeluk?"/"Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan."/Tuhan memelukku dan berkata,/"Pergilah dan wartakanlah pelukanKu./Agama sedang kedinginan dan kesepian./Dia merindukan pelukanmu." 

Renungan kegelisahan keberadaan manusia dapat ditemukan pada kata-kata, "Dalam doaku yang khusyuk/Tuhan bertanya padaku, hambaNya yang serius ini,/"Halo, kamu seorang pemeluk agama?"/"Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan."

Penggunaan bahasa gaul dan lekat dalam keseharian hidup pada kata-kata, halo, loh, oke, rindu, peluk dan kesepian.

Refleksi keagamaan termuat dalam kata-kata, "Sungguh kamu seorang pemeluk agama?"/"Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan."/"Tapi aku lihat kamu enggak pernah memeluk./Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama. 

Unsur humor pada kata-kata, "Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, enggak perlu kamu peluk-peluk" dan "Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk."

Foto dari Antaranews.com
Foto dari Antaranews.com

Puisi Jokpin Diuji Waktu

Puisi Indonesia telah diuji zaman dan waktu dengan kemunculan pemuisi dari latar belakang dan bentuk yang berbeda.

Perbedaan latar belakang dan bentuk, penting untuk kerja kepenyairan karena tercipta genre dan pengucapan puisi yang berbeda antara satu pemuisi dengan pemuisi lainnya.  

Jokpin dengan latar berbeda dan menggali kerja kepenyairan dari angkatan sebelumnya sehingga memunculkan puisi ciri khas Jokpin yang bertolak dari renungan kegelisahan keberadaan manusia, penggunaan bahasa gaul dan lekat dalam keseharian hidup, refleksi keagamaan, dan humor.

Kreativitas, penjelajahan imajinasi, pengucapan dan naratif puisi Jokpin tentang hal-hal yang dekat dalam keseharian manusia beri warna baru dan tersendiri dalam perpuisian Indonesia. Akankah Jokpin bertahan, tenggelam atau menciptakan penyegaran bahasa dalam puisi?

Taman Bacaan

Joko Pinurbo, Bermain Kata, Beribadah Puisi, Diva Press, Yogyakarta, 2019.

www.kompas.com/Skola/Periode Sastra Pujangga Baru.

Yoseph Yapi Taum, Kegelisahan Eksistensial Joko Pinurbo: Sebuah Tanggapan Pembaca, Jurnal Jentera, Volume 5, Nomor 2, Desember 2016.

JR
Curup
24.4.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun