Mohon tunggu...
FAKHRA SHIBNIFADHILA
FAKHRA SHIBNIFADHILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

FAKHRA SHIBNI FADHILA NIM: 43119010208 FAKULTAS : MANAJEMEN JURUSAN :EKONOMI DAN BISNIS DOSEN : Apollo, Prof. Dr, M.Si. AK. Universitas Mercubuana jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Asuransi Jiwasraya Dilihat dari Aplikasi Pemikiran Panoptikon yang Dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan Konsep Kejahatan Struktural

31 Mei 2023   20:34 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:37 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus Asuransi Jiwasraya adalah salah satu peristiwa yang mengguncang dunia industri asuransi di Indonesia. Jiwasraya, yang merupakan perusahaan asuransi jiwa negara, menjadi sorotan publik karena terkait dengan masalah keuangan yang serius. Asuransi Jiwasraya didirikan pada tahun 1859 dan memiliki sejarah panjang dalam menyediakan layanan asuransi jiwa kepada masyarakat Indonesia. Sebagai perusahaan asuransi jiwa pemerintah, Jiwasraya bertujuan untuk memberikan perlindungan finansial kepada nasabahnya melalui pembayaran klaim asuransi.

Pada tahun 2018, Jiwasraya menghadapi masalah serius terkait dengan keuangan perusahaan. Dalam investigasi yang dilakukan, terungkap bahwa Jiwasraya mengalami kerugian yang cukup besar akibat kebijakan investasi yang meragukan. Investasi yang dilakukan perusahaan dalam instrumen-instrumen yang berisiko tinggi tidak memberikan hasil yang diharapkan, dan ini menyebabkan kerugian yang signifikan. Dampak dari kegagalan investasi ini membuat Jiwasraya tidak mampu membayar klaim asuransi kepada nasabahnya. Ribuan nasabah Jiwasraya, termasuk pemegang polis asuransi jiwa dan pensiun, terdampak secara finansial karena tidak mendapatkan klaim yang seharusnya mereka terima. Banyak di antara mereka adalah pensiunan yang mengandalkan pembayaran asuransi jiwa untuk kehidupan mereka setelah pensiun.

Kesulitan keuangan Jiwasraya disebabkan oleh sejumlah faktor yang kompleks. Praktek investasi yang berisiko tinggi dan tidak terkelola dengan baik menjadi salah satu penyebab utama. Perusahaan melakukan investasi pada instrumen keuangan yang spekulatif dan tidak likuid, seperti saham-saham tidak terdaftar dan obligasi korporasi dengan risiko gagal bayar tinggi. Praktik ini mengakibatkan kerugian yang signifikan dan menimbulkan kekurangan dana yang sulit diatasi.

Selain itu, ada juga masalah terkait kekurangan modal yang signifikan. Praktek penjualan polis dengan skema ponzi atau skema baru membayar polis lama menimbulkan tekanan pada arus kas perusahaan. Jiwasraya mengandalkan pendapatan premi baru untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim yang ada, tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang dari praktik ini. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara aset dan kewajiban perusahaan, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan operasional Jiwasraya.

Asuransi Jiwasraya menghadapi masalah utama dalam manajemen investasi, di mana mereka melakukan investasi yang tidak sehat dan spekulatif. Mereka melakukan investasi dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan secara finansial, termasuk investasi dalam sejumlah besar saham yang mengalami penurunan nilai. Selain itu, ada juga dugaan praktik korupsi dan mal-administrasi yang melibatkan sejumlah pejabat di dalam perusahaan.

Dampak dari masalah keuangan Asuransi Jiwasraya sangat signifikan. Pemegang polis yang seharusnya menerima pembayaran klaim tidak dapat menerima hak-hak mereka, sementara perusahaan menghadapi kebangkrutan dan kehilangan kepercayaan dari publik. Ribuan nasabah yang memiliki polis Asuransi Jiwasraya merasa dirugikan karena tidak dapat memperoleh manfaat finansial yang dijanjikan oleh perusahaan. Selain itu, kasus ini juga memberikan dampak negatif pada stabilitas industri asuransi di Indonesia secara keseluruhan.

Kasus Asuransi Jiwasraya telah menjadi perhatian publik yang luas dan memicu tindakan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat di industri asuransi. Pemerintah dan otoritas terkait berupaya untuk menyelesaikan masalah ini dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor asuransi. Tindakan hukum telah dilakukan terhadap para pelaku yang terlibat dalam kasus ini, dan reformasi di sektor asuransi juga sedang dilakukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Kasus Asuransi Jiwasraya menjadi sorotan publik dan menarik perhatian pemerintah serta otoritas terkait. Selain dampak finansial bagi pemegang polis, kasus ini juga mempengaruhi stabilitas sektor keuangan dan reputasi sektor asuransi di Indonesia. Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas Jiwasraya harus menanggung beban pemulihan keuangan perusahaan dan memberikan jaminan kepada pemegang polis.

Dalam upaya menyelesaikan kasus ini, pemerintah telah melakukan sejumlah tindakan, termasuk penyuntikan modal, restrukturisasi manajemen, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap operasional perusahaan. Kasus Asuransi Jiwasraya juga menjadi panggilan untuk reformasi dalam sistem pengawasan dan regulasi asuransi di Indonesia guna mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.

Kasus Jiwasraya menjadi perhatian publik dan menjadi sorotan media massa. Pemerintah Indonesia terpaksa melakukan intervensi untuk menyelesaikan masalah ini dan melindungi kepentingan nasabah Jiwasraya. Dilakukan penyelidikan lebih lanjut, termasuk melibatkan lembaga penegak hukum, guna menemukan akar permasalahan dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi situasi tersebut.

Kasus Asuransi Jiwasraya menunjukkan pentingnya pengawasan dan manajemen yang ketat dalam industri asuransi. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan sangat penting, terutama dalam hal perlindungan finansial seperti asuransi jiwa. Kejadian ini juga menjadi pelajaran bagi perusahaan asuransi lainnya untuk memperhatikan dengan serius kebijakan investasi mereka dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan untuk melindungi kepentingan nasabah.

Dalam kasus Jiwasraya, terdapat upaya yang sedang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memulihkan keuangan perusahaan. Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan masalah ini dengan memberikan solusi yang adil bagi para nasabah yang terdampak. Tindakan hukum juga diambil terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kesalahan dan pelanggaran yang telah terjadi. Kasus Asuransi Jiwasraya mengingatkan kita akan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam menjalankan bisnis asuransi. Dalam industri asuransi, kepercayaan adalah aset berharga yang harus dijaga dengan baik demi kepentingan nasabah dan stabilitas industri secara keseluruhan.

Kasus Asuransi Jiwasraya yang terjadi di Indonesia telah menyoroti masalah kejahatan struktural di perusahaan tersebut. Kejahatan struktural merujuk pada praktik yang terjadi di dalam sistem organisasi dan melibatkan orang-orang di berbagai tingkatan. Dalam konteks ini, konsep panoptikon yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18 dapat memberikan sudut pandang yang relevan. Konsep ini menggambarkan sebuah struktur pengawasan yang menyeluruh dan berkelanjutan, di mana individu-individu yang dipantau merasa selalu terawasi, bahkan jika pengawasan sebenarnya tidak terjadi secara konstan. Dalam artikel ini, kami akan menganalisis penerapan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya dan mengeksplorasi dampaknya terhadap kejahatan struktural.

Kasus Asuransi Jiwasraya menimbulkan banyak kekhawatiran terkait praktik kejahatan struktural yang terjadi di perusahaan tersebut. Dalam konteks ini, konsep panoptikon yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dapat memberikan wawasan yang relevan. Artikel ini menganalisis penerapan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya dengan fokus pada dampaknya terhadap kejahatan struktural. Penelitian ini mengidentifikasi tantangan, peluang, dan implikasi yang terkait dengan penerapan konsep panoptikon dalam mengatasi kejahatan struktural di perusahaan asuransi. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan konsep panoptikon dapat meningkatkan pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas di dalam perusahaan serta memperkuat efektivitas penegakan hukum. Namun, terdapat juga tantangan dan keterbatasan dalam menerapkan konsep tersebut, termasuk masalah privasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara pengawasan yang efektif dan perlindungan privasi individu. Selain itu, peran pemerintah dan otoritas terkait juga sangat penting dalam mencegah kejahatan struktural dengan menerapkan regulasi yang sesuai dan melakukan pengawasan yang ketat. Melalui analisis ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya penerapan konsep panoptikon dalam mengatasi kejahatan struktural dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya.

Gambaran Permasalahan dalam Kasus Asuransi Jiwasraya:

  1. Kebijakan investasi yang meragukan: Jiwasraya menghadapi masalah keuangan yang serius akibat kebijakan investasi yang tidak konservatif. Perusahaan melakukan investasi dalam instrumen yang berisiko tinggi tanpa hasil yang diharapkan, menyebabkan kerugian yang signifikan.
  2. Ketidakmampuan membayar klaim: Akibat kerugian yang dialami, Jiwasraya mengalami kesulitan untuk membayar klaim asuransi kepada nasabahnya. Ribuan nasabah tidak menerima klaim yang seharusnya mereka terima, termasuk pemegang polis asuransi jiwa dan pensiun.
  3. Tindakan yang melanggar prinsip asuransi: Kasus Jiwasraya mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip asuransi, yaitu pembayaran klaim yang dapat diandalkan dan keamanan dana nasabah. Hal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga asuransi.
  4. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas: Terdapat kurangnya transparansi terkait kebijakan investasi Jiwasraya, serta kurangnya akuntabilitas dalam mengawasi tindakan dan keputusan yang diambil oleh manajemen perusahaan.
  5. Dampak sosial dan ekonomi: Kasus Jiwasraya memiliki dampak yang luas, terutama bagi nasabah yang terdampak secara finansial. Banyak pensiunan yang mengandalkan pembayaran asuransi jiwa untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setelah pensiun.
  6. Kelemahan sistem pengawasan: Terungkap kelemahan dalam sistem pengawasan yang ada, baik dari regulator maupun lembaga terkait, dalam memastikan kepatuhan perusahaan terhadap aturan dan kebijakan yang berlaku.
  7. Konflik kepentingan: Dugaan terjadinya konflik kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat, termasuk manajemen perusahaan dan pihak eksternal yang terlibat dalam kebijakan investasi.
  8. Kerugian bagi citra industri asuransi: Kasus Jiwasraya merusak citra industri asuransi secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga asuransi menjadi terpengaruh, dan hal ini dapat berdampak negatif pada pertumbuhan industri. .  

Permasalahan-permasalahan ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperkuat tata kelola perusahaan, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta memperbaiki sistem pengawasan dalam industri asuransi.

PENERAPAN PANOTIKON PADA KASUS JIWASRAYA

Panoptikon adalah konsep yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18. Konsep ini menggambarkan suatu bentuk institusi pengawasan yang dirancang untuk mengontrol dan mengatur perilaku individu dengan cara yang efektif. Istilah "panoptikon" berasal dari kata Yunani "pan" yang berarti "semua" dan "optikos" yang berarti "melihat".

Dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya, aplikasi pemikiran panoptikon yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dapat memberikan wawasan tentang permasalahan yang terjadi. Panoptikon adalah suatu konsep arsitektur penjara yang dirancang untuk menciptakan pengawasan yang terus-menerus terhadap para narapidana. Konsep ini dapat diterapkan dalam kasus Jiwasraya untuk mengidentifikasi beberapa permasalahan utama. Namun, penting untuk dicatat bahwa penggunaan konsep ini hanyalah sebagai alat pemikiran dan bukan penafsiran yang mutlak atau sepenuhnya relevan dengan kasus tersebut.

Prinsip-prinsip utama dalam konsep panoptikon adalah sebagai berikut:

  1. Struktur fisik: Panoptikon melibatkan struktur fisik yang khas, yaitu bangunan dengan ruang pusat berbentuk melingkar atau persegi dengan sel-sel penjara atau ruangan yang menghadap ke pusat. Bangunan ini dirancang sedemikian rupa sehingga pengawas dapat memantau semua sel atau ruangan dari pusat, sementara tahanan atau individu yang diamati tidak dapat melihat apakah mereka sedang diamati.
  2. Pengawasan tak terlihat: Prinsip utama panoptikon adalah pengawasan yang tak terlihat. Dalam panoptikon, individu yang diamati tidak tahu apakah dan kapan mereka sedang diamati. Oleh karena itu, mereka cenderung mengasumsikan bahwa mereka selalu diawasi, yang menciptakan efek psikologis dan mempengaruhi perilaku mereka. Ini mendorong individu untuk mematuhi aturan dan norma yang ditetapkan.
  3. Keberadaan ancaman atau janji: Keberadaan pengawasan dalam panoptikon menghasilkan efek ancaman atau janji. Individu yang diamati merasa ada risiko jika mereka melanggar aturan atau norma yang ditetapkan, karena mereka tidak tahu apakah mereka sedang diamati atau tidak. Di sisi lain, keberadaan pengawasan juga memberikan janji keamanan dan perlindungan bagi mereka yang mematuhi aturan.
  4. Pembentukan disiplin diri: Panoptikon mendorong individu untuk menginternalisasi aturan dan norma yang ditetapkan oleh pengawas. Mereka menjadi lebih disiplin dan mengontrol perilaku mereka sendiri karena mereka percaya bahwa mereka selalu bisa diamati. Ini menghasilkan pembentukan disiplin diri yang mengurangi kebutuhan pengawasan eksternal yang intensif.

Dalam konteks panoptikon, Bentham melihat pengawasan sebagai alat yang kuat untuk mengatur perilaku dan mempertahankan keteraturan sosial. Konsep ini telah mempengaruhi banyak bidang, termasuk sistem penjara, institusi pendidikan, dan pengawasan masyarakat.

  1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas: Konsep panoptikon menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam mengawasi tindakan dan keputusan yang diambil. Dalam kasus Jiwasraya, terdapat kekurangan transparansi terkait dengan kebijakan investasi yang dilakukan oleh perusahaan dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan kesehatan keuangan perusahaan. Kurangnya akuntabilitas dan pengawasan menyebabkan peluang bagi praktik yang meragukan untuk terjadi.
  2. Kelemahan sistem pengawasan: Konsep panoptikon juga mengungkapkan kelemahan sistem pengawasan yang ada. Dalam konteks Jiwasraya, ada pertanyaan tentang efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh regulator dan lembaga terkait dalam memastikan kepatuhan perusahaan terhadap aturan dan kebijakan yang berlaku. Sistem pengawasan yang tidak memadai dapat memungkinkan pelanggaran atau kekurangan dalam operasi perusahaan.
  3. Konflik kepentingan: Panoptikon mencerminkan pentingnya mengidentifikasi dan mengelola konflik kepentingan. Dalam kasus Jiwasraya, ada dugaan terjadinya konflik kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat, termasuk manajemen perusahaan, pengambil keputusan, dan pihak eksternal yang terlibat dalam kebijakan investasi. Ketidakmampuan mengelola konflik kepentingan dapat menyebabkan tindakan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan dan nasabah.

Tujuan analisis menggunakan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya adalah:

1. Memahami kegagalan pengawasan: Dengan menerapkan konsep panoptikon, tujuan utama adalah untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengawasan dalam kasus Jiwasraya. Dengan memahami akar penyebab kegagalan 

pengawasan, dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki sistem pengawasan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Mengungkapkan implikasi terhadap stabilitas perusahaan: Analisis menggunakan konsep panoptikon juga bertujuan untuk mengungkapkan dampak kegagalan pengawasan terhadap stabilitas perusahaan. Dengan memahami implikasi dari praktik investasi yang merugikan dan kekurangan pengawasan, dapat diidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas perusahaan dan memulihkan kepercayaan publik.

Memberikan dasar untuk perbaikan sistem pengawasan: Melalui penerapan konsep panoptikon, analisis ini berusaha memberikan dasar bagi perbaikan sistem pengawasan dalam sektor asuransi. Dengan mengidentifikasi kelemahan dalam pengawasan dan menyoroti pentingnya transparansi dan pengaruh yang dijanjikan, dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat sistem pengawasan dan mencegah terjadinya penyelewengan di masa mendatang.

Relevansi analisis menggunakan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya adalah untuk mengaitkan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dengan kerangka pemikiran yang telah dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Dengan menerapkan konsep panoptikon, dapat diungkapkan aspek-aspek yang relevan dalam kasus ini, seperti kurangnya pengawasan aktif, kekurangan transparansi, dan pengaruh yang dijanjikan. Analisis ini dapat memberikan wawasan baru dan perspektif yang berbeda dalam memahami kompleksitas kasus Asuransi Jiwasraya dan memberikan dasar untuk perbaikan sistem pengawasan di sektor asuransi.

Penerapan konsep panoptikon dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengawasan dan dampaknya terhadap stabilitas perusahaan serta sektor asuransi secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa aspek penerapan konsep panoptikon dalam kasus ini:

  1. Kurangnya pengawasan aktif: Konsep panoptikon menekankan pentingnya pengawasan yang konstan dan terus-menerus. Dalam kasus Jiwasraya, terdapat kelemahan dalam sistem pengawasan yang aktif terhadap praktik investasi perusahaan. Kurangnya pemantauan yang efektif memungkinkan praktik investasi berisiko tinggi berlangsung tanpa terdeteksi. Pengawasan yang lebih ketat dan pemantauan yang lebih aktif dapat membantu mencegah praktik-praktik yang merugikan dan melindungi kepentingan pemegang polis.
  2. Kekurangan transparansi: Konsep panoptikon juga menekankan pentingnya transparansi dalam pengawasan. Dalam kasus Jiwasraya, kurangnya transparansi mengenai praktik investasi yang dilakukan oleh perusahaan menyulitkan pengawasan dan membuatnya rentan terhadap penyimpangan. Informasi yang tersembunyi atau sulit diakses memungkinkan praktik-praktik yang merugikan untuk berlangsung tanpa terdeteksi. Peningkatan transparansi dalam operasi perusahaan asuransi dapat memperkuat pengawasan dan membangun kepercayaan publik.
  3. Pengaruh yang dijanjikan: Konsep panoptikon menekankan bahwa keberadaan pengawasan itu sendiri dapat mempengaruhi perilaku individu. Dalam kasus Jiwasraya, keberadaan pengawasan yang tidak memadai mungkin telah memberikan persepsi kepada pihak internal perusahaan bahwa tindakan mereka tidak akan terdeteksi atau dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat mendorong munculnya praktik-praktik yang merugikan. Dengan menerapkan konsep panoptikon, yaitu menciptakan persepsi bahwa pengawasan selalu ada dan tindakan akan dipertanggungjawabkan, dapat membantu mencegah pelanggaran dan penyelewengan dalam perusahaan asuransi.

Dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya, penerapan konsep panoptikon dapat memberikan pandangan yang lebih luas tentang kegagalan pengawasan dan memberikan dasar untuk perbaikan sistem pengawasan. Melalui pengawasan yang lebih ketat, transparansi yang lebih besar, dan pengaruh yang dijanjikan, perusahaan asuransi dapat membangun lingkungan yang lebih akuntabel, menghindari praktik-praktik yang merugikan, dan menjaga stabilitas sektor asuransi secara keseluruhan.

Menerapkan konsep panoptikon dalam praktik pengawasan dan kontrol memiliki tantangan dan keterbatasan tertentu. Berikut adalah beberapa tantangan dan keterbatasan yang dapat muncul:

  1. Resistensi individu: Konsep panoptikon didasarkan pada kontrol yang berpusat dan pengawasan yang terus-menerus. Namun, individu atau kelompok yang menjadi objek pengawasan mungkin mengalami resistensi terhadap sistem ini. Mereka dapat mempertanyakan legitimasi kekuasaan dan otoritas yang melaksanakan pengawasan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan: Sistem panoptikon dapat memberikan kekuasaan yang besar kepada mereka yang mengendalikannya. Hal ini membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, pengintimidasi, atau pelanggaran privasi individu yang tidak sesuai dengan tujuan awal sistem pengawasan.
  3. Pengabaian kesalahan struktural: Fokus pada pengawasan individu dalam konsep panoptikon dapat mengaburkan pemahaman terhadap kesalahan struktural yang mungkin ada dalam suatu sistem. Kejahatan struktural dan kegagalan sistem yang mendasar tidak selalu terdeteksi oleh sistem pengawasan ini.
  4. Biaya dan kompleksitas: Menerapkan sistem panoptikon dalam skala besar dapat melibatkan biaya yang signifikan. Mengatur infrastruktur yang diperlukan untuk pengawasan terus-menerus, termasuk teknologi dan personel, dapat menjadi rumit dan membutuhkan sumber daya yang besar.
  5. Dampak psikologis: Konsep panoptikon dapat menciptakan lingkungan yang cenderung menghasilkan kecemasan dan rasa terancam pada individu yang berada dalam situasi pengawasan terus-menerus. Hal ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis individu.

Menerapkan konsep panoptikon dalam konteks perusahaan dan sistem peradilan dapat memiliki implikasi yang signifikan. Berikut adalah beberapa implikasi yang mungkin terjadi:

  1. Implikasi untuk perusahaan: a. Peningkatan pengawasan internal: Konsep panoptikon dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengawasan internal terhadap karyawan dan proses bisnis mereka. Hal ini dapat membantu dalam mendeteksi pelanggaran internal, penyalahgunaan kekuasaan, atau kecurangan yang dapat merugikan perusahaan. b. Peningkatan transparansi: Penerapan konsep panoptikon dapat mendorong perusahaan untuk lebih transparan dalam kebijakan, praktik, dan pelaporan. Ini dapat membantu mengurangi risiko terjadinya kejahatan struktural dan memperkuat kepercayaan pemegang saham dan pelanggan. c. Kesadaran dan kepatuhan: Sistem pengawasan yang berdasarkan konsep panoptikon dapat meningkatkan kesadaran karyawan terhadap aturan dan kebijakan perusahaan. Dengan adanya pemantauan yang terus-menerus, karyawan lebih cenderung mematuhi aturan dan menghindari perilaku yang melanggar.
  2. Implikasi untuk sistem peradilan:

a. Bukti elektronik: Konsep panoptikon mengandalkan pemantauan dan pengumpulan data yang intensif. Ini dapat menciptakan sumber bukti elektronik yang melimpah dalam kasus-kasus peradilan. Sistem peradilan harus siap untuk menangani dan menganalisis bukti elektronik yang kompleks dan melibatkan teknologi canggih.

b. Privasi dan hak asasi manusia: Penggunaan sistem panoptikon dalam pengawasan dan pengumpulan informasi dapat menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan hak asasi manusia. Sistem peradilan perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan pengawasan dan perlindungan hak-hak individu.

c. Peningkatan efektivitas penegakan hukum: Dengan adanya sistem panoptikon, penegakan hukum dapat menjadi lebih efektif dalam mendeteksi dan menangani kejahatan struktural. Pengumpulan bukti elektronik yang melimpah dan kemampuan pengawasan yang kuat dapat membantu sistem peradilan dalam memproses kasus secara lebih efisien dan adil.

Permasalahan dalam Kasus Asuransi Jiwasraya yang Terkait dengan Kejahatan Struktural:

Kejahatan struktural mengacu pada tindakan kriminal atau perilaku yang merugikan yang tidak hanya disebabkan oleh individu atau kelompok individu tertentu, tetapi juga merupakan hasil dari struktur atau sistem sosial yang ada. Kejahatan struktural melibatkan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam struktur sosial, ekonomi, politik, atau budaya.

Identifikasi kejahatan struktural dalam kasus Jiwasraya:

  1. Manipulasi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Dalam kasus Jiwasraya, terdapat indikasi adanya manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan. Hal ini mencakup pengambilan keputusan investasi yang meragukan dan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah.
  2. Pelanggaran Etika dan Tanggung Jawab: Kejahatan struktural juga mencakup pelanggaran etika dan tanggung jawab oleh individu atau kelompok yang berada dalam posisi kekuasaan. Dalam kasus Jiwasraya, terdapat indikasi kelalaian dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap nasabahnya.
  3. Konflik Kepentingan dan Keuntungan Pribadi: Kejahatan struktural dapat melibatkan konflik kepentingan dan pengambilan keputusan yang didorong oleh keuntungan pribadi daripada kepentingan organisasi atau nasabah. Dalam kasus Jiwasraya, dugaan adanya konflik kepentingan dan tindakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam kebijakan investasi.
  4. Kerugian Sistemik: Kejahatan struktural dapat menciptakan kerugian yang meluas dalam sistem atau struktur sosial. Dalam kasus Jiwasraya, kerugian keuangan yang terjadi tidak hanya mempengaruhi perusahaan itu sendiri, tetapi juga nasabah dan masyarakat secara keseluruhan.

Dampak kejahatan struktural dalam kasus Asuransi Jiwasraya terhadap perusahaan dan pemegang polis dapat meliputi:

  1. Kerugian finansial: Kejahatan struktural dalam kasus Jiwasraya, seperti praktek investasi berisiko tinggi dan penyelewengan dana, telah menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan. Kerugian ini dapat mengancam keberlanjutan operasional perusahaan dan membahayakan dana yang seharusnya tersedia untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis.
  2. Kehilangan kepercayaan publik: Kejahatan struktural dalam perusahaan asuransi dapat merusak kepercayaan publik terhadap perusahaan dan industri secara keseluruhan. Pemegang polis dan calon nasabah mungkin kehilangan kepercayaan mereka terhadap Jiwasraya dan meragukan integritas dan kemampuan perusahaan untuk melindungi kepentingan mereka.
  3. Gangguan stabilitas pasar: Kasus Jiwasraya yang melibatkan kejahatan struktural dapat menyebabkan gangguan dalam pasar asuransi. Ketidakstabilan ini dapat mempengaruhi iklim bisnis secara keseluruhan dan mengurangi kepercayaan investor serta partisipasi pemegang polis dalam industri asuransi.
  4. Dampak sosial dan ekonomi: Dampak kejahatan struktural dalam kasus Jiwasraya juga dapat dirasakan secara lebih luas dalam masyarakat. Kehilangan dana investasi yang signifikan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan stabilitas keuangan negara.

PENERAPAN PANOPTIKON TERHADAP KEJAHATAN STRUKTURAL

Dampak penerapan konsep panoptikon terhadap kejahatan struktural dalam konteks kasus Asuransi Jiwasraya dapat meliputi:

  1. Pencegahan kejahatan: Penerapan panoptikon menciptakan kesadaran konstan bahwa individu selalu terpantau dan diawasi. Hal ini dapat mencegah terjadinya kejahatan struktural, karena individu cenderung mempertimbangkan risiko dan konsekuensi dari tindakan mereka jika mereka sadar bahwa mereka selalu terpantau.
  2. Pengurangan peluang kejahatan: Konsep panoptikon menciptakan lingkungan di mana pelaku kejahatan sulit untuk beroperasi tanpa terdeteksi. Ketika individu tahu bahwa mereka selalu terawasi, mereka cenderung mengurangi peluang mereka untuk melakukan kejahatan struktural. Ini dapat mengurangi kemungkinan kejahatan dalam organisasi seperti Asuransi Jiwasraya.
  3. Peningkatan akuntabilitas: Penerapan panoptikon mendorong individu dan pihak yang terlibat dalam keputusan dan tindakan organisasi untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Dengan adanya pengawasan yang konstan, individu lebih condong untuk mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang mereka ambil, sehingga mengurangi peluang terjadinya kejahatan struktural.
  4. Meningkatkan transparansi: Konsep panoptikon juga mendorong transparansi dalam operasi perusahaan. Dengan pengawasan yang terus-menerus, informasi tentang tindakan dan keputusan yang diambil akan lebih mudah terungkap. Hal ini dapat membantu mengurangi kesempatan bagi individu atau kelompok untuk melakukan kejahatan struktural secara tersembunyi.

Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa penerapan konsep panoptikon dalam konteks Asuransi Jiwasraya dapat memberikan manfaat dalam mencegah dan mengurangi kejahatan struktural. Namun, penting untuk diingat bahwa penerapan panoptikon juga memiliki keterbatasan dan tantangan tersendiri, serta perlunya memastikan penggunaannya dengan prinsip-prinsip etika dan keadilan.

Penerapan konsep panoptikon dapat menjadi penting dalam mengatasi kejahatan struktural dengan beberapa alasan berikut:

  1. Peningkatan pengawasan: Konsep panoptikon mendorong pengawasan yang terus-menerus dan mendalam terhadap individu dan proses. Dalam konteks kejahatan struktural, ini berarti bahwa tindakan yang mencurigakan atau tidak etis dapat terdeteksi lebih cepat. Pengawasan yang intensif dan konsisten dapat mengurangi kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk beroperasi tanpa terdeteksi.
  2. Meningkatkan transparansi: Penerapan panoptikon mendorong transparansi dalam organisasi. Dengan sistem pengawasan yang terus-menerus, informasi dan keputusan dapat diakses secara lebih terbuka oleh pemangku kepentingan. Transparansi ini dapat mengurangi risiko adanya praktik korupsi, manipulasi, atau kecurangan yang tersembunyi dalam struktur organisasi.
  3. Meningkatkan akuntabilitas: Konsep panoptikon mendorong akuntabilitas dalam tindakan dan keputusan. Dengan adanya pengawasan yang terus-menerus, individu atau kelompok yang bertanggung jawab atas keputusan atau tindakan dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. Ini memperkuat tanggung jawab mereka terhadap konsekuensi dari tindakan mereka, baik itu positif maupun negatif.

    1. Membangun budaya kepatuhan: Penerapan panoptikon dapat membantu dalam membangun budaya kepatuhan dalam organisasi. Ketika karyawan menyadari bahwa mereka terus-menerus dipantau, mereka lebih cenderung mematuhi aturan, etika, dan kebijakan yang berlaku. Ini membantu mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan struktural.
    2. Meningkatkan efektivitas penegakan hukum: Dalam konteks penegakan hukum, konsep panoptikon dapat memberikan sumber informasi dan bukti yang lebih kuat. Sistem pengawasan yang terus-menerus dapat menghasilkan bukti elektronik yang melimpah, yang dapat digunakan dalam penyelidikan dan penuntutan kejahatan struktural. Ini memperkuat efektivitas penegakan hukum dalam menindak pelaku kejahatan dan memperkuat sistem peradilan.
  4. Namun, penting untuk diingat bahwa penerapan konsep panoptikon juga harus mempertimbangkan keseimbangan dengan privasi individu, hak asasi manusia, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Regulasi yang tepat dan pengawasan yang hati-hati diperlukan untuk menjaga keadilan dan menjaga integritas sistem pengawasan.

    Penerapan konsep panoptikon dalam mengatasi kejahatan struktural juga dihadapkan pada tantangan dan peluang untuk masa depan. Berikut adalah beberapa tantangan dan peluang yang perlu diperhatikan:

    Tantangan:

    1. Privasi dan hak asasi manusia: Pengawasan yang intensif dan terus-menerus dalam penerapan konsep panoptikon dapat menimbulkan masalah privasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Perlu ada perhatian khusus dalam menjaga keseimbangan antara pengawasan yang efektif dan perlindungan privasi individu.
    2. Penyalahgunaan kekuasaan: Sistem pengawasan yang kuat juga dapat menjadi sarana untuk penyalahgunaan kekuasaan. Ada risiko bahwa pihak yang memiliki akses ke sistem pengawasan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk tujuan yang tidak sesuai atau merugikan pihak lain. Diperlukan kontrol dan pengawasan yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan ini.
    3. Kelemahan teknologi: Sistem panoptikon bergantung pada teknologi yang handal dan aman. Namun, ada risiko bahwa sistem tersebut rentan terhadap serangan siber, manipulasi data, atau gangguan teknis lainnya. Perlu adanya langkah-langkah keamanan dan pemeliharaan yang tepat untuk mengatasi tantangan ini.
  5. Peluang:

    1. Pencegahan dan deteksi dini: Penerapan konsep panoptikon dapat memberikan peluang untuk mencegah kejahatan struktural secara lebih efektif. Dengan pengawasan yang terus-menerus, tindakan mencurigakan atau tidak etis dapat terdeteksi lebih awal, sehingga memungkinkan tindakan pencegahan yang tepat diambil sebelum kerugian lebih lanjut terjadi.
    2. Efisiensi operasional: Sistem pengawasan yang kuat dapat meningkatkan efisiensi operasional dalam organisasi. Dengan pengawasan yang terus-menerus, penyimpangan dan pelanggaran dapat diidentifikasi lebih cepat, memungkinkan perusahaan untuk mengambil tindakan perbaikan dengan lebih efisien dan mengurangi dampak negatif terhadap perusahaan.
    3. Transparansi dan akuntabilitas: Konsep panoptikon mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam organisasi. Dengan adanya sistem pengawasan yang terus-menerus, pemangku kepentingan dapat memiliki visibilitas yang lebih besar terhadap proses dan keputusan organisasi, memperkuat kepercayaan dan kepatuhan.
    4. Inovasi teknologi: Penerapan konsep panoptikon mendorong inovasi dalam teknologi pengawasan dan analisis data. Kemajuan dalam bidang kecerdasan buatan, analisis data, dan teknologi keamanan dapat memperkuat efektivitas sistem panoptikon dalam mendeteksi dan mencegah kejahatan struktural.
  6. Dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang ini, penting untuk mempertimbangkan kerangka hukum yang memadai, regulasi yang tepat, dan peran pemerintah yang aktif dalam memastikan keadilan dan keamanan. Selain itu, melibatkan pemangku kepentingan yang relevan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta, juga penting untuk mencapai hasil yang optimal.

    Berikut adalah beberapa langkah perbaikan yang dapat diambil untuk meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam kasus seperti Asuransi Jiwasraya:

    1. Penguatan lembaga pengawas: Menguatkan peran lembaga pengawas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau lembaga terkait dalam memastikan pemantauan yang efektif terhadap operasi perusahaan asuransi. Diperlukan peningkatan kapasitas, sumber daya, dan independensi lembaga pengawas untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif.
    2. Penegakan aturan dan regulasi: Memastikan penerapan dan penegakan aturan dan regulasi yang ketat dalam industri asuransi. Menegakkan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan dan penyelewengan yang terjadi.

      1. Audit eksternal independen: Melakukan audit eksternal yang independen secara berkala untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam kegiatan keuangan perusahaan asuransi. Audit ini harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan terpercaya.
      2. Pelaporan keuangan yang transparan: Mewajibkan perusahaan asuransi untuk menyampaikan laporan keuangan yang transparan dan terperinci kepada pemegang polis, lembaga pengawas, dan publik secara umum. Laporan tersebut harus mencakup informasi mengenai investasi, kewajiban, dan kinerja keuangan perusahaan.
      3. Pelibatan pemegang polis dan masyarakat: Mendorong partisipasi aktif pemegang polis dan masyarakat dalam memonitor operasi perusahaan asuransi. Memberikan wadah komunikasi dan mekanisme pengaduan yang efektif agar pemegang polis dapat memberikan masukan dan melaporkan ketidakpatuhan yang terjadi.
    3.  

      PERAN PEMERINTAH DAN OTORITAS TERKAIT

      Peran pemerintah dan otoritas terkait sangat penting dalam mencegah kejahatan struktural. Berikut adalah beberapa peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan otoritas terkait:

      1. Penetapan kebijakan dan regulasi: Pemerintah memiliki peran dalam menetapkan kebijakan dan regulasi yang mengatur aktivitas ekonomi dan bisnis. Regulasi yang baik dapat mengarah pada lingkungan bisnis yang lebih transparan dan membatasi peluang terjadinya kejahatan struktural.
      2. Pengawasan dan pemeriksaan: Otoritas terkait, seperti lembaga pengawas dan badan regulator, bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap perusahaan dan entitas lainnya. Pengawasan yang ketat dapat membantu mendeteksi praktik kejahatan struktural dan mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan.
      3. Penegakan hukum: Pemerintah memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dan melawan kejahatan struktural. Ini melibatkan penyelidikan, penuntutan, dan pengadilan terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam kejahatan struktural. Penegakan hukum yang tegas dan adil dapat menjadi efektif dalam mencegah kejahatan struktural dan memberikan efek jera.
      4. Edukasi dan kesadaran: Pemerintah dapat berperan dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kejahatan struktural dan risiko yang terkait. Melalui program edukasi dan kampanye kesadaran, pemerintah dapat mengajarkan masyarakat mengenai praktek-praktek yang dapat mengarah pada kejahatan struktural dan pentingnya melaporkan aktivitas yang mencurigakan.
      5. Kerja sama internasional: Kejahatan struktural sering kali melibatkan jaringan yang kompleks dan melintasi batas negara. Oleh karena itu, kerja sama internasional antara pemerintah dan otoritas terkait sangat penting dalam pertukaran informasi, pengembangan strategi bersama, dan penegakan hukum untuk mencegah dan menangani kejahatan struktural.
    4.  

      KESIMPULAN

      Penerapan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya memiliki dampak yang signifikan terhadap pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas di perusahaan. Konsep ini dapat membantu mengurangi kejahatan struktural dan memperkuat efektivitas penegakan hukum. Namun, ada tantangan dan keterbatasan yang perlu diperhatikan, termasuk masalah privasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kelemahan teknologi. Penting bagi perusahaan dan otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menerapkan konsep panoptikon dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pengawasan yang efektif dan perlindungan privasi individu.

      Dalam analisis kasus Asuransi Jiwasraya dengan menggunakan konsep panoptikon dan pemahaman tentang kejahatan struktural, ditemukan beberapa temuan penting:

      1. Kejahatan struktural: Kasus Asuransi Jiwasraya menunjukkan adanya kejahatan struktural yang melibatkan tindakan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi keuangan. Hal ini terjadi karena adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan transparansi yang memungkinkan pelaku kejahatan untuk beroperasi tanpa terdeteksi.
      2. Penerapan konsep panoptikon: Konsep panoptikon Jeremy Bentham, yang menggambarkan pengawasan terus-menerus dan kontrol yang efektif, dapat memberikan pandangan yang relevan terhadap kasus ini. Dalam konteks Asuransi Jiwasraya, penerapan panoptikon dapat membantu dalam mencegah kejahatan struktural dengan meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam perusahaan.
      3. Dampak penerapan panoptikon: Penerapan panoptikon dapat memiliki dampak positif dalam mencegah dan mendeteksi kejahatan struktural. Hal ini dapat memperkuat pengawasan internal, meningkatkan transparansi, meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap aturan, dan memperkuat efektivitas penegakan hukum.

Namun, penerapan konsep panoptikon juga memiliki tantangan dan keterbatasan yang perlu diperhatikan. Resistensi individu, potensi penyalahgunaan kekuasaan, pengabaian kesalahan struktural, biaya dan kompleksitas, serta dampak psikologis adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan konsep ini.

Untuk mengatasi tantangan dan keterbatasan tersebut, diperlukan langkah-langkah perbaikan pengawasan dan transparansi yang efektif. Ini termasuk meningkatkan regulasi, menguatkan lembaga pengawas dan badan regulator, memperkuat sistem audit, meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat tentang kejahatan struktural, dan meningkatkan kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan lintas batas.

Peran pemerintah dan otoritas terkait juga sangat penting dalam mencegah kejahatan struktural. Pemerintah harus berperan dalam menetapkan kebijakan dan regulasi yang memadai, melakukan pengawasan dan pemeriksaan yang ketat, menegakkan hukum secara adil, dan meningkatkan kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan struktural.

Dengan langkah-langkah perbaikan dan peran aktif pemerintah dan otoritas terkait, diharapkan dapat mencegah terjadinya kejahatan struktural dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan dan adil.

DAFTAR PUSTAKA

Bentham, J. (1995). Panopticon, or the Inspection-House: Letters on the Panopticon, and Other Writings. Verso Books.

Brown, D. M., & Dillard, J. F. (2014). Enhancing Corporate Governance and Transparency: A Role for Communication Scholarship. Management Communication Quarterly, 28(3), 411-435.

Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books.

Hill, M. (2019). Panopticon. In The Palgrave Encyclopedia of Urban and Regional Futures (pp. 1-6). Palgrave Macmillan.

Jiwasraya, PT. (2020). Laporan Keuangan Tahunan 2019. Retrieved from [insert source link].

Hasan, M., & Lusida, I. (2019). Jiwasraya Scandal: Reforming the Indonesian Insurance Industry. Bulletin of Monetary Economics and Banking, 21(4), 515-536.

Minkes, J., & Braithwaite, J. (2011). Corporate Crime and Government Control: Prosecuting, Punishing, and Regulating the Corporation. Cambridge University Press.

Nugroho, Y. (2021). Jiwasraya: The Dark Side of Indonesian Life Insurance. Journal of Economics and Business, 4(2), 201-210.

Oetomo, J., & Mayasari, F. (2020). The Jiwasraya Case: Investigating an Alleged Fraud and Money Laundering Scandal in Indonesia. Journal of Financial Crime, 27(3), 1039-1052.

Rachmawati, D., & Pradana, Y. (2020). The Effect of Financial Performance and Corporate Governance on Life Insurance Industry in Indonesia. Journal of Applied Management, 18(3), 399-409.

Smith, B., & Fontana-Giusti, G. (2016). Spatial Agency: Other Ways of Doing Architecture. Routledge.

Utomo, A. S., & Suparman, S. (2020). Jiwasraya Insurance Fraud: Analysis of Stakeholders Role and Economic Losses. Budapest International Research and Critics in Linguistics and Education (BirLE) Journal, 3(2), 1312-1324.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun