Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Yang Aku Butuh Hanyalah Perempuan

26 Juni 2017   13:13 Diperbarui: 26 Juni 2017   13:21 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Sebelum induk semangku pulang dari Bogor, tepat pukul tujuh pagi, aku mengantarkan Namira hingga ke depan gedung Plaza UOB. Membawa teman laki-laki menginap paling-paling aku kena denda, tapi membawa teman perempuan menginap, seperti yang telah aku bayangkan, aku akan kena hardik dan usir. Sebagai pemilik rumah, induk semangku bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan sebagaimana orangtua terhadap anak-anaknya. Ketika aku melanggar aturan-aturan ataupun melakukan tindakan diluar moralitas, berarti juga mencoreng nama baik induk semangku.

            Karena tidur menjelang matahari terbit, Iwin masih tertidur dalam kamarnya. Aku bersyukur, karena ia telah meminta bahkan terdengar seperti sebuah peringatan bahwa apabila Namira bangun, aku harus memperkenalkan gadis itu padanya. Biar ia tidak rewel, aku menjawabnya dengan satu anggukan. Tentu saja aku takkan membiarkan hal itu terjadi. Membayangkan ia berjabatan tangan dengan Namira, aku tahu kami akan bersaing. Seperti seorang lelaki yang menemukan berlian di tengah jalan kemudian menganggap barang itu menjadi hak miliknya, aku punya alasan cukup kuat untuk melindungi Namira dari tangan-tangan lelaki jahil semacam Iwin.

            Meski aku tahu induk semangku belum pulang, semacam insting untuk selalu bersikap waspada, aku masih berpikir bahwa ada kemungkinan induk semangku memergokiku bersama perempuan ini atau mungkin saja ada mata yang tak bertanggung jawab mengintip kami. Sehingga sebelum melangkah keluar, aku pastikan suasana di lantai bawah aman terkendali, kemudian kami berjalan mengendap-endap sebagaimana pencuri masuk rumah orang.

            Tetangga sebelah, yang juga berjualan mie rebus dan gorengan dengan bermodalkan etalase saja di pinggiran gang, melihat kami keluar rumah. Untuk meredam rasa curiga, aku menganggukkan kepala dan tersenyum padanya. Dengan kepala tertunduk kami melangkah lewat, seraya aku berharap tetangga sebelah itu tidak berpikir macam-macam dan menganggap kedua manusia yang baru lewat itu sebagai angin lalu, yang takkan memberikan keuntungan atau kepuasan apapun kepada dirinya.

            Melewati beberapa kelokan dalam gang, aku melangkah lebar-lebar, berjalan memimpin di depan Namira. Sejumlah warung kecil-kecilan dengan barang dagangan seadanya mulai buka. Pemilik sekaligus penjaga warung itu, dengan tampang mengantuk, tampak malas-malasan memulai hari ini. Sebuah televisi berwarna seukuran dus mie instan yang terpasang di atas dinding menayangkan sebuah berita. Dengan selintasan saja melihat tayangan televisi itu, aku menerka-nerka informasi apa yang diberitakan acara televisi tersebut. Seperti tahun-tahun lalu, di awal-awal tahun, pemerintah biasanya menghadiahi rakyatnya dengan kenaikan kebutuhan pokok; tarif dasar listrik ataupun bahan bakar minyak. Saat ini, karena aku hampir tak pernah menonton televisi, tak tahu komoditas apa saja yang direncanakan kenaikannya atau persoalan korupsi siapa dan apa yang tengah diperdebatkan.

            Keluar dari kelokan-kelokan gang, kami berjalan menyusuri jalan beton yang berujung tepat di depan Jalan Sudirman-Thamrin. Gubuk-gubuk liar kaum urban yang telah dirobohkan karena adanya pembangunan gedung yang direncanakan sebagai gedung perkantoran ataupun apartemen kembali dibangun di pinggiran jalan beton tersebut, tepat di luar pagar seng area pembangunan gedung tersebut, di atas got-got mampet yang penuh dengan air comberan. Gubuk-gubuk itu terbuat dari kayu dan beratap seng, yang bahkan beberapa diantaranya tak berdinding sebagaimana pos ronda di kampung-kampung. Untuk menafkahi kehidupan mereka sehari-hari, di gubuk-gubuk kayu itu mereka membuka warung makan kecil-kecilan yang sebagian besar pelanggannya adalah pekerja proyek itu sendiri. Entah masih terlalu pagi atau karena tanggal merah, sejumlah orang masih tertidur nyenyak di atas dipan-dipan kayu gubuk tersebut. Membayangkan gedung perkantoran atau apartemen itu selesai dibangun, aku tak tahu akan kemana mereka pergi.

            Pada hari-hari biasa, jalan beton yang terletak di belakang gedung Plaza UOB ini, yang sisi kanan-kiri jalan biasanya dimanfaatkan sebagai lahan parkir sepeda motor, kini terlihat luas, membuat mobil masuk yang biasanya mesti mengurangi kecepatan kali ini terlihat leluasa bergerak. Sejumlah gerobak dan etalase yang mangkal di sekitar Plaza UOB, yang menjual aneka makanan, dan menjadi langganan makan siang para karyawan gedung tersebut, sama sekali tak beroperasi. Tak ada hilir mudik karyawan gedung pagi ini kecuali sejumlah satpam yang tampak lesu seperti seseorang yang tengah menunggu sesuatu.

            Menikmati kota Jakarta selengang ini dengan arus lalu lintas setenang aliran sungai, rasanya kota ini lebih nyaman untuk ditinggali. Air hujan sisa semalam yang seolah-olah telah menjelma menjadi embun menetes dari tempat-tempat tinggi dan menguap di bawah panas matahari seperti liukan uap teh semalam yang disajikan olehku kepada Namira. Sesaat aku menoleh ke belakang dan menghentikan langkah. Melihat Namira berjalan tersendat-sendat mengekorku di belakang, aku merasa bersalah. Wajah perempuan itu pucat. Kedua tangannya bersilangan di atas dada seakan-akan membutuhkan sebuah pelukan. Akibat semalam basah-basahan, tampaknya ia terkena masuk angin.

            "Kamu kedinginan." Entah dorongan dari mana, aku melepas jaket dan memberikannya pada Namira. Sesaat aku mengira Namira akan menolaknya, namun ketika ia sejenak menatap mataku seolah-olah memastikan ketulusanku, ia menerima jaket itu dan mengucapkan terima kasih.

            Kemudian kami berjalan beriringan dan saling menyesuaikan langkah. Merasa seperti pasangan kekasih, aku mengira-ngira bagaimana tanggapan orang-orang melihat kami berjalan berdua seperti ini. Apakah mereka akan menyebut kami pasangan serasi? Aku tergelak memikirkan kemungkinan itu. Namun bagaimanapun juga, seperti kebiasaan pemerintah yang memberikan kejutan-kejutan kenaikan harga di awal tahun, aku merasa Namira adalah hadiah dari Tuhan untukku di tahun baru ini.

            "Sebelumnya aku minta maaf," kata Namira kemudian, "mungkin karena aku merasa terlalu penasaran, semalam aku mengotak-atik kamarku."

            Seandainya Namira seorang laki-laki, aku akan menganggapnya sebagai orang yang tak tahu etika. Tapi aku telah menganggapnya sebagai hadiah yang telah aku terima dengan suka cita. "Setidaknya tak ada barang-barang berharga dalam kamarku."

            "Aku melihat-lihat beberapa naskah bukumu. Aku tak percaya ternyata kau seorang penulis."

            "Itu barang rongsokan," ucapku pura-pura ketus, alih-alih merendahkan diri. Aku merasa cukup senang Namira menyebutku sebagai penulis, yang menandakan bahwa Namira menaruh perhatian terhadap karya-karyaku. "Aku hanya seorang amatiran."

            "Sejelek-jeleknya apa yang kau hasilkan, tak ada kata rongsokan untuk sebuah karya," Namira berfilosofi.

            Pengalaman hidup telah mengajarkanku bahwa kata-kata mutiara ataupun bermuatan filosofi adalah kata-kata yang bermakna di telinga namun omong kosong dalam kenyataan. Aku tak kuasa menahan gelak. "Aku pikir, kau sebagai perempuan, pasti lebih banyak menghabiskan uangmu untuk make up dan pakaian daripada membeli buku."

            "Aku baca buku-buku Tere Liye."

            "Buku-buku Tere Liye memang sangat cocok dibaca saat menstruasi."

            "Jadi menurutmu buku-buku Tere Liye tidak cocok dibaca oleh lelaki," Namira merasa tersinggung, kemudian ia berkacak pinggang seakan menantangku. "Sebagai penulis yang pastinya membaca banyak buku, aku ingin tahu, menurutmu buku bagus itu seperti apa."

            "Aku suka buku-buku yang bisa dibaca sambil masturbasi."

            Namira tergelak lucu sekaligus menandakan bahwa ia tengah mengolok-olokku. "Astaga, kau tidak punya pacar. Aku tak heran kau menjadikan buku-buku sebagai teman bermain."

            "Meskipun aku punya pacar, apakah dibenarkan aku melakukan hal-hal seperti itu?"

            "Ternyata kau juga beragama."

            "Beragama atau tidak, aku dibesarkan dengan ajaran-ajaran seperti itu. Seperti halnya atheis, tidak menjamin orang itu juga seorang komunis."

            Di ujung jalan, dalam detik-detik terakhir pertemuan ini, kami saling berpandangan. Aku merasakan kegugupan, lebih gugup dari yang semalam aku rasakan. Alasannya mungkin kini kami berada di luar dan disertai terang matahari sehingga aku sulit memikirkan apa yang sepatutnya dilakukan oleh pasangan seperti kami; privasi kami terganggu dan sewaktu-waktu akan ada orang melihat dan mencurigai kami. Menatap bola mata Namira mengingatkanku pada sekantong kelereng yang kerap aku mainkan bersama teman-teman; aku seperti bersiap-siap menerima lemparan kelereng yang sewaktu-waktu bisa saja menghujam kedua bola mataku. Berpikir Namira memiliki kekuatan hipnotis, aku menundukkan kepala demi menghindari tatapannya. Untuk menutupi kecanggungan, aku mengayun-ayunkan sebelah kakiku sambil menendang-nendang kerikil di bawahnya.

            Sebelum aku menyadari segala sesuatunya, tiba-tiba Namira memelukku dan mengucapkan terima kasih. Pada detik-detik tersebut aku merasa sulit bernafas dan kelu, yang membuatku merasa ditempatkan dalam sebuah adegan perpisahan dalam sebuah film romantis; tentang sepasang kekasih yang hendak berpisah dan berpikir bahkan mungkin mereka takkan pernah bertemu kembali. Dalam dekapan itu aku dapat mencium sesuatu aroma; meskipun tubuh Namira tidak dalam kondisi terbaiknya, aroma itu membuatku merasa seperti lelaki yang dibutuhkan setelah bertahun-tahun aku merasa aku hanyalah lelaki tiada guna apapun.

            Segera setelah Namira melepaskan pelukan itu, aku merasa risih sekaligus lega, kemudian mencari-cari penyebab mengapa seorang Namira begitu berani memeluk seorang lelaki yang notabene berada di tempat yang tak terlindungi oleh selembar papan sekalipun. Melihat tingkah lakunya ini, aku dapat memperkirakan Namira adalah seorang perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai sekuler. Tapi melihat kedua mata perempuan ini bercucuran air mata, aku yakin Namira tengah dirundung kesusahan, yang membuatnya lupa diri hingga berani memelukku. Herannya, Namira sama sekali tak menampakkan rasa berdosa, kecuali diriku yang masih meyakinkan diri sendiri bahwa apakah pelukan itu benar-benar terjadi.

            Seolah-olah merasa malu telah melakukan tindakan diluar kendali dirinya, Namira menyetop taksi pertama yang lewat di hadapannya. Sementara aku sendiri, masih dalam perasaan ganjil dan tak percaya, melangkah kembali menuju tempat semula. Melihat sejumlah satpam masih terduduk lesu seperti pertama aku lihat tadi, rasa malu menggelayuti pikiranku. Merasa takut diolok-olok, aku melangkah dua kali lebh cepat. Dan pada saat itulah aku merasa Namira adalah hadiah salah kirim dan aku harus mengembalikannya pada pemilik sebenarnya; aku menyesal telah lupa menanyakan nomor teleponnya.

            Sebentar aku mampir ke warung membeli beberapa bungkus roti seharga dua ribuan. Setelah menyelesaikan urusan transaksi kecil-kecilan, mataku terpaku pada layar televisi yang masih menayangkan berita. Berita itu memperlihatkan gambar-gambar lapangan Monas dipenuhi onggokan sampah dan sejumlah petugas kebersihan berseragam tengah sibuk menyapu, kemudian mengeluarkan keluhannya ketika diwawancarai wartawan. Suara dibalik tayangan tersebut menyebutkan keprihatinannya terhadap warga ibukota yang masih kurang peduli terhadap lingkungan, kemudian membanding-bandingkannya dengan negara Jepang dan Singapura. Tentu saja Indonesia takkan pernah bisa disamakan sebagaimana Jepang memproduksi barang-barang otomotif dan teknologi, maka Indonesia harus menjadi penyeimbang sebagai konsumen. Aku sendiri yang cukup memahami pelajaran biologi sederhana, menyebut teori produsen-konsumen itu sebagai menjaga keseimbangan rantai makanan.

            Kembali ke kamar kos, Iwin tengah duduk di atas sofa sambil menyulut sebatang rokok. Ia hanya mengenakan celana kolor dan bersiap-siap pergi mandi. Seperti yang telah aku duga sebelumnya, ia menanyakan keberadaan Namira. "Dia sudah aku antar pulang," jawabku.

            "Padahal aku ingin kenalan sama dia." Alih-alih merasa kecewa padaku, ia mengucapkan kata dengan nada menyesal. "Kelihatannya kau suka sama dia."

            "Menurutku ini hanyalah kesempatan yang harus aku manfaatkan sebaik mungkin," jawabku. "Jarang-jarang aku mendapatkan peluang semacam ini."

            Iwin menghisap rokoknya dalam-dalam dan seketika gumpalan asap menyembur dari mulutnya, mengingatkanku pada tungku panas yang disiram air dingin. Sempat aku berpikir Iwin sebenarnya iri padaku; malam tahun baru aku pulang bersama seorang gadis, sementara ia malah dilupakan mentah-mentah oleh seorang penyanyi yang baru bisa naik panggung. Tak bisa aku pungkiri keberuntungan tengah menghampiriku. Namun, bersamaan dengan pulangnya Namira, segenap hatiku meyakini bahwa pintu peluang itu telah tertutup dan perlahan keberuntungan itu menjauhiku kembali.

            Memikirkan segala apa yang hilang dalam diriku membuat emosiku campur aduk. Di saat-saat duka itulah aku membuang segala perasaan emosi dan keyakinan-keyakinanku, yang justru berdampak pada kekosongan dan kehampaan. Menulis yang semula aku pikir merupakan bakat alami satu-satunya yang aku miliki ternyata mestilah diperoleh dengan perjuangan, yang sekaligus membuktikan bahwa sebenarnya aku tak memiliki bakat sedikitpun. Namun ketika mengenal Namira semalam kekosonganku mulai terisi dan secercah harapan mulai membayang. Untuk mengatasi kehampaan itu, aku tahu, yang aku butuhkan hanyalah seorang perempuan.

            Kami bergiliran menggunakan kamar mandi. Sambil menunggu Iwin selesai mandi, aku menyalakan komputer. Berusaha mengamati keindahan fisik Namira melalui ingatanku, aku mengetikkan kata per kata, hingga terurai menjadi sebuah kalimat, kemudian paragraf demi paragaraf saling jalin menjalin. Mungkin karena imajinasiku teramat indah, aku tak perlu memikirkan keindahan kata-kataku. Meski aku merasakan kekosongan kembali, entah mengapa ketika membaca kembali apa-apa yang telah berhasil aku tuliskan, aku merasa bahagia.

            Melihat Iwin sudah masuk ke kamarnya, buru-buru aku menyelesaikan tulisanku dan menyimpannya dalam sebuah folder, kemudian sambil menenteng handuk, aku masuk kamar mandi. Ketika aku mengelap dan menggosok-gosok tubuhku dengan handuk itu, aku sadar semalam Namira menggunakan handuk ini juga. Membayangkan Namira mengelap dan menggosok-gosok tubuh telanjangnya, aku merasa telah berbagi kehangatan dan keintiman dengannya. Kulit disekujur tubuhku seperti dapat merasakan sebuah sentuhan yang mampu membangkitkan gairahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun