Seandainya Namira seorang laki-laki, aku akan menganggapnya sebagai orang yang tak tahu etika. Tapi aku telah menganggapnya sebagai hadiah yang telah aku terima dengan suka cita. "Setidaknya tak ada barang-barang berharga dalam kamarku."
      "Aku melihat-lihat beberapa naskah bukumu. Aku tak percaya ternyata kau seorang penulis."
      "Itu barang rongsokan," ucapku pura-pura ketus, alih-alih merendahkan diri. Aku merasa cukup senang Namira menyebutku sebagai penulis, yang menandakan bahwa Namira menaruh perhatian terhadap karya-karyaku. "Aku hanya seorang amatiran."
      "Sejelek-jeleknya apa yang kau hasilkan, tak ada kata rongsokan untuk sebuah karya," Namira berfilosofi.
      Pengalaman hidup telah mengajarkanku bahwa kata-kata mutiara ataupun bermuatan filosofi adalah kata-kata yang bermakna di telinga namun omong kosong dalam kenyataan. Aku tak kuasa menahan gelak. "Aku pikir, kau sebagai perempuan, pasti lebih banyak menghabiskan uangmu untuk make up dan pakaian daripada membeli buku."
      "Aku baca buku-buku Tere Liye."
      "Buku-buku Tere Liye memang sangat cocok dibaca saat menstruasi."
      "Jadi menurutmu buku-buku Tere Liye tidak cocok dibaca oleh lelaki," Namira merasa tersinggung, kemudian ia berkacak pinggang seakan menantangku. "Sebagai penulis yang pastinya membaca banyak buku, aku ingin tahu, menurutmu buku bagus itu seperti apa."
      "Aku suka buku-buku yang bisa dibaca sambil masturbasi."
      Namira tergelak lucu sekaligus menandakan bahwa ia tengah mengolok-olokku. "Astaga, kau tidak punya pacar. Aku tak heran kau menjadikan buku-buku sebagai teman bermain."
      "Meskipun aku punya pacar, apakah dibenarkan aku melakukan hal-hal seperti itu?"