Memikirkan segala apa yang hilang dalam diriku membuat emosiku campur aduk. Di saat-saat duka itulah aku membuang segala perasaan emosi dan keyakinan-keyakinanku, yang justru berdampak pada kekosongan dan kehampaan. Menulis yang semula aku pikir merupakan bakat alami satu-satunya yang aku miliki ternyata mestilah diperoleh dengan perjuangan, yang sekaligus membuktikan bahwa sebenarnya aku tak memiliki bakat sedikitpun. Namun ketika mengenal Namira semalam kekosonganku mulai terisi dan secercah harapan mulai membayang. Untuk mengatasi kehampaan itu, aku tahu, yang aku butuhkan hanyalah seorang perempuan.
      Kami bergiliran menggunakan kamar mandi. Sambil menunggu Iwin selesai mandi, aku menyalakan komputer. Berusaha mengamati keindahan fisik Namira melalui ingatanku, aku mengetikkan kata per kata, hingga terurai menjadi sebuah kalimat, kemudian paragraf demi paragaraf saling jalin menjalin. Mungkin karena imajinasiku teramat indah, aku tak perlu memikirkan keindahan kata-kataku. Meski aku merasakan kekosongan kembali, entah mengapa ketika membaca kembali apa-apa yang telah berhasil aku tuliskan, aku merasa bahagia.
      Melihat Iwin sudah masuk ke kamarnya, buru-buru aku menyelesaikan tulisanku dan menyimpannya dalam sebuah folder, kemudian sambil menenteng handuk, aku masuk kamar mandi. Ketika aku mengelap dan menggosok-gosok tubuhku dengan handuk itu, aku sadar semalam Namira menggunakan handuk ini juga. Membayangkan Namira mengelap dan menggosok-gosok tubuh telanjangnya, aku merasa telah berbagi kehangatan dan keintiman dengannya. Kulit disekujur tubuhku seperti dapat merasakan sebuah sentuhan yang mampu membangkitkan gairahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H