Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Yang Aku Butuh Hanyalah Perempuan

26 Juni 2017   13:13 Diperbarui: 26 Juni 2017   13:21 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Ternyata kau juga beragama."

            "Beragama atau tidak, aku dibesarkan dengan ajaran-ajaran seperti itu. Seperti halnya atheis, tidak menjamin orang itu juga seorang komunis."

            Di ujung jalan, dalam detik-detik terakhir pertemuan ini, kami saling berpandangan. Aku merasakan kegugupan, lebih gugup dari yang semalam aku rasakan. Alasannya mungkin kini kami berada di luar dan disertai terang matahari sehingga aku sulit memikirkan apa yang sepatutnya dilakukan oleh pasangan seperti kami; privasi kami terganggu dan sewaktu-waktu akan ada orang melihat dan mencurigai kami. Menatap bola mata Namira mengingatkanku pada sekantong kelereng yang kerap aku mainkan bersama teman-teman; aku seperti bersiap-siap menerima lemparan kelereng yang sewaktu-waktu bisa saja menghujam kedua bola mataku. Berpikir Namira memiliki kekuatan hipnotis, aku menundukkan kepala demi menghindari tatapannya. Untuk menutupi kecanggungan, aku mengayun-ayunkan sebelah kakiku sambil menendang-nendang kerikil di bawahnya.

            Sebelum aku menyadari segala sesuatunya, tiba-tiba Namira memelukku dan mengucapkan terima kasih. Pada detik-detik tersebut aku merasa sulit bernafas dan kelu, yang membuatku merasa ditempatkan dalam sebuah adegan perpisahan dalam sebuah film romantis; tentang sepasang kekasih yang hendak berpisah dan berpikir bahkan mungkin mereka takkan pernah bertemu kembali. Dalam dekapan itu aku dapat mencium sesuatu aroma; meskipun tubuh Namira tidak dalam kondisi terbaiknya, aroma itu membuatku merasa seperti lelaki yang dibutuhkan setelah bertahun-tahun aku merasa aku hanyalah lelaki tiada guna apapun.

            Segera setelah Namira melepaskan pelukan itu, aku merasa risih sekaligus lega, kemudian mencari-cari penyebab mengapa seorang Namira begitu berani memeluk seorang lelaki yang notabene berada di tempat yang tak terlindungi oleh selembar papan sekalipun. Melihat tingkah lakunya ini, aku dapat memperkirakan Namira adalah seorang perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai sekuler. Tapi melihat kedua mata perempuan ini bercucuran air mata, aku yakin Namira tengah dirundung kesusahan, yang membuatnya lupa diri hingga berani memelukku. Herannya, Namira sama sekali tak menampakkan rasa berdosa, kecuali diriku yang masih meyakinkan diri sendiri bahwa apakah pelukan itu benar-benar terjadi.

            Seolah-olah merasa malu telah melakukan tindakan diluar kendali dirinya, Namira menyetop taksi pertama yang lewat di hadapannya. Sementara aku sendiri, masih dalam perasaan ganjil dan tak percaya, melangkah kembali menuju tempat semula. Melihat sejumlah satpam masih terduduk lesu seperti pertama aku lihat tadi, rasa malu menggelayuti pikiranku. Merasa takut diolok-olok, aku melangkah dua kali lebh cepat. Dan pada saat itulah aku merasa Namira adalah hadiah salah kirim dan aku harus mengembalikannya pada pemilik sebenarnya; aku menyesal telah lupa menanyakan nomor teleponnya.

            Sebentar aku mampir ke warung membeli beberapa bungkus roti seharga dua ribuan. Setelah menyelesaikan urusan transaksi kecil-kecilan, mataku terpaku pada layar televisi yang masih menayangkan berita. Berita itu memperlihatkan gambar-gambar lapangan Monas dipenuhi onggokan sampah dan sejumlah petugas kebersihan berseragam tengah sibuk menyapu, kemudian mengeluarkan keluhannya ketika diwawancarai wartawan. Suara dibalik tayangan tersebut menyebutkan keprihatinannya terhadap warga ibukota yang masih kurang peduli terhadap lingkungan, kemudian membanding-bandingkannya dengan negara Jepang dan Singapura. Tentu saja Indonesia takkan pernah bisa disamakan sebagaimana Jepang memproduksi barang-barang otomotif dan teknologi, maka Indonesia harus menjadi penyeimbang sebagai konsumen. Aku sendiri yang cukup memahami pelajaran biologi sederhana, menyebut teori produsen-konsumen itu sebagai menjaga keseimbangan rantai makanan.

            Kembali ke kamar kos, Iwin tengah duduk di atas sofa sambil menyulut sebatang rokok. Ia hanya mengenakan celana kolor dan bersiap-siap pergi mandi. Seperti yang telah aku duga sebelumnya, ia menanyakan keberadaan Namira. "Dia sudah aku antar pulang," jawabku.

            "Padahal aku ingin kenalan sama dia." Alih-alih merasa kecewa padaku, ia mengucapkan kata dengan nada menyesal. "Kelihatannya kau suka sama dia."

            "Menurutku ini hanyalah kesempatan yang harus aku manfaatkan sebaik mungkin," jawabku. "Jarang-jarang aku mendapatkan peluang semacam ini."

            Iwin menghisap rokoknya dalam-dalam dan seketika gumpalan asap menyembur dari mulutnya, mengingatkanku pada tungku panas yang disiram air dingin. Sempat aku berpikir Iwin sebenarnya iri padaku; malam tahun baru aku pulang bersama seorang gadis, sementara ia malah dilupakan mentah-mentah oleh seorang penyanyi yang baru bisa naik panggung. Tak bisa aku pungkiri keberuntungan tengah menghampiriku. Namun, bersamaan dengan pulangnya Namira, segenap hatiku meyakini bahwa pintu peluang itu telah tertutup dan perlahan keberuntungan itu menjauhiku kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun