Justru kabar sakit datang dari istrinya. Salah seorang kerbat menghubungi Pak No melalui telepon genggam saya---mengabarkan bahwa penyakit yang sedang dialami sang istri tidak cukup diselesaikan dengan menebus resep dokter di apotek, melainkan dengan jalan operasi.
Selama berhari-hari saya mendapati Pak No melamun, dan tak jarang ia menitikkan air mata. Kesedihan Pak No tak hanya terbatas pada si istri yang sedang menanggung beban sakit, tapi juga tentang biaya yang harus ia emban demi kesembuhan sang istri.
Sebagai teman, saya dan beberapa penghuni perempatan berembug hingga dicapailah kemufakatan bahwa masing-masing akan memberi bantuan.
"Jangan, mas," tanganku ia genggam sambil didorongnya pelan.
"Tidak apa-apa, Pak No." Aku mendorong tanganku lagi ke arahnya.
"Sungguh, jangan!"
Setelah peristiwa itu Pak No tampak sangat sibuk sekali, bahkan  jarang bergaul bersama kami karena sedang giat-giatnya mencari penumpang: yang biasanya Pak No hanya duduk---menunggu penumpang, kini ia berkeliling, "jemput bola".
Saya sangat memahami kondisi Pak No. Tapi, ketika saya sering mendapati wajahnya yang tampak kelelahan karena hampir seharian berkeliling mencari penumpang, saya merasa kasihan. Wajahnya menyiratkan kepanikan yang luar biasa dan kelelahan pada saat yang sama. Karena kegiatan berkelilingnya tak kunjung berhenti dan Pak No makin menunjukkan ekspresi kekhawatiran yang di luar batas, maka saya memberanikan diri untuk menemuinya:
"Pak," kusentuh pundaknya dengan pelan ketika ia sedang beristirahat di atas betornya.
"Eh, mas..." Pak No terlihat kaget karena kedatanganku membuyarkan lamunannya.
"Ini," saya menyerahkan sebuah amplop, "tolong jangan ditolak. Ini uang pribadi saya, teman-teman tidak ada yang tahu."