Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia Sujud Terlalu Lama

17 Agustus 2018   18:11 Diperbarui: 18 Agustus 2018   05:43 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demi Allah, atas nama ibu saya---, saya berani bersaksi bahwa Pak No adalah orang baik. Meskipun banyak hal yang tak kusetujui darinya, tapi saya tetap menghargainya. Bahkan sangat menghormatinya.

Rasa hormat yang dimaksud oleh orang kecil semacam saya ini bukan dalam konteks hierarki feodalisme, melainkan kepada kesalehan, kejembaran batin, dan proses hidup yang ia jalani selama ini---menunjukkan betapa cinta dan tanggung jawab harus  dijunjung tinggi meskipun penderitaan adalah taruhannya.

Awalnya saya tidak pernah mengira, di tempat kotor dan penuh debu ini---orang yang ketlingsut di tumpukan nasib buruk semacam Pak No---masih bisa melestarikan kebersihan batin hanya bermodalkan semboyan yang amat sering saya dengar: nrima ing pandhum, yang tak lain merupakan sebuah kerelaan dan kesadaran bahwa apa-apa saja yang ada di dalam hidup ini adalah milikNya; termasuk dirinya sendiri.

"Saya ini punya apa," suatu hari Pak No berkata kepada saya, "selain sisa-sisa tenaga yang sudah tinggal sedikit ini untuk menyelesaikan lakon yang telah menjadi kodrat hidup saya."

Itulah jawaban puncak yang diberikannya ketika, untuk kesekian kalinya---saya menanyakan hal serupa kepadanya. Semenjak mendengar jawaban itu, saya melatih diri untuk tidak mengumbar rasa iba ketika mendapati Pak No kelelahan oleh pekerjaannya sehari-hari---; yakni sebuah pekerjaan yang mungkin sebentar lagi akan meregang nyawa oleh kemutakhiran zaman karena dianggap  tidak cukup mengakomodir kebutuhan manusia yang ingin serbacepat atas nama kepraktisan.

Ya,  Pak No adalah seorang penarik betor atau becak motor; ialah moda trasportasi yang memadukan antara becak dengan gaya dorong mesin sepeda motor. Sepintas pekerjaan ini memang tampak sepele: penumpang duduk di depan dan si penarik betor mengendalikannya dari belakang hanya dengan menarik gas layaknya sedang  mengendarai sepeda motor pada umumnya.

Tapi, melihat hubungan antara Pak No dengan betor ini harus sedikit berbeda. Sebab selain untuk mencari pundi-pundi rupiah, betor miliknya juga ia gunakan sebagai rumah tinggal.

Tentu saja 'rumah tinggal' dalam arti yang sesungguhnya: makan, minum, menunggu penumpang, hingga tidur pun ia lakukan di betor. Bukan satu-dua tahun Pak No menekuni profesi ini, tapi puluhan tahun. Dan, selama menjalani pekerjaannya itu ia tidur di sana---yang mangkal di sebuah perempatan jalan yang bisa dikatakan tak pernah mati dari lalu-lalng kendaraan dan aktivitas manusia

Di perempatan jalan itu pula saya berada, tapi tak seperti Pak No---pada jam-jam tertentu, bakda Magrib lebih tepatnya, saya akan berada di sana untuk berdagang roti bakar. Jika daganganku habis, atau sedang sepi pembeli, saya akan pulang ke rumah dan kembali lagi keeseokan harinya pada jam yang sama.

Tak hanya saya dan Pak No saja, ada juga Cak Fuad yang tukang tambal ban---profesi warisan mertuanya: dari mulai keterampilan, tempat, kompresor, alat pres, bak untuk merimbang ban, dan lain-lain diberi secara percuma oleh sang mertua.

Jikapun Cak Fuad mengeluarkan modal, pastilah jumlahnya sangat sedikit---sekadar untuk membeli spirtus dan  rubber compound, material berupa lembaran karet-setengah-matang untuk menambal lubang ban---yang ia beli dari tukang vulkanisir atau toko onderdil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun