Lagi-lagi pemberianku ditolaknya. "Sungguh, mas, tidak usah!"
"Anggap saja hutang, Pak No boleh mengembalikannya kapan saja. Seandainya uang ini tak pernah kembali, saya berjanji tidak akan menagihnya."
Karena saya tetap memaksa, dan mungkin juga karena ia sangat membutuhkannya, akhirnya pemberianku diterima. Hingga keesokan harinya, saya masih melihat siratan kepanikan dan was-was pada wajah Pak No.
"Bagaimana operasinya, pak?"
"Belum tahu, mas. Saya sedang menunggu kabar dari kampung."
Saya menyodorkan telepon genggam kepadanya, "sebaiknya bapak cari tahu segera. Biar tenang."
Agak ragu-ragu, akhirnya tawaranku ia terima. Sejenak ia tampak menarik dompet di saku celananya, mengeluarkan sebuah buku kecil yang berisi daftar nomor telepon; lalu Pak No mulai memencet-mencet nomor dan tak berapa lama ia tampak berbicara dengan seseorang di sebalik telepon.
"Syukur, mas," Pak No mendekatiku setelah selesai dengan lawan bicaranya. "Operasi istri saya sudah selesai, kata dokter dia akan segera sembuh."
"Selamat, Pak No." Saya menjabat tangannya.
"Istriku sembuh!" Pak No menyalami Cak Fuad.
"Istriku sembuh!" kemudian menyalami Lik Yanto.