Mohon tunggu...
Muhammad Faizal Fathurrohim
Muhammad Faizal Fathurrohim Mohon Tunggu... Guru - Imajinasi dan Inspirasi Harus Ditulis dan Dipublikasikan

Dosen, Guru, dan Praktisi yang selalu siap mengabdi untuk bangsa Indonesia Ig: faizalftrh26

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Silent Lily "Part 3"

12 Februari 2022   06:30 Diperbarui: 12 Februari 2022   06:34 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gambar pribadi

Silent Lily "part 3"

Oleh: Eka Praja

Thief dengan telaten mengurus. Mengompres, memberi obat, melap tubuh dengan handuk air hangat, menggantikan baju, menyuapi makan dan lain-lain. Petuah-petuah Medicy ia rekam baik-baik dalam memory. Thief sungguh tidak ingin Zydic memburuk. 

Di manga, anime atau drama, dalam situasi begini, biasanya Si Pasien akan bangun dengan kondisi dimana Pemeran Wanita tertidur di bangku sebelah tempat tidur. Dengan wajah terkulai di sisi kasur. 

Kasus Zydic berbeda. 

GEPLAK! 

Sadar karena ada aroma bakso aci level lima belas khas Setra, Zydic terbangun di esok pagi harinya. Namun bukan bakso aci favorit yang menyambut, tapi malah pukulan dari tangan Thief ke belakang kepala. 

Perlu diketahui, bahwa perempuan ini badannya saja yang kaya kena cacingan. Tenaganya justru seperti beruang. Mana Zydic baru beres demam. Rasanya langsung migrain. 

'Ko gua dipukul?!' 

Thief melipat kedua lengan. 

'Jaga mulut, bisa?! Saya kerepotan jadinya!' 

Zydic melotot. Masih tidak terima dipukul sampai sedemikian terasa merana.

'Ya ga usah mukul juga! Kalo gua mati gimana?!' 

'Mati saja sana! Saya ga peduli lagi! Stress saya lihat kamu sekarat! Cepat mandi! Kita makan bakso aci!' 

Begitulah. Hari demi hari berlalu. Zydic tidak pernah melewati obat yang disediakan Thief. Meski begitu, Zydic masih sering demam malam-malam. 

Thief selalu bertanya apa Zydic baik-baik saja? Apa perlu meminta tambahan resep ke tim medis akademi? Namun, sepucat apapun, jawaban Zydic selalu sama: Ia tidak apa-apa.

Kemudian di suatu siang, sebuah berita datang. Badan Peneliti Edentria berhasil mengembangkan satu formula obat dan satu formula vaksin. Sudah mereka uji ke seratus sample penderita dengan berhasil. Rumah Isolasi akan kedatangan dokter dan tim esok pagi. 

Baik Zydic maupun Thief tertegun. 

'Akhirnya, besok kita pulang ke Akademi.' 

'Yeee pede. Belum tentu juga Neng. Pan kita belon tau kaya gimana kerja obat sama vaksinnya.'

'Oh iya. Pinter juga kamu.' 

'Sorry ya, kalo selama disini gua nyusahin.' 

'Memang.' 

Petang itu, keduanya duduk di teras rumah. Untuk pertama kali, menikmati bebunyian beribu makna yang tak terbaca. Tapi sorot mata keduanya menabur perasaan dan luka yang sama. 

Tengah malam, sendirian di kamar, Thief tertegun. Besok, ia dan Zydic akan berpisah. Laki-laki itu akan kembali ke pelukan gadisnya. Zydic beruntung. Pemuda urakan tidak jelas macam dia bisa menarik hati seorang gadis berwajah dewi berhati malaikat. Blossom berasal dari keluarga konglomerat dengan gelar bangsawan Salvatore. Kekayaannya unlimited. 

Tidak ada keberuntungan yang lebih dari pada ini. 

Ctak! 

Kaget, Thief menoleh mendapati lampu ruang tengah tiba-tiba menyala. Disusul dengan terbukanya pintu kamar. Di lawang, Zydic menatap Thief waswas sembari menekan bibir dengan telunjuk. Silent Lily mencoret tinta sihir yang tinggal sedikit. 

'Aktifin monsu, siapin weapon. Kita bakalan kena attack sebentar lagi.' 

Thief terperanjat. 

'Siapa musuhnya?' 

'Coba pake item pelacak. Ada lebih dari selusin monster liar Giganta bakalan kemari.'

Dua puluh menit kemudian, baik Zydic maupun Thief sudah berdiri di halaman belakang. Bersama senjata dan berbagai tipe monsu serta item-item penunjang. Berawal dari auman buas yang semakin dekat. Suara seraknya menerbangkan lusinan burung dari puncak vegetasi nan rapat. Disusul dengan getaran tanah yang semakin lama semakin tidak terkendali. 

Mereka setinggi tiga meter selebar orang utan. Bulunya merah, bermoncong babi berkuping keledai. Kuku-kuku jarinya panjang seperti parang. Zydic adalah calon Darkmaster jadi ia diam di belakang sebagai support dan pemberi opening attack. Thief yang mempersiapkan diri sebagai seorang Rogue akan mengambil peran Last Hit. 

Semua monsu dikeluarkan. Healing dan defense disiagakan. 

Zydic dan Thief belum level maksimal tapi sudah cukup kenyang dengan arena baku hantam. Ditambah tipe monster yang mereka hadapi kali ini kebetulan bukan yang terlalu susah. Banyak, tapi tidak gesit dan tidak kuat. 

"RRROOOAAAARRR!"

Dimulai. 

Strategi demi strategi dilancarkan. Serangan demi serangan digempurkan. Menyerang-bertahan-kena serangan-penyembuhan semuanya sesuai rencana. Silent Lily menggores tinta demi tinta. 

'Thief! Arah jam tiga!' 

'Back up sisi kanan saya!' 

'Yang cokelat cepet geraknya, awas!'

'Kill dua yang kecil di kiri!'

'Mundur Thief!'

'Defense!'

'Gua bikin barrier. Lu healing!' 

'Tahan dua puluh detik. Saya butuh regen mana sama luka.' 

'Oke. Tapi habis itu ultimate.'

'Iya.' 

Zydic dan Thief tidak pernah ada di satu arena battle. Tapi masing-masing dari mereka mengakui. Berpartner dengan yang lihai dan ahli sungguh membuat semua terasa lebih mudah. 

'Lu siap?'

'Habisi mereka sampai setengah nyawa. Sisanya saya lepas ultimate.'

'Oke. Gua serang sekaligus pakai ulti juga.' 

'Ya.' 

Swiiiinggg~

DBUAAAAMMMM!!! 

Kilat-kilat cahaya sihir membelah sunyi. Kelap kelip bayang di dasar pohon besar muncul-tenggelam. Para pengerat menengokan kepalanya yang kecil walau mata mereka besar. 

Selesai. 

Baik Thief maupun Zydic terduduk lemah tak berdaya. Keduanya terluka di sana sini dan habis tenaga. Temaram matahari mulai membias kabut. Dengan sisa mana yang ada, Zydic memberikan efek healing pada Thief. 

'Kamu hebat. Saya tidak pernah berpartner dengan yang sekuat kamu.' 

Zydic mau membalas namun tidak ada yang tertoreh saat Silent Lily Merahnya menggores angin. Ah, tintanya habis. Saat bangkit berjalan demi menghampiri Thief, pasang atensi Zydic membelalak besar. 

"GRAAAA!"

Seekor monster yang tengah terluka masih bergerak dengan mengayunkan cakar tepat di belakang Thief ke arah gadis itu. Zydic menyerukan peringatan tapi tinta pena habis. Pemuda itu kemudian menarik belati dari sabuk sembari melompat menerjang musuh. 

"JANGAN SENTUH THIEF GUAAA, BANGSAAAT!!!"

SLUB! 

CRAT! 

Sang monster langsung ambruk dengan belati menancap. Thief kaget bukan kepalang. Kejadiannya cuma nol koma nol sekian detik. Begitu menoleh, Thief mendapati Zydic tengah berdiri memunggungi. Bahunya naik turun lelah tanpa henti. Mata Thief berlinangan air kemudian berlari menangkap tubuh laki-laki yang ambruk. 

"UHUK! UHUK!" 

Zydic terbatuk keras sembari mengeluarkan percik-percik darah.

Dia bersuara. 

Barusan Zydic berteriak lantang. Keras. Sekuat tenaga. Kini wabah terkutuk itu pasti sedang bergerombol mengoyak paru-parunya. 

Thief memangku kepala Zydic tepat di paha. Ia menepuk-nepuk pipi Si Pemuda. Pria yang kulitnya mulai memucat itu menahan tangan Thief saat hendak berlari untuk meraih obat. Dalam suara parau yang terdengar perih, Zydic tersenyum. Tubuhnya lunglai dan dingin. 

"Kalau gua tau si Diamond itu bakal mutusin lu, gua engga akan nembak Blossom." 

Satu dua tetes air mata Thief jatuh di pipi Zydic. Thief menggelengkan kepala kuat-kuat. Meminta Zydic jangan bicara lagi atau parasit iblis itu akan tambah mengiris jaringan-jaringan organ pernafasannya. Tapi Zydic malah nyengir penuh nyeri.

"Thief... Ini sakit banget by the way."

Kalimat Zydic diakhiri dengan geraman keras. Sungai merah pekat keluar dari hidung dan mulut. Silent Lily Merah jatuh ke permukaan tanah yang keras. Tertanda pemiliknya telah tewas. 

*** 

Kali ketiga Thief mengunjungi rumah di pesisir pantai setelah setiap tahunnya hadir tanpa absen. Sekarang, perempuan mungil itu telah resmi menjadi Professional Rogue. Sesuai janji, penghasilannya tujuh puluh persen disalurkan untuk gereja. 

Ngomong-ngomong, sekarang tempat ini sudah megah. 

Tapak-tapak kaki kecil berseru kala Thief datang. Anak-anak terbuang itu sudah hafal. Di musim panas yang wangi garam, Dewa penyelamat mereka akan bertandang. 

Thief menyapa Bunda. Biara renta yang dulu mengurusnya. Yang sampai sekarang masih menemani Zydic. Menjaga rumah pemuda petakilan itu agar keramik deragemnya tetap mengkilap. Katanya menyapa. Tapi sebenarnya Thief cuma mengangguk pada Bunda. Suaranya hilang total pasca kejadian Giganta. 

Thief memegang Silent Lily Merah sembari duduk memeluk lutut di sebelah nisan. Silent Lily Biru di dekat kepala menoreh kata. 

'Saya minta maaf, karena telah membunuh kamu.' 

Desir angin hangat menggoyang rambut. Rasanya, Zydic betulan ada di sana. Di sebelahnya. Duduk bersila membaca semua. 

'Waktu itu saya dapat kabar. Rumah kita akan ditutup. Disita. Dihancurkan. Saya bingung. Kalau seperti itu, anak-anak akan kemana?' 

Thief menoleh. Seolah menatap wajah Zydic yang polos dan selalu mau tahu apapun. 

'Uang yang dibutuhkan untuk menebus hutang besar sekali. Sangat besar. Kalaupun saya jual diri, tidak akan terbayar.' 

Thief memutar kejadian. Saat ia akan memberitahukan berita memilukan barusan pada Zydic untuk bersama mencari solusi, di taman belakang Akademi, Sang Pemuda sedang berduaan. Menautkan bibir penuh pendar-pendar kasih. 

Thief tidak mengerti kenapa ia waktu itu malah sembunyi. Sembari mencengkeram kerah seragam. Di dalam dada itu, sesuatu berdentum nyeri. 

'Aku mendengarnya. Kalian akan bertunangan bahkan dari sekarang.Dan saat itu, nama kamu akan langsung masuk ke daftar penerima harta warisan.' 

Uang dengan nominal yang tak terbayang akan diberi pada Zydic. Anak yang pintar. Bagaimana cara Zydic memikat Blossom sampai sekeluarga ningrat itu jatuh hati padanya? Masih menjadi misteri. Yang jelas, uang yang dijanjikan sudah merupakan hal pasti. 

'Uang warisan bagi para bangsawan, tetap akan diberikan walau sang ahli waris wafat. Saya berniat membunuh kamu. Membuatnya seperti kecelakaan tunggal. Lalu menyalurkan uangnya untuk rumah. Tapi saya urung. Kita malah kena penyakit wabah.'

Thief melirik lagi ke sebelah. Bayang-bayang Zydic sudah enyah. Ia benar-benar sendirian di sebelah nisan yang dibuat indah. Sore hari. Berteman angin dan langit samudera. 

Thief menatap ukiran nama Zydic di sana. Kemudian memeluknya. Memeluk batu keras nan dingin itu. 

'Obat yang saya beri saat kita di rumah, dosisnya sengaja saya buat salah. Itu sama dengan racun. Seharusnya kamu kritis. Tapi kamu tetap bertahan. Bagaimana bisa menahannya? Rasanya pasti sakit sekali.' 

Thief memejamkan mata. 

'Tapi pada akhirnya, kamu mati karena melindungi saya.' 

Uang santunan kematian Zydic cair bersamaan dengan jasad kakunya. Thief menggunakan itu untuk menebus gereja. Melepasnya dari jeratan lintah darat dan para buaya pemalak. 

Thief meletakan Silent Lily merah di depan nisan. Menancapkannya di sana dengan sihir agar tidak diganggu angin atau hewan yang jahil. 

'Saya juga sayang sama kamu. Dari dulu. Saya yakin akhir yang seperti ini, kita akan sama-sama setuju.' 

FIN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun