SAAT SENJA DATANG, kawasan Malioboro lengang. Sepeda dan andong sudah tak lalu lalang. Suasana tenang.
Aku dan Bawono duduk di ruang tamu yang sekaligus menjadi bilik redaksi. Hanya ada beberapa meja dan kursi. Ini sudah cukup menjadi tempat berdiskusi. Bukan sekadar untuk menyiapkan berita esok hari, tapi juga membahas perkembangan politik yang sedang terjadi.
“Tampaknya, kehadiran surat kabar kita diterima dengan baik,” kataku sambil menikmati rokok kretek kesukaan.
“Sepertinya begitu. Judul dan berita utama yang selama ini kita tampilkan cukup menarik minat baca,” sahut Bawono.
“Bagaimana pun, judul dan berita utama memang yang akan pertama kali dinikmati.”
“Ini lah pentingnya selalu menimbang dengan matang isi yang akan ditampilkan pada halaman pertama.”
Aku, Untoro, Bawono, dan Mulyadi sudah berteman cukup lama. Kami ditugaskan oleh Sendenbu atau Barisan Propagandis Jepang untuk mengelola surat kabar Cahaya Mentari. Biaya langganannya sebesar 1.50 gulden perbulan. Saat itu, tugas utama kami untuk memberitakan agenda politik pemerintahan Dai Nippon. Tapi kami jarang memenuhi tugas itu. Sebaliknya, lebih banyak menggunakan Cahaya Mentari sebagai media propaganda perjuangan.
Karena tak patuh dengan tugas Sendenbu, mereka mengancam menutup surat kabar itu. Namun sebelum mereka membubarkan Cahaya Mentari, kami putuskan untuk lebih dulu tak menerbitkannya lagi. Sejak muncul pertama kali tanggal 1 Juli 1942, surat kabar itu hanya berumur tiga tahun.
Sekitar 40 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, kami dipertemukan kembali dan sepakat meneruskan perjuangan yang sudah pernah kami lalui di Cahaya Mentari. Kami menerbitkan surat kabar baru dan memilih Kemerdekaan Bangsa sebagai nama surat kabar yang baru dirintis ini. Memanfaatkan momentum Proklamasi Kemerdekaan, kami terus berupaya menggelorakan semangat perjuangan rakyat.
Pada terbitan pertama Kemerdekaan Bangsa, kami menulis berita utama berjudul “Kekoeasaan Pemerintah Daerah Djogdjakarta.” Sedangkan subjudul di bawahnya tertulis “Seloeroehnja di Tangan Bangsa Indonesia.” Berita utama ini kami pilih untuk menggemakan pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan Paku Alam VIII. Mereka berdua menegaskan bahwa wilayah Yogyakarta menjadi bagian dari pemerintahan RI.
Kami sengaja memilih kalimat yang dapat mengobarkan semangat perjuangan rakyat agar momentum kemerdekaan terus bergaung. Juga untuk menjaga semangat juang dalam mempertahankan kemerdekaan. Kalimat berbau patriotisme terus kami produksi agar semangat itu terus menyala. Dalam terbitan pertama pula, kami menurunkan judul lain yang tak kalah heroik “Indonesia Merdeka Adalah Tjiptaan Indonesia Sendiri.”
Tapi, tak selamanya berani menulis judul dan berita semacam itu. Kadang, terlintas risiko yang akan aku dan kawan-kawan hadapi bila berita-berita yang kami tulis selalu mengutamakan kepentingan republik.
Meski bangsa Indonesia telah menyatakan Proklamasi Kemerdekaan, Netherlnads Indies Civil Administration (NICA) masih tetap menganggap Indonesia berada di bawah kekuasannya. Mereka tidak rela tanah jajahan yang sudah dikuasai sekian lama begitu saja lepas. Segala cara dan kekuatan mereka lakukan untuk mempertahankannya. Mereka mengawasi semua hal yang dapat menghambat usaha menguasai kembali wilayah Indonesia.
Pengalaman bersama Cahaya Mentari sudah cukup memberi pelajaran. Kalau Kemerdekaan Bangsa sekadar ditutup oleh NICA, kami mudah untuk menerbitkan kembali dengan nama yang berbeda. Tapi kalau kami diancam, dipenjara, atau diasingkan, apalagi dibunuh? Umurku baru 32 tahun.
Wajah Tirto Adhi Soerjo terkadang melintas dalam kepala. Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadi medan perjuangannya melawan pemerintahan kolonial Belanda. Aku ingin mewarisi keberaniannya, dan telah kurintis sejak mengelola Cahaya Mentari, hingga kini di Kemerdekaan Bangsa. Tapi, apakah aku akan terus seberani seperti dirinya, dan siap menanggung risiko terburuk?
Tirto diasingkan ke Lampung lalu ke Maluku karena keberaniannya menulis kejahatan Belanda. Selepas masa pengasingan usai, Batavia menjadi tempatnya kembali. Dia lalu mengurung diri, mengalami depresi, terserang disentri, lalu mati.
“Ada berita penting!” kata Mulyadi berseru.
Sambil membuka pintu dengan dorongan yang cukup keras, tiba-tiba dia datang. Pantulan daun pintu mengenai tembok dan menimbulkan suara hentakan. Menggunakan baju putih lengan pendek, celana coklat, serta sepatu yang sudah lusuh, dia datang tergopoh masuk bilik redaksi.
“Duduk dulu,” saranku sambil kusodorkan rokok kretek ke arahnya.
“Presiden menyetujui tawaran Kanjeng Sultan!” ujarnya sambil meletakkan topi di meja.
“Kamu tahu berita itu dari mana?” sahutku.
“Dari Kraton,” jawabnya singkat.
“Kamu tidak salah dengar? Baru kemarin Kanjeng Sultan menawari Presiden...”
“Tidak salah. Wes tho percaya sama aku!”
Mulyadi memang bertugas meliput berita di Kraton. Kami selalu ingin mengetahui berita dari sana untuk diliput dan ditulis. Selain itu, kami juga ingin menyampaikan kepada rakyat Yogyakarta bila ada perintah Sultan kepada rakyatnya.
Satu kenangan yang sangat membekas, suatu pidato yang dulu pernah disampaikannya secara langsung melalui saluran radio.
Saat Jepang mulai masuk pada awal tahun 1942, Sultan menyerukan kepada rakyat Yogyakarta untuk tenang dan tetap dalam satu komando di bawah perintahnya. Pada saat kerusuhan dan perampokan terjadi di wilayah luar Yogyakarta ketika Jepang mulai masuk Indonesia, kondisi Yogyakarta tetap aman dan terkendali. Pidato itu sangat berpengaruh bagi rakyat Yogyakarta untuk tunduk mengikuti titahnya.
Melalui Mulyadi pula kami jadi tahu kalau Sultan sangat mengkhawatirkan keamanan para pemimpin republik di Jakarta. Kekalahan Jepang dari sekutu menjadi momentum bagi Belanda untuk kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia.
Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, bersama pasukan sekutu, NICA kembali lagi ke Jakarta. Upaya NICA untuk membunuh Presiden Soekarno dan pemimpin tinggi republik lainnya sudah dilakukan berkali-kali. Ini yang membuat Presiden dan pemimpin lainnya harus berpindah tempat untuk menyelamatkan diri, meski tetap berusaha bertahan di Jakarta.
Sejak surat kabar Kemerdekaan Bangsa terbit, kami cukup memberi perhatian terhadap situasi keamaan di Jakarta. Pada tanggal 22 Oktober 1945, kami menulis sebuah judul berita “NICA Teroes Memboeas.” Hingga akhir Desember, kami masih terus memberitakan situasi keamanan ibu kota.
Pada suatu terbitan di bulan Desember, kami memberitakan kelakuan tengik pasukan NICA. Bendera Merah Putih yang dipasang di gedung diturunkan, sebagaimana terjadi di atap Masjid Kwitang. Masjid pun digeledah. Bahkan tak jarang, NICA juga melakukan pembakaran terhadap Bendera Merah Putih.
Hingga kemudian tawaran dari Sultan datang untuk mempersilahkan wilayah kekuasannya dijadikan sebagai ibu kota republik. Tampaknya, tawaran itu mendapat sambutan yang baik dari Presiden dan pemimpin republik lainnya di Jakarta. Baru kemarin Sultan mengirim kurir ke ibu kota, langsung mendapat respon cepat dan Presiden menyetujui perpindahan ibu kota ke Yogyakarta.
***
“Berita apa yang kamu peroleh hari ini?” tanya Mulyadi kepadaku.
“Aku tadi ke pasar. Beberapa harga makanan pokok naik,” jawabku.
“Apakah ada bahan pokok yang sulit dicari?”
“Masih ada semua, tapi mahal harganya.”
Kantor surat kabar yang tak begitu luas, bekas kantor yang dulu kami gunakan untuk mengelola Cahaya Mentari, berlokasi di Jalan Malioboro. Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, aku, Untoro, Bawono, dan Mulyadi menjadikannya sebagai kantor Kemerdekaan Bangsa.
Bermalam di kantor bukan sekali dua kali saja kulakukan, tapi sudah sangat sering, termasuk tadi malam. Sepertinya aku memang harus menginap lagi malam ini. Sengaja mengajak Mulyadi untuk sama-sama tak pulang dan besok pagi, kami ingin ikut menyambut dan menyaksikan Presiden Soekarno beserta rombongan tiba di Stasiun Tugu.
Setiap bermalam di kantor, tugasku bukan semata memastikan semua materi redaksi siap untuk dicetak. Sebagai sebuah surat kabar rintisan, setiap awak Kemerdekaan Bangsa tidak hanya bertanggung jawab sesuai tugas masing-masing. Sebagai bagian dari tim redaksi, aku juga membantu tim surat kabar lainnya di bagian produksi.
Untuk keperluan pra-cetak, kami menggunakan mesin intertype, sedangkan untuk keperluan cetak, kami memanfaatkan mesin snelpress . Melihat hasil reportase tertuang dalam surat kabar yang sudah tercetak merupakan kebahagiaan tersendiri.
Tentu, kebahagiaan yang begitu besar kami rasakan ketika surat kabar Kemerdekaan Bangsa berhasil tercetak pada hari pertama. 2,000 eksemplar menjadi penanda lahirnya Kemerdekaan Bangsa. Kami mengedarkannya ke seluruh wilayah Yogyakarta dan mendapat tanggapan yang baik dari rakyat Yogyakarta. Karena itu, pada hari kedua, kami menambah cetakan menjadi 3.000 eksemplar dan pada hari ketiga menjadi 4.000 eksemplar.
Kami tentu senang dengan kenaikan jumlah cetak itu, tapi sesungguhnya di sana ada tanggung jawab yang dipikulkan para pembaca kepada Kemerdekaan Bangsa, apakah kami mampu menjaga kehadiran surat kabar ini untuk senantiasa menjadi media perjuangan dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia.
***
Hanya beberapa jam aku tidur di kantor. Sesaat setelah waktu subuh lewat, aku dan Mulyadi bergegas berjalan menuju Stasiun Tugu. Kami memilih berjalan kaki ke stasiun karena hanya perlu beberapa langkah saja untuk sampai di sana. Sambil melangkah, aku hisap rokok kretek yang masih tersisa di kantong. Hawa dingin menyergap. Jaket tipis yang melekat di kulit cukup membuat tubuh hangat dan kami terus berjalan beberapa tapak lagi.
Di depan, sudah terlihat stasiun. Halaman depan stasiun terlihat lengang, apalagi tak ada pepohonan. Pada tahun 1930-an, di sana masih ada satu pohon beringin yang besar dan rimbun. Memiliki usia panjang termasuk salah satu ciri pohon beringin yang dapat tumbuh tanpa mengenal musim. Daunnya berukuran kecil berwarna hijau tua. Akan merasa nyaman bagi siapa saja yang beristirahat di bawahnya.
Saat matahari sedang terik, di bawah pohon itu menjadi tempat terbaik untuk berteduh bagi kusir dan andongnya yang sedang menunggu penumpang yang baru tiba di stasiun. Bila berjajar dengan rapi, area di bawah pohon itu mampu menampung 4 hingga 5 andong untuk sama-sama berbagi tempat berteduh. Karena termasuk tanaman kerajaan, tak salah bila pohon beringin itu menjadi simbol pelindung raja terhadap rakyatnya.
Aku dan Mulyadi masuk bangunan induk stasiun. Bangunan yang menghadap ke timur itu sekaligus menjadi pintu utama stasiun. Jendela dan pintu berukuran besar menjadi salah satu ciri utama bangunan. Di dalam gedung sudah ada beberapa pegawai Kraton. Kami menyalami mereka. Mulyadi mengenal para pegawai itu.
“Kanjeng Sultan dan Sri Paduka apa sudah ada di dalam?” tanya Mulyadi kepada salah satu pegawai Kraton.
“Belum. Semoga sebentar lagi tiba,” jawabnya.
Kami berdiam diri di gedung induk stasiun sambil berdiri ikut menunggu kedatangannya. Tak lama, suara kendaraan terdengar. Sultan HB IX dan Paku Alama VIII tiba bersamaan. Melewati gedung induk, lalu masuk ke ruang tunggu.
Meninggalkan ibu kota ke Yogyakarta menggunakan kereta tentu sudah dipikirkan dengan matang oleh Presiden Soekarno dan pemimpin republik lainnya di Jakarta. Pilihan dan keputusan ini mengisyaratkan kalau kereta menjadi alat transpostasi dengan risiko terendah dibanding pesawat, kapal laut, atau jalur darat dengan iringan kendaraan.
Namun, tetap tidak terbayangkan bagaimana Presiden Soekarno beserta rombongan meninggalkan Jakarta, lalu melewati Bekasi, dan rute perjalanan selanjutnya tanpa sepengetahuan atau bahkan tertangkap oleh pasukan NICA yang terus menerus melakukan patroli, bahkan hingga malam hari.
Bukan kah kesalahan sekecil apapun dalam merencanakan perjalanan yang penuh risiko itu bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal bagi negeri yang baru berdiri ini? Aku tak bisa membayangkan bila NICA mengetahui rombongan itu, lalu memborbardir dengan rentetan senjata, atau bahkan menghacurkan seluruh gerbong kereta dengan bom. Bila itu terjadi, dalam semalam negeri ini akan kehilangan Presiden dan pemimpin republik lainnya.
Cahaya fajar tampak di ujung timur. Secara perlahan, akan diikuti cahaya merah sebagai penanda awal terbitnya matahari. Dari pintu utama, beberapa orang masuk stasiun. Semakin lama, semakin banyak rakyat Yogyakarta yang datang.
“Mul, dari mana mereka tahu kalau Presiden akan tiba pagi ini?” tanyaku kepada Mulyadi.
“Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Apa Kanjeng Sultan mengumumkan lewat radio?” tanyaku lagi.
“Sejak kemarin sore aku tidak mendengar radio,” sahutnya.
Kanjeng Sultan, Sri Paduka, dan kami, sebagian rakyat Yogyakarta terus menunggu kedatangan Presiden Soekarno dan rombongan. Bila pun harus menunggu seharian di stasiun, kami akan tetap bertahan demi ikut menyambut serta menyaksikan kehadirannya. Namun, waktu penantian ternyata tak perlu selama itu.
“Kereta datang!” pekik salah seorang ketika melihat sebuah lokomatif di kejauhan dari arah barat.
Serempak, ratusan orang berdiri. Mimik muka berubah. Senyum merekah, mata berpendar. Sebagian saling pandang. Tak sabar melihat Sang Presiden datang. Lokomotif semakin mendekat dan akhirnya tiba di stasiun.
“Merdeka...Merdeka...Merdeka...!” teriakan bergaung.
Dari jendela berkaca pada sebuah gerbong, wajah Presiden Soekarno muncul. Dengan berpeci warna hitam, beliau tersenyum, sesekali melambaikan tangan. Setelah beberapa saat, pasukan pengaman mengawal Presiden turun dari kereta, diiringi oleh ibu Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra. Dari gerbong lain, Wakil Presiden Mohammad Hatta turun dari kereta disertai oleh ibu Rahmi Hatta.
Satu persatu, rombongan lainnya turun dari kereta. Ada Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Abdoel Karim, dan rombongan lainnya. Setelah semua rombongan turun dari kereta, sebagian orang berebut ingin masuk ke dalam gerbong. Aku dan Mulyadi melangkah keluar meninggalkan stasiun menuju kantor Kemerdekaan Bangsa.
“Ini peristiwa besar. Besok kita jadikan judul dan berita utama,” kataku kepada Mulyadi sambil terus melangkah.
Catatan: Tulisan ini pertama kali tayang hari Jum’at, 8 Januari 2021 di www.faisholadib.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H