“Mul, dari mana mereka tahu kalau Presiden akan tiba pagi ini?” tanyaku kepada Mulyadi.
“Aku tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Apa Kanjeng Sultan mengumumkan lewat radio?” tanyaku lagi.
“Sejak kemarin sore aku tidak mendengar radio,” sahutnya.
Kanjeng Sultan, Sri Paduka, dan kami, sebagian rakyat Yogyakarta terus menunggu kedatangan Presiden Soekarno dan rombongan. Bila pun harus menunggu seharian di stasiun, kami akan tetap bertahan demi ikut menyambut serta menyaksikan kehadirannya. Namun, waktu penantian ternyata tak perlu selama itu.
“Kereta datang!” pekik salah seorang ketika melihat sebuah lokomatif di kejauhan dari arah barat.
Serempak, ratusan orang berdiri. Mimik muka berubah. Senyum merekah, mata berpendar. Sebagian saling pandang. Tak sabar melihat Sang Presiden datang. Lokomotif semakin mendekat dan akhirnya tiba di stasiun.
“Merdeka...Merdeka...Merdeka...!” teriakan bergaung.
Dari jendela berkaca pada sebuah gerbong, wajah Presiden Soekarno muncul. Dengan berpeci warna hitam, beliau tersenyum, sesekali melambaikan tangan. Setelah beberapa saat, pasukan pengaman mengawal Presiden turun dari kereta, diiringi oleh ibu Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra. Dari gerbong lain, Wakil Presiden Mohammad Hatta turun dari kereta disertai oleh ibu Rahmi Hatta.
Satu persatu, rombongan lainnya turun dari kereta. Ada Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Abdoel Karim, dan rombongan lainnya. Setelah semua rombongan turun dari kereta, sebagian orang berebut ingin masuk ke dalam gerbong. Aku dan Mulyadi melangkah keluar meninggalkan stasiun menuju kantor Kemerdekaan Bangsa.
“Ini peristiwa besar. Besok kita jadikan judul dan berita utama,” kataku kepada Mulyadi sambil terus melangkah.