Mohon tunggu...
Faishol Adib
Faishol Adib Mohon Tunggu... Penulis - Profiless

Person without Profile

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menanti Kereta Api

15 Januari 2021   15:43 Diperbarui: 15 Januari 2021   15:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tapi, tak selamanya berani menulis judul dan berita semacam itu. Kadang, terlintas risiko yang akan aku dan kawan-kawan hadapi bila berita-berita yang kami tulis selalu mengutamakan kepentingan republik.

Meski bangsa Indonesia telah menyatakan Proklamasi Kemerdekaan, Netherlnads Indies Civil Administration (NICA) masih tetap menganggap Indonesia berada di bawah kekuasannya. Mereka tidak rela tanah jajahan yang sudah dikuasai sekian lama begitu saja lepas. Segala cara dan kekuatan mereka lakukan untuk mempertahankannya. Mereka mengawasi semua hal yang dapat menghambat usaha menguasai kembali wilayah Indonesia. 

Pengalaman bersama Cahaya Mentari sudah cukup memberi pelajaran. Kalau Kemerdekaan Bangsa sekadar ditutup oleh NICA, kami mudah untuk menerbitkan kembali dengan nama yang berbeda. Tapi kalau kami diancam, dipenjara, atau diasingkan, apalagi dibunuh? Umurku baru 32 tahun. 

Wajah Tirto Adhi Soerjo terkadang melintas dalam kepala. Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadi medan perjuangannya melawan pemerintahan kolonial Belanda. Aku ingin mewarisi keberaniannya, dan telah kurintis sejak mengelola Cahaya Mentari, hingga kini di Kemerdekaan Bangsa. Tapi, apakah aku akan terus seberani seperti dirinya, dan siap menanggung risiko terburuk? 

Tirto diasingkan ke Lampung lalu ke Maluku karena keberaniannya menulis kejahatan Belanda. Selepas masa pengasingan usai, Batavia menjadi tempatnya kembali. Dia lalu mengurung diri, mengalami depresi, terserang disentri, lalu mati.

“Ada berita penting!” kata Mulyadi berseru.

Sambil membuka pintu dengan dorongan yang cukup keras, tiba-tiba dia datang. Pantulan daun pintu mengenai tembok dan menimbulkan suara hentakan. Menggunakan baju putih lengan pendek, celana coklat, serta sepatu yang sudah lusuh, dia datang tergopoh masuk bilik redaksi.

“Duduk dulu,” saranku sambil kusodorkan rokok kretek ke arahnya.

“Presiden menyetujui tawaran Kanjeng Sultan!” ujarnya sambil meletakkan topi di meja.

“Kamu tahu berita itu dari mana?” sahutku.

“Dari Kraton,” jawabnya singkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun