Tapi, tak selamanya berani menulis judul dan berita semacam itu. Kadang, terlintas risiko yang akan aku dan kawan-kawan hadapi bila berita-berita yang kami tulis selalu mengutamakan kepentingan republik.
Meski bangsa Indonesia telah menyatakan Proklamasi Kemerdekaan, Netherlnads Indies Civil Administration (NICA) masih tetap menganggap Indonesia berada di bawah kekuasannya. Mereka tidak rela tanah jajahan yang sudah dikuasai sekian lama begitu saja lepas. Segala cara dan kekuatan mereka lakukan untuk mempertahankannya. Mereka mengawasi semua hal yang dapat menghambat usaha menguasai kembali wilayah Indonesia.
Pengalaman bersama Cahaya Mentari sudah cukup memberi pelajaran. Kalau Kemerdekaan Bangsa sekadar ditutup oleh NICA, kami mudah untuk menerbitkan kembali dengan nama yang berbeda. Tapi kalau kami diancam, dipenjara, atau diasingkan, apalagi dibunuh? Umurku baru 32 tahun.
Wajah Tirto Adhi Soerjo terkadang melintas dalam kepala. Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadi medan perjuangannya melawan pemerintahan kolonial Belanda. Aku ingin mewarisi keberaniannya, dan telah kurintis sejak mengelola Cahaya Mentari, hingga kini di Kemerdekaan Bangsa. Tapi, apakah aku akan terus seberani seperti dirinya, dan siap menanggung risiko terburuk?
Tirto diasingkan ke Lampung lalu ke Maluku karena keberaniannya menulis kejahatan Belanda. Selepas masa pengasingan usai, Batavia menjadi tempatnya kembali. Dia lalu mengurung diri, mengalami depresi, terserang disentri, lalu mati.
“Ada berita penting!” kata Mulyadi berseru.
Sambil membuka pintu dengan dorongan yang cukup keras, tiba-tiba dia datang. Pantulan daun pintu mengenai tembok dan menimbulkan suara hentakan. Menggunakan baju putih lengan pendek, celana coklat, serta sepatu yang sudah lusuh, dia datang tergopoh masuk bilik redaksi.
“Duduk dulu,” saranku sambil kusodorkan rokok kretek ke arahnya.
“Presiden menyetujui tawaran Kanjeng Sultan!” ujarnya sambil meletakkan topi di meja.
“Kamu tahu berita itu dari mana?” sahutku.
“Dari Kraton,” jawabnya singkat.