Untuk Azzahraku di Tanah Tua
“Azzahraku yang manis dan selalu manis, di atas bumi Halmahera yang di apit oleh gunung gemunung dengan petala yang tak berbulan. Aku kirimkan kerinduanku kepada engkau yang ada di tanah tua. Iya, lewat angin malam yang sunyi sesunyi jiwaku yang malang ini. Juga angin yang malu, semalu dirimu bertambat kasih denganku sampai detik ini.
Tapi tenanglah, aku tidak pernah risau apalagi ragu mencintai dan merindukanmu. Sebab aku yakini, bahwa cinta yang mengendap ini adalah yang paling murni dari pemberian Tuhan kita. Maka sekali kau belum berbalas cinta denganku sampai detik ini, bagiku tidaklah mengapa. Semuanya aku serahkan kepada pemberi cinta tak lain adalah Tuhan kita. Biarkan Tuhan yang nanti memilih cerita terbaik dan paling baik cerita. Bukankah kau juga meyakininya bahwa apa yang kita anggap baik belum tentu baik di matanya?.
Kau tahu Azzahraku, rindu ini hanya untukmu dan selalu untukmu. Aku berandai, jika Tuhan mengizinkan aku menumpahkan kerinduanku kepadamu di atas samudra, maka bumi tempat kita pijak dan bersemayam akan hancur akibat meluapnya air laut ke segala arah akibat rinduku yang terlalu sarat. Â Juga andai rinduku bisa di kehendaki untuk bisa mengukurnya, maka lambang angka itu tak mampu merincikan dalamnya rindu ini.
Azzahraku yang indah dan selalu indah. Aku di sini tidak berharap pada bulan yang muncul menumpahkan cahaya pada cawan malam. Bagiku bulan sesungguhnya itu ada bersamamu. Sebab dimatamu telah kutemukan purnama dengan cahaya keyakinan yang terpancar jelas menyibak gulita jiwaku yang tanpa gemintang. Aku lebih suka purnama dimatamu, sebab dia indah dan selalu indah. Dia bercahaya dan selalu bercahaya tanpa sedikitpun polusi atau bias kelabu.
Oh iya, aku hampir lupa Azzahra. Tadi sore aku turun bukit dan mampir di tanjung mara Adam. Aku berniat hanya ingin melihat keindahan senja di Halmahera. Tapi kau tahu apa yang aku dapati di sana? Iya, yang aku dapati hannyalah senja pucat pasi akibat di balut awan gemawan pekat.
Maka lagi-lagi aku tidak menyesalinya. Sebab kau tahu bahwa aku tidak hanya menemukan purnama di matamu. Melainkan juga senja di wajahmu. Senja yang indah melebihi senja Alina yang diberikan Sukab*. Di sini aku tidak bermaksud menyemai engkau dengan dua objek itu. Aku hanya melukiskan keindahan yang aku temui dalam dirimu. Dan aku harap hanya aku yang temukan itu dalam dirimu.
Mungkin aku sudahi dulu suratku ini, kiranya kau sudi membacanya. Satu hal yang harus kau percaya bahwa ini bukan bualan, tapi sebuah kebenaran yang harus aku sampaikan malam ini. Aku harap kau akan menerimanya dengan senang hati Azzahraku."
***
Hujan baru saja turun. Iya, deras dan sangat deras sekali. Seperti juga rinduku ke kamu yang selalu deras menghujam jiwaku. Sesaat aku tidur membawa rindu dalam tidurku. Lalu rindu itu menjadi mimpi. Dia nyata dan bahkan nyata. Sekali lagi aku tidur, membawa mimpi juga puisi yang masih mengendap di kepalaku.
Ternate, 04 April 2021
*Sepotong senja untuk pacarku SGA