"Iya nak, kau hendak ke mana?"
"Ke bukit itu kek?"
"Oh iya, jika demikian ayo kita sama-sama saja nak. Kebetulan kita searah."
Dengan cepat aku buntuti kakek itu dari belakang. Kami berjalan di bawa rimbun pohon pala dan cengki. Sesekali melesat masuk di hamparan semak-semak. Selama perjalanan kami bicara banyak. Tentang kebun pala, petani, dan Halmahera itu sendiri. Sesampainya di bukit itu, saya memohon diri untuk menepi. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke kebunnya yang masih sekitar dua puluh menit.
Aku berdiri tepat menghadap ke arah timur. Di sana, terlihat pepohonan hijau terhampar luas. Hijau dan hijau sekali. Aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku tentang Halmahera. Sebab tidak hanya hutan, tapi juga hamparan pulau-pulau kecil terlihat di tengah samudera. Halmahera memang kaya, dari tanahnya yang subur, di dalam perutnya juga ada kekayaan alam berlimpah, sementara samudranya banyak biota laut yang sangat dibutuhkan manusia.
"Tanah kita kaya nak, maka didik generasi agar kelak tidak gampang di bodohi. Anak-anak cucu harus bisa mengelola dengan baik sumber daya alam kita. Jika tidak, mereka hanya akan jadi kuli." Begitulah ucapan kakek tadi sebelum berpisah denganku.
Sungguh kau benar Azzahraku. Kau mengagumi Halmahera. Kau mengantarkan aku menyusup masuk ke dalam kekagumanmu. Dan kini, aku mengagumimu juga Halmahera. Tapi aku lebih mengagumimu.
***
Sore itu aku di tanjung mara adam. Di jembatan tua yang mulai rapuh. Aku sendiri, menikmati sajian sore yang indah. Tapi tidak dengan senjanya, sebab dia tertutup oleh kelabu. Aku pandangi setiap garis pantai yang memanjang, juga para ikan julung yang sekali melompat keluar di kulit air. Di depanku juga, ada banyak bangkai speedboat yang suda mulai rusak. Iya, di situ anak-anak sering bermain air juga lompat melompat ketika turun mandi.
Sesaat kemudian cakrawala mulai cerah. Cahaya senja pun dengan cepat keluar menumpah ruah seperti tumpahan frasa dari seorang penyair ke kertas di meja penyairnya. Di kejauhan, tiga gugus pulau berdiri kokoh. Sekilas, dia seperti gambaran ayah dan ibu disisi kiri dan kanan sementara di tengah adalah anak. Iya, itu sebuah perumpamaan imajinasiku saat melihatnya.
Aku masih duduk diam, sementara cahaya senja yang jingga itu perlahan mulai memudar. Pikiranku pun mengawang-gawan dan perlahan, derai tanya mengalir deras di kepalaku. Sederas hujan yang tanpa ampun menghujani tanah Bobanehena. Perihal tanya yang banyak itu, aku juga tidak tahu menahu. Jelasnya bahwa saat ini tanya itu menerobos masuk dengan cepat membuat tempurung kepalaku serasa sesak.