***
Pada suatu pagi jalanan itu masih sunyi, matahari juga belum sepenuhnya menumpahkan cahaya ke bumi. Di kejauhan terdengar deru suara mesin di atas samudera. Pertanda para maestro laut mulai keluar menantang gelombang. Sementara, di dapur-dapur ibu mulai terlihat kepulan asap yang keluar dari cerobong membumbung ke atas sesaat terurai oleh hembusan angin pagi yang gigil menusuk kulit.
Memang, pagi-pagi sekali para ibu-ibu di sini sudah beradu dengan waktu. Mereka adalah yang paling sibuk di dapur. Mulai dari mempersiapkan pakaian untuk anak-anak mereka yang hendak ke sekolah juga menyiapkan sarapan untuk suami tercinta. Iya, sebuah tugas mulia yang dilakukan atas dasar cinta yang tulus lagi ikhlas.
"Apa kita nanti seperti itu Azzahra. Membangun rumah tangga yang berasaskan kasih dan sayang atas dasar cinta kita yang suci? Aku harap kita seperti itu Azzahraku." Gumaku membatin.
Aku masih terdiam dipojok jalanan dengan kesunyian yang masih menjarah jiwaku. Sesaat aku arahkan langkahku untuk mendaki bukit yang letaknya di sisi kiri kampung. Berharap di sana aku bisa melihat punggung Halmahera yang katamu indah dan permain.
"Aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku kepada Halmahera." Ucapmu kala itu Azzahraku.
"Ada gerangan apa sehingga kau begitu kagum? Tanyaku
"Sebab Halmahera itu terlalu indah."
"Tapi kau juga indah dan selalu indah."
Perlahan aku lewati jalan setapak yang ukurannya sekitar satu meter. Peluh mulai keluar di pori kulit dengan napas yang mulai terengah-engah. Aku istirahat sejenak di bawa pohon pala yang batangnya telah berlumut. Beberapa menit kemudian, terlihat seorang laki-laki paru baya berjalan ke karah yang sama dengan menenteng sebilah bambu di tangan kirinya. Sepertinya orang tua itu adalah petani pala yang hendak memanen buah pala.
"Panen buah pala ya kek?"