Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Si Pemahat Bulan

13 Maret 2021   22:53 Diperbarui: 15 Maret 2021   20:45 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si pemahat bulan, begitulah kebanyakan orang-orang kampung menyebutnya. Rumi adalah pria bertubuh kecil dengan wajah kusam. Dia tinggal sendiri di gubuk tua. Pagi dia habiskan waktu hanya untuk tidur, siangnya dia bangun pergi ke ladang mencabut rumput di sela-sela tanamannya. 

Petang dia pulang lalu ke pantai, sehabis langit senja benar-benar hitam dia kembali ke gubuknya. Dan malamnya dia keluar lagi, di atas bukit dia duduk dengan secarik kertas dan sebatang pena.

Sebetulnya, aku tidak kenal baik dengan dia. Sekilas tentangnya adalah cerita yang aku dengar dari orang-orang. Tentang perihal bahwa dia adalah si pemahat bulan dan aku juga belum tahu persis musababnya.

"Di sudut kampung ada sebuah gubuk, disana tinggallah laki-laki pemahat bulan."

Begitu kalimat dari salah satu warga saat aku dengannya menyeruput kopi pagi di rumahnya. Mendengar ucapannya tentu aku kaget, sebab baru kali ini aku dengar ada seorang yang mengabadikan dirinya sebagai si pemahat bulan. Bahkan di cerita-cerita dongeng pun, tidak kutemukan demikian. Dan jika dia benar-benar si pemahat bulan, aku tak yakin bahwa dia mampu melakukan tugasnya itu.

Dengan penasaran yang mulai membatin, aku ingin tahu seperti apa sosoknya dan jika semesta merestui untuk duduk bersamanya digubuk itu, aku akan tanyakan semua tentangnya dan kerjanya sebagai pemahat bulan itu. Dan apa yang dia gunakan saat hendak memahat bulan.

"Tidak dengan martil atau pahat, berbekal secarik kertas dan pena saja dia mampu membelah bulan yang lagi purnama."

Ucap seorang lagi saat kami duduk di sebuah kedai coffe ketika cakrawala mulai jingga. Aku semakin tidak percaya, hanya berbekal kertas dan pena? Sungguh, ini sesuatu di luar nalar kita. Seorang anak manusia tidak akan mampu memanjat dan meraih bulan, mungkin malaikat iya, itu pun atas ijin tuhan.

"Jika demikian, dapatkah aku bertemu dengan si pemahat itu?" Tanyaku

"Bisa, kau hanya perlu menunggu dan memilih waktu yang pas." Ucap seorang itu.

"Jika demikian, adakah waktu yang pas untuk itu."

"Pagi buta saat matahari masih berumur kecambah dia masih tidur, maka jangan hendak kau bangunkan dia. Kau perlu bersabar menunggunya dipematangan saat matahari mulai merangkak naik di atas kepala, saat petang kau menunggunya di pantai sampai senja benar-benar hitam. Dan bagusnya lagi, lama saat bulan terlihat cerah di ufuk timur."

***

Pagi itu, saat matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, aku berbaris rapi dengan beberapa orang petani yang menjejakkan kakinya ke pematangan mereka. Sekali pun si laki-laki itu akan datang ke pematangan siangnya, namun elok kiranya jika aku lebih dulu menyambutnya di sini.

Perlahan kami mendaki bukit, kemudian turun menyusuri jalanan becek. Sesaat kemudian, sampailah kami di pematangan yang sangat luas. Sepanjang mata memandang, pepohonan rimbun dengan warna hijau menjamah mata. Hampir tak ada semak-semak yang hidup disela batang tanaman mereka, bersih dan rapi.

Kami menyempatkan diri melihat setiap petak tanah yang telah ditumbuhi padi, juga tanaman palawija. Mataku liar menghitung setiap petak, namun terlalu luas untuk dihitung. Dengan penasaran, ingin tahu letak lahan yang dimiliki si pemahat, aku melempar tanya ke petani yang masih terlihat mengehal napas.

"Tidakkah kalian tau bahwa dimana letak pemantang si pemahat bulan?" Ujarku

Setiap mereka saling melirik, entah apa yang dipirkan oleh mereka. Dari gurat wajah yang aku lihat, mereka terlihat bingung. Tak lama kemudian, salah seorang mengatakan.

"Kami tau si pemahat bulan, tapi dia tak punya ladang. Sebab dia adalah si pemahat bulan."

Dari ucapanya, aku kesekian dibuat bingung. Sebab yang lain mengatakan waktu siang dia mengahabiskan waktu ke ladang hanya untuk membersikan semak-semak atau alang-alang yang tumbuh diselah tanamnya. Bahkan laki-laki yang kemarin sore aku temui juga berkata demikian.

Satu persatu dari mereka berjalan ke pematangan miliknya, lalu mulai melakukan rutinitas. Ada yang menyemai benih, ada yang memperbaiki saluran irigasi, juga ada yang menyenduh kopi yang dibawa dari rumah sembari melumat rokok. Aku hanya melihat dan menyimak mereka, sesakali aku mendapati tawaran untuk turut menikmati kopi yang mereka seduh.

Waktu terus berjalan, sampai siang pun si pemahat bulan itu tak kunjung tiba. Padahal ditempat ini semua petani bertumpah ruah disini, semua ladang dan pematangan para petani terkumpul di tempat ini. Jika benar, maka tentu dia akan ke tempat ini, dan jika tidak maka mungkin informasi yang aku terima semalam dan beberapa warga kemarin salah.

"Kemarilah anak muda, kita makan untuk mengisi energi kita." Ucap seorang tua yang ingin menawarkan makan.

Tanpa menolak, aku kemudian ikut dan menikmati makanan yang dihidangkan oleh istrinya dengan penuh kasih dan cinta.

"Tidak ada yang lebih bahagia hidup dalam kesederhanaan namun berkalung cinta." Ucanya dengan senyum.

"Tidakkah kau cari selain ini?" Ucapku

"Aku ingin hidup seperti ini, jadi petani yang setiap paginya harus ke sini, siangnya rehat dan sorenya pulang ke rumah berjumpa dengan kasih dan anak-anak."

"Tapi kau bahagia?"

"Kau lihat wajahku selalu bahagia bukan? Bahagia itu sederhana, dan tidak melulu soal kaya." Ujarnya menasihati

"Iya, bahagia itu sederhana, selagi ada cinta maka disana tak ada derita bahkan sekali pun dalam kemelaratan."

Kami menyudahi makan kami, kemudian berlanjut melumat roko. Di tempat ini, hampir tidak aku temui prahara, semua petani rukun tak sering merebut tanah. Setiap wajah mereka tersirat bahagia. Aku menyaksikan ranting pohon cengki yang di hinggapi burung jalak, dahan pohon pala yang di hinggapi burung taon sembari mengerutu buah pala.

Aku menikmati sekawanan burung elang yang melintas di atas kepala kami, suara burung kakatua dan kepakan gerombolan burung pemangsa ikan yang lewat membela angin dan menerjang awan.
***

Sore itu aku turun ke pantai, duduk menegada padangan ke ufuk barat sembari mendengar dan menyimak riuh ombak menerjang bibir pantai juga menghitung setiap kapal yang lalu lalang, juga para nelayan terlihat mulai kembali ke pantai dengan sobol yang mulai dilipat. Terlihat jugagerombolan anak-anak kecil turut bahagia menyambut senja, mereka bermain sepak bola di atas pasir.

Pandanganku liar, aku menikmati keindahan, sementara si pemahat itu belum juga datang. Padahal aku diberi tahu bahwa dia akan datang ke sini menikmati senja. Entah setelah mendengar ucapan para petani, keyakinanku masih mantap ingin berjumpang dengan si pemahat. "Tak apa, mungkin lagi ada hal yang dibuatnya." Ujarku dalam lirih. Aku terus menunggu, dengan ikut main bersama anak-anak gurat bahagia terlihat di wajah mereka.

Sesaat kemudian, dipojok kiri pantai aku melihat seseorang dengan tubuh kecil. Aku amati secara cermat dan sepertinya dia adalah sosok yang aku cari, si pemahat bulan itu. Dengan sigap aku meninggalkan gerombolan anak-anak kemudian berjalan cepat ke arah laki-laki itu.

Dia terlihat serius menyimak lagit yang perlahan memera. Dari ciri dan bentuk fisiknya sama seperti yang diceritakan oleh orang-orang, wajahnya kusam tubunya kurus. Aku menyalaminya, namun dia hanya menunduk sembari senyum kecil.

"Aku mencari sosok pria si pemahat bulan, bisakah anda menunjukan kepada aku dimana dia berada?"

Dengan santai dia menjawab, "aku tidak melihatnya, dia juga tidak melhat aku. Silahkan kau cari dia di tempatnya."

Mendengar ucapanya, aku urungkan niat untuk menanyakan tentang si pemahat itu. Dan sepertinya dia bukan pria yang aku maksudkan. Jika aku paksakan untuk terus menanyakan tentang pemahat itu, bisa jadi dia akan memarahiku.

"Jika kau ingin cari sosok pria itu, maka carilah dia di malam hari. Di sini hanya ada orang-orang pengagum dan penikmat senja." Ujarnya lagi.

"Kau hanya orang yang terlalu nyaman dalam ruangmu, sampai-sampai kau ikut berbaris dalam barisan orang-orang yang acu terhadap alam." Lanjutnya

Mendengar ucapan itu, aku terdiam sembari menafsirkan frasa yang baru dia sampaikan. "Tidakka dia lihat bahwa aku adalah sosok laki-laki yang rapuh, yang lunglai akibat hati remuk rendam karna cinta.?" Gumamku liri. Rupanya dia seperti memahami apa yang ada di benakku kemudian berkata.

"Kau terlalu lunglai menafsirkan cinta hingga kau biarkan cinta membunuhmu, tidak apa, mari buang duka dan lukamu nanti aku tunjukan engkau sepotong senja terbaik yang aku sobek dan telah aku rawat setiap hari."

Sungguh dia aneh, orangnya cuek namun keanehanya dan kecuekannya ada sesuatu yang tersembunyi rapat. "Jika si pelipat senja seperti ini, bagaimana dengan si pemahat bulan?"

"Kau tak harus berfikir keras tentang aku dan si pemahat bulan, kemari aku tunjukan senja terbaik yang telah aku sobek."

Dengan rasa tak berdaya, aku turuti perkataanya lalu mendekatinya. Tak lama kemudian, dia tarik keluar potongan senja yang sangat indah, cahayanya merah bersih dengan gumpalan awan bersarang di sisih matahari. Sunggu sebuah senja yang belum pernah aku temui selama hidupku.

"Senja ini aku sobek dan aku rawat agar nanti aku berikan ke anak cucu, supaya di kemudian hari mereka masih dapat menikmati rupa senja perawan. Aku tidak mau senja merekah di cakrawala lagit, sebab manusia terlalu jahat, mereka akan menumpahkan kotoran pabrik dan polusi, yang akan merusaki senja. Noda dan bekas kotoran akan membuat tua senja dan senja tak lagi merah atau orange, dia akan kelabu."

Tanpa pikir panjang, aku turuti semua kalimatnya sembari melihat-lihat senjanya dan lupa pada senja di hadapan kami yang mulai hilang.

"Cukup untuk hari ini, aku harus melipatnya agar dia tetap terjaga dan tetap indah. Hari suda mulai gelap."

Kami pun bangkit, dia berjalan dengan cepat kemudian hilang dari pandanganku. Aku berjalan dengan perasaan tanya dan wajah keheranan, "siapa dia, sampai dia mampu melipat senja dan membawa pulang senja itu.".
***

Seorang laki-laki duduk di sebuah kursi tua terlihat memandang purnama di atas bukit. Sesakali asap rokok keluar dari mulut lalu bersetubu dengan angin malam yang mejama seantero bumi. Dia menikmati setiap detik, menit bahkan jam dan terbenam dalam lautan malam yang tidak seorang pun tau ikwal kejadian yang akan terjadi.

Malam damai, angin bertiup pelan sembari menciptakan melodi tak berirama dari gesekan batang dan dahan pohon yang diendusnya. Di atas sana langit bertabur bintang yang kerlap kerlip menyapa setiap anak manusia yang terbungkus luka dengan hati yang dibutakan nafsu. Suara jangkrik bersautan, bertasbi dan bertahmid pada kuasa di atas ranting dan pelepah daun yang dibiasi temaram bulan.

Aku terkulai dalam lautan tanya, imajinasiku buta, pikiranku lalu menerobos setiap frasa yang disampaikan setiap orang yang aku temui perihal si pemahat itu. Berharap bahwa di hadapanku adalah sosok yang aku cari. Jika demikian, aku harus lebih bersabar untuk bisa menetas semua tanya yang masi mengambang di langit-lagit fikiran.

Semakin aku dekati, maka semakin aku dapati dia sosok yang tak asing bagiku. Dan benar, sosok yang ada di depanku adalah seorang pria yang baru aku temui tadi sore. Tanpa basa-basi aku langsung melemparkan sebuah pertanyaan.

"Bukankah kau yang tadi melipat senja? Lalu dimana si pemahat bulan yang kau bilang tadi?" Tanyaku

Terlihat, dia sedikit kaget dengan kehadiranku yang tanpa ampun langsung menghujamnya dengan tanya. Tapi dia tetap tenang, sedikit senyum dan menjawab.

"Iya, aku dalam wujud lain."

Jawaban yang singkat dan padat, namun harus di artikan dalam-dalam maksudnya. Sebuah jawaban yang membuat aku yakin bahwa dia bukan orang biasa.

"Bukankah kau yang tadi dan yang kini sama-sama berwujud satu? Bertubuh kurus dan berpakaian kumal?"

"Bertualanglah, agar kau tau dirimu dan wujudmu yang bisa berubah." Lanjutnya, "tidakkah kau fikir bahwa aku adalah metafor yang hidup dalam frasa?"

Pikiranku menjau, imajinasiku liar meraih pelajaran logika yang telah aku pelajari di bangku kulia. Dan sama saja, pikiranku dibuat mengambang bak seorang anak manusia yang di ceburkan ke samudra luas dan hanya bebekal pelampung.

"Sudahlah, aku tak mau bermain logika. Aku datang hanya menuntut pembenaran bahwa kau adalah si pemahat bulan?"

"Seorang anak pun tau bahwa setiap manusia tak mungkin melakukan hal itu. Jika aku bisa melakukanya, maka telah aku pahat sebila purnama dan aku celupkannya ke dalam cangkir kopi lalu aku suru kau teguk dalam-dalam agar kau tau itu hanya sebuah metafora yang dimainkan oleh seorang penyair."

Aku dibuat tak berdaya, pikiranku hampa.
Aku akan kala jika ikut membenamkan diri dalam permainan ini. Aku yakin, jika dia orang bijak maka dia akan jujur. Sebab kejujuran adalah juba bagi setiap orang bijak.

"Aku tak pandai dalam segala hal, bahkan menjinakkan dan melumpuhkan nafsu aku tak mapu. Maka belas kasimu untuk ini, aku telah mencarimu diladang, mencarimu dipantai dan kini disini berharap kejelasan tentang pemahat bulan."

"Nafsu tak bisa dijinakan dan di lumpuhkan, kau hanya bisa menjadikannya sahabatmu dalam hidup. Sebab dia selalu setia mengiringi setiap tualangmu di dunia."

Aku diam dan pasrah namun aku tetap yakin dialah sosok yang aku cari. Seorang pemahat bulan yang misterius. Suasana sesaat hening kemudian dia melanjutkan lagi ceritanya.

"Aku bukan si pemahat bulan, adapun istilah yang disematkan adalah langkah yang di ambil oleh orang desa dari metafora yang sering aku gunakan dalam karyaku baik puisi atau cerpen. Biar semua jelas, maka akan aku jelaskan agar kau tau siapa aku sebenarnya." Ucapnya sembari tersenyum.

"Aku tak mengerti kalimatmu itu." Ujarku yang tak sabar menemukan kesimpulan dari petualanganku.

"Aku ini seorang penyair yang rapuh, dan telah kau dengar dari setiap orang bahwa hanya dengan buku dan pena aku bisa memahat bulan. Sejujurnya, bulan adalah metafora yang melambangkan cita-cita dan mimpi setiap anak desa, dan untuk merawat dan mewujudkannya aku pahat malas, dan keputusaan dengan  buku dan pena agar cita-cita atau bulan tadi selalu bersih dan suci. Maka sekali lagi memahat bulan adalah metafora."

Dia diam sesaat, lalu melanjutkan.

"Ada pun ladangnya ialah anak-anak, tanamanya adalah etika dan moral, semak dan rumput adalah sifat tamak dan picik. Maka tugasku sebagai anak manusia yang sadar adalah memberi penyadaran kepada yang lain.

Bayangkan saja, jika yang sadar selalu diam. Entah apa yang terjadi pada alam ini, mungkin yang ada, tuhan mereka sendiri akan di kafirkan. Jadi, aku hanya kumpulan partikel yang ingin berbuat baik, seperti kau juga yang lain."

Aku serius mendengar penuturanya, dan malam semakin larut. Semuanya hening dan suasana pun sudah hampir gulita. Sebab bulan hanya sejengkal lagi mencelupkan diri ke dalam cangkang hitam.

Sampai fajar merangkak, kami masih saja berbincang.

Ternate, 07 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun