Aku diam dan pasrah namun aku tetap yakin dialah sosok yang aku cari. Seorang pemahat bulan yang misterius. Suasana sesaat hening kemudian dia melanjutkan lagi ceritanya.
"Aku bukan si pemahat bulan, adapun istilah yang disematkan adalah langkah yang di ambil oleh orang desa dari metafora yang sering aku gunakan dalam karyaku baik puisi atau cerpen. Biar semua jelas, maka akan aku jelaskan agar kau tau siapa aku sebenarnya." Ucapnya sembari tersenyum.
"Aku tak mengerti kalimatmu itu." Ujarku yang tak sabar menemukan kesimpulan dari petualanganku.
"Aku ini seorang penyair yang rapuh, dan telah kau dengar dari setiap orang bahwa hanya dengan buku dan pena aku bisa memahat bulan. Sejujurnya, bulan adalah metafora yang melambangkan cita-cita dan mimpi setiap anak desa, dan untuk merawat dan mewujudkannya aku pahat malas, dan keputusaan dengan  buku dan pena agar cita-cita atau bulan tadi selalu bersih dan suci. Maka sekali lagi memahat bulan adalah metafora."
Dia diam sesaat, lalu melanjutkan.
"Ada pun ladangnya ialah anak-anak, tanamanya adalah etika dan moral, semak dan rumput adalah sifat tamak dan picik. Maka tugasku sebagai anak manusia yang sadar adalah memberi penyadaran kepada yang lain.
Bayangkan saja, jika yang sadar selalu diam. Entah apa yang terjadi pada alam ini, mungkin yang ada, tuhan mereka sendiri akan di kafirkan. Jadi, aku hanya kumpulan partikel yang ingin berbuat baik, seperti kau juga yang lain."
Aku serius mendengar penuturanya, dan malam semakin larut. Semuanya hening dan suasana pun sudah hampir gulita. Sebab bulan hanya sejengkal lagi mencelupkan diri ke dalam cangkang hitam.
Sampai fajar merangkak, kami masih saja berbincang.
Ternate, 07 September 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI