"Kau tak harus berfikir keras tentang aku dan si pemahat bulan, kemari aku tunjukan senja terbaik yang telah aku sobek."
Dengan rasa tak berdaya, aku turuti perkataanya lalu mendekatinya. Tak lama kemudian, dia tarik keluar potongan senja yang sangat indah, cahayanya merah bersih dengan gumpalan awan bersarang di sisih matahari. Sunggu sebuah senja yang belum pernah aku temui selama hidupku.
"Senja ini aku sobek dan aku rawat agar nanti aku berikan ke anak cucu, supaya di kemudian hari mereka masih dapat menikmati rupa senja perawan. Aku tidak mau senja merekah di cakrawala lagit, sebab manusia terlalu jahat, mereka akan menumpahkan kotoran pabrik dan polusi, yang akan merusaki senja. Noda dan bekas kotoran akan membuat tua senja dan senja tak lagi merah atau orange, dia akan kelabu."
Tanpa pikir panjang, aku turuti semua kalimatnya sembari melihat-lihat senjanya dan lupa pada senja di hadapan kami yang mulai hilang.
"Cukup untuk hari ini, aku harus melipatnya agar dia tetap terjaga dan tetap indah. Hari suda mulai gelap."
Kami pun bangkit, dia berjalan dengan cepat kemudian hilang dari pandanganku. Aku berjalan dengan perasaan tanya dan wajah keheranan, "siapa dia, sampai dia mampu melipat senja dan membawa pulang senja itu.".
***
Seorang laki-laki duduk di sebuah kursi tua terlihat memandang purnama di atas bukit. Sesakali asap rokok keluar dari mulut lalu bersetubu dengan angin malam yang mejama seantero bumi. Dia menikmati setiap detik, menit bahkan jam dan terbenam dalam lautan malam yang tidak seorang pun tau ikwal kejadian yang akan terjadi.
Malam damai, angin bertiup pelan sembari menciptakan melodi tak berirama dari gesekan batang dan dahan pohon yang diendusnya. Di atas sana langit bertabur bintang yang kerlap kerlip menyapa setiap anak manusia yang terbungkus luka dengan hati yang dibutakan nafsu. Suara jangkrik bersautan, bertasbi dan bertahmid pada kuasa di atas ranting dan pelepah daun yang dibiasi temaram bulan.
Aku terkulai dalam lautan tanya, imajinasiku buta, pikiranku lalu menerobos setiap frasa yang disampaikan setiap orang yang aku temui perihal si pemahat itu. Berharap bahwa di hadapanku adalah sosok yang aku cari. Jika demikian, aku harus lebih bersabar untuk bisa menetas semua tanya yang masi mengambang di langit-lagit fikiran.
Semakin aku dekati, maka semakin aku dapati dia sosok yang tak asing bagiku. Dan benar, sosok yang ada di depanku adalah seorang pria yang baru aku temui tadi sore. Tanpa basa-basi aku langsung melemparkan sebuah pertanyaan.
"Bukankah kau yang tadi melipat senja? Lalu dimana si pemahat bulan yang kau bilang tadi?" Tanyaku