Terlihat, dia sedikit kaget dengan kehadiranku yang tanpa ampun langsung menghujamnya dengan tanya. Tapi dia tetap tenang, sedikit senyum dan menjawab.
"Iya, aku dalam wujud lain."
Jawaban yang singkat dan padat, namun harus di artikan dalam-dalam maksudnya. Sebuah jawaban yang membuat aku yakin bahwa dia bukan orang biasa.
"Bukankah kau yang tadi dan yang kini sama-sama berwujud satu? Bertubuh kurus dan berpakaian kumal?"
"Bertualanglah, agar kau tau dirimu dan wujudmu yang bisa berubah." Lanjutnya, "tidakkah kau fikir bahwa aku adalah metafor yang hidup dalam frasa?"
Pikiranku menjau, imajinasiku liar meraih pelajaran logika yang telah aku pelajari di bangku kulia. Dan sama saja, pikiranku dibuat mengambang bak seorang anak manusia yang di ceburkan ke samudra luas dan hanya bebekal pelampung.
"Sudahlah, aku tak mau bermain logika. Aku datang hanya menuntut pembenaran bahwa kau adalah si pemahat bulan?"
"Seorang anak pun tau bahwa setiap manusia tak mungkin melakukan hal itu. Jika aku bisa melakukanya, maka telah aku pahat sebila purnama dan aku celupkannya ke dalam cangkir kopi lalu aku suru kau teguk dalam-dalam agar kau tau itu hanya sebuah metafora yang dimainkan oleh seorang penyair."
Aku dibuat tak berdaya, pikiranku hampa.
Aku akan kala jika ikut membenamkan diri dalam permainan ini. Aku yakin, jika dia orang bijak maka dia akan jujur. Sebab kejujuran adalah juba bagi setiap orang bijak.
"Aku tak pandai dalam segala hal, bahkan menjinakkan dan melumpuhkan nafsu aku tak mapu. Maka belas kasimu untuk ini, aku telah mencarimu diladang, mencarimu dipantai dan kini disini berharap kejelasan tentang pemahat bulan."
"Nafsu tak bisa dijinakan dan di lumpuhkan, kau hanya bisa menjadikannya sahabatmu dalam hidup. Sebab dia selalu setia mengiringi setiap tualangmu di dunia."