Mohon tunggu...
Faiq Rahmatullah
Faiq Rahmatullah Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa/Unesa

Saya Programming + Multimedia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Radikalisme di Kampus: Ancaman Terhadap Pemikiran Kritis dan Toleransi di Kalangan Mahasiswa

30 November 2024   14:10 Diperbarui: 30 November 2024   14:10 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia, dengan ragam suku, agama, dan budaya yang begitu beragam, telah lama dikenal sebagai negara yang mengedepankan prinsip kebhinnekaan dan toleransi. Namun, belakangan ini, muncul fenomena yang memprihatinkan, yakni radikalisasi dalam kalangan mahasiswa. Sebagai generasi penerus bangsa dan agen perubahan, mahasiswa seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan yang mengedepankan pemikiran kritis, terbuka, dan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa segmen mahasiswa justru terpapar oleh ideologi radikal yang bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan toleransi yang menjadi dasar negara.

Radikalisasi di kalangan mahasiswa menjadi tantangan serius bagi negara. Sebagai individu yang masih dalam proses pencarian jati diri dan pembentukan pola pikir, mahasiswa rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat mengarahkan mereka pada ideologi ekstrem. Fenomena ini tidak hanya berbahaya bagi individu yang terpapar radikalisasi, tetapi juga dapat merusak iklim akademik di kampus, mengancam integritas bangsa, dan mengganggu rasa aman serta harmoni sosial di masyarakat.


Radikalisasi dalam Lingkup Mahasiswa: Apa Itu dan Mengapa Terjadi?

Radikalisasi di kalangan mahasiswa merujuk pada proses perubahan pandangan atau pola pikir mahasiswa yang semakin condong kepada ideologi yang ekstrem dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, toleransi, dan kebhinnekaan. Mahasiswa yang terpapar radikalisasi cenderung mengadopsi pemikiran yang sangat dogmatis dan rigid, dengan kecenderungan untuk menggunakan kekerasan atau tindakan yang melanggar hukum sebagai cara untuk mencapai tujuan ideologis atau politik.

Fenomena radikalisasi di kalangan mahasiswa bukanlah hal yang baru, namun dalam beberapa tahun terakhir, isu ini semakin mendapatkan perhatian publik. Banyaknya kasus mahasiswa yang terlibat dalam jaringan teroris, aksi kekerasan, atau gerakan-gerakan radikal di kampus-kampus menunjukkan adanya tren yang mengkhawatirkan. Namun, penting untuk dicatat bahwa radikalisasi bukan hanya soal adopsi ideologi ekstremis, melainkan juga tentang penurunan kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis, terbuka, dan menerima perbedaan.


Faktor Penyebab Radikalisasi di Kalangan Mahasiswa

Radikalisasi di kalangan mahasiswa tidak terjadi begitu saja. Terdapat beberapa faktor yang saling berinteraksi dan mempercepat proses ini. Faktor-faktor ini dapat berasal dari kondisi internal mahasiswa itu sendiri maupun lingkungan eksternal yang mempengaruhinya. Berikut adalah beberapa faktor utama yang dapat mendorong radikalisasi di kalangan mahasiswa:

1. Ketidakpuasan Terhadap Ketidakadilan Sosial dan Politik

Mahasiswa sering kali berada di garis depan dalam mengkritisi ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi. Namun, jika kritik-kritik ini tidak mendapatkan saluran yang konstruktif, atau jika mereka merasa suara mereka tidak didengar, maka ketidakpuasan tersebut bisa berkembang menjadi kecenderungan untuk mencari solusi radikal. Beberapa kelompok radikal sering memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap ketidakadilan sosial ini dengan menawarkan narasi perjuangan yang lebih "berani" dan "tegas", dengan menjanjikan perubahan sosial secara drastis.

2. Pengaruh Kelompok Ekstremis dan Organisasi Radikal

Kelompok-kelompok radikal yang memiliki agenda ideologi tertentu sering kali menargetkan mahasiswa sebagai basis perekrutan. Mahasiswa yang tengah mencari identitas dan tempat di dunia seringkali menjadi sasaran empuk bagi kelompok-kelompok ini. Mereka menawarkan rasa kebersamaan dan tujuan yang jelas melalui ideologi yang ekstrem. Kelompok-kelompok radikal, baik yang berbasis agama, politik, maupun ideologi lainnya, sering menggunakan media sosial, ceramah, atau pertemuan-pertemuan tertutup untuk menyebarkan ajaran mereka kepada mahasiswa.

Kelompok-kelompok ini juga sering kali memanfaatkan ketidakpastian yang dialami mahasiswa dalam proses pencarian identitas dan jati diri. Ketika seorang mahasiswa merasa bingung atau tidak puas dengan keadaan sekitarnya, mereka rentan untuk mencari jawaban yang mudah dan radikal.

3. Kurangnya Pendidikan Karakter dan Kewarganegaraan

Pendidikan karakter yang mengajarkan pentingnya toleransi, kerukunan, dan semangat kebhinnekaan sering kali kurang ditekankan dalam kurikulum perguruan tinggi. Meskipun banyak universitas yang menyelenggarakan program pendidikan kewarganegaraan dan bela negara, hal ini belum cukup untuk membekali mahasiswa dengan pemahaman yang kuat tentang pentingnya pluralisme dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak dilengkapi dengan pemahaman yang baik tentang nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman justru lebih rentan terpapar oleh paham-paham radikal yang mengutamakan keseragaman dan intoleransi.

4. Peran Media Sosial dalam Penyebaran Ideologi Radikal

Di era digital, media sosial telah menjadi salah satu saluran utama dalam menyebarkan ideologi radikal. Mahasiswa, terutama yang berada di usia-usia transisi, seringkali menghabiskan waktu mereka di dunia maya, baik untuk belajar, berinteraksi sosial, maupun mencari hiburan. Namun, tanpa pengawasan yang memadai, media sosial dapat menjadi sarana bagi kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi mereka, mempengaruhi pola pikir mahasiswa, dan merekrut anggota baru.

Melalui platform seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan aplikasi pesan instan, kelompok-kelompok radikal dapat dengan mudah menyebarkan propaganda mereka, menanamkan kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu, dan mengajak orang untuk terlibat dalam aksi kekerasan atau terorisme.

5. Pengaruh Lingkungan Kampus yang Tidak Kondusif

Lingkungan kampus yang tidak kondusif, baik dalam hal interaksi sosial maupun iklim akademik, juga bisa memperburuk masalah radikalisasi. Kampus yang terbelah antara kelompok-kelompok yang berseberangan, atau kampus yang tidak mampu menciptakan ruang dialog yang terbuka, dapat memfasilitasi tumbuhnya ekstremisme. Mahasiswa yang merasa terasing atau tidak diterima dalam komunitas kampus bisa lebih mudah terpengaruh oleh kelompok yang menawarkan rasa persatuan dan tujuan bersama.

Kepala Tim Unit Idensos Satgaswil Sulteng Kompol Sugiyono Bersama Rektor UIN Datokarama Palu Prof. Lukman S. Thahir 
Kepala Tim Unit Idensos Satgaswil Sulteng Kompol Sugiyono Bersama Rektor UIN Datokarama Palu Prof. Lukman S. Thahir 

KBRN, Palu : Badan Intelijen Negara (BIN), mengungkapkan, sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal, pada tahun 2018. Hal itu berdasarkan penelitian BIN yang dilakukan pada 2017 lalu.

Dari survei yang dilakukan diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.

"Oleh karena itu, upaya pencegahan radikalisme dilakukan di eksternal atau masyarakat, dan di internal kampus," sebut Rektor Lukman, Jumat (12/1/2024).

Rektor UIN Datokarama, menguraikan salah satu strategi pencegahan radikalisme yang harus dilakukan ialah menguatkan moderasi beragama di kalangan masyarakat dan mahasiswa.

Hal ini, sebut dia, diawali dengan riset pemahaman dan pengamalan empat indikator moderasi beragama meliputi komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan penerimaan terhadap budaya lokal, di tingkat masyarakat dan mahasiswa.

"Untuk mahasiswa, bukan hanya bagi mahasiswa baru, tetapi semua mahasiswa," ujarnya.

Hasil riset akan ditindak lanjuti dalam bentuk program penguatan, untuk mewujudkan masyarakat dan mahasiswa moderat.

"Di sinilah UIN dan Densus 88 bekerja sama untuk melakukan pembinaan masyarakat dan mahasiswa," sebutnya.

Kepala Tim Unit Idensos Satgas wilayah Sulteng Kompol Sugiyono berharap pencegahan radikalisme dapat dilakukan bersama - sama dengan UIN Datokarama di tingkat mahasiswa.

"Bersama - sama melakukan sosialisasi. 

Dan bekerja sama untuk mencegah teror," ujarnya Sugiono dalam pertemuan tersebut.

Sugiyono mengatakan pencegahan radikalisme harus dilakukan. Agar masyarakat dan mahasiswa tidak terpapar faham radikalisme.

Menurut dia, melalui sinergi Densus 88 dengan UIN Datokarama, maka akademisi UIN dapat membuat artikel - artikel yang berisikan tentang bahaya gerakan kelompok radikal dan ciri hasutan mereka, agar masyarakat dan mahasiswa bisa memahami dan mengenal ciri mereka.

Dampak Radikalisasi Terhadap Mahasiswa dan Kampus

Radikalisasi di kalangan mahasiswa dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi individu mahasiswa itu sendiri, kampus, maupun masyarakat luas. Beberapa dampak utama dari radikalisasi adalah:

1. Terganggunya Proses Akademik dan Kebebasan Berpikir

Radikalisasi dapat merusak integritas akademik di kampus. Mahasiswa yang terpapar oleh ideologi radikal cenderung mengabaikan pemikiran kritis dan akademis, serta lebih mengutamakan dogma dan ideologi yang tidak fleksibel. Ini dapat menghambat perkembangan pemikiran mahasiswa, dan merusak atmosfer intelektual yang seharusnya berkembang di kampus.

Selain itu, kebebasan berbicara dan berpendapat, yang merupakan nilai inti dalam dunia akademik, bisa terganggu apabila kampus menjadi tempat yang dikuasai oleh kelompok-kelompok ekstremis yang menuntut konformitas dan keseragaman.

2. Radikalisasi Masyarakat Kampus

Kampus seharusnya menjadi tempat di mana berbagai pemikiran dan ideologi dapat dipertemukan dalam suasana yang penuh rasa hormat dan toleransi. Namun, radikalisasi dapat menciptakan polarisasi dalam masyarakat kampus, memecah belah antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Hal ini dapat menciptakan ketegangan dan konflik di kampus, yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi suasana sosial di luar kampus.

3. Potensi Terlibat dalam Aksi Kekerasan atau Terorisme

Mahasiswa yang terpapar radikalisasi dapat terjebak dalam jaringan terorisme atau organisasi kekerasan. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa individu-individu yang terlibat dalam kelompok radikal sering kali merupakan mahasiswa yang merasa kecewa atau teralienasi dari masyarakat. Radikalisasi ini bisa mengarah pada aksi-aksi kekerasan yang merugikan banyak pihak, baik dalam skala kecil maupun besar.

Perempuan dan Kaum muda target Ideal kelompok radikal

Fakta miris dari sejumlah tindakan terorisme di Indonesia adalah keterlibatan perempuan dan kelompok muda serta anak-anak dalam aksi bom bunuh diri seperti dalam tragedi Bom Surabaya 2018 lalu yang melibatkan satu keluarga (suami-istri dan empat anak).

Prof Musda Mulia dalam artikelnya Perempuan dalam Gerakan Terorisme menjelaskan bahwa tindakan terorisme di Indonesia terus mengalami perkembangan dalam hal pelakunya. Aksi teror bom bunuh diri banyak melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Alasan pelibatan perempuan dalam gerakan terorisme sangatlah beragam. Hal ini dikarenakan mereka bisa melakukan banyak peran antara lain sebagai educator (pendidik) keluarga untuk perpanjangan ideologi, agen perubahan, pendakwah, pengumpul dana, penyedia logistik, hingga pelaku bom bunuh diri. 

Tidak hanya itu, kelompok muda (pelajar/mahasiswa) juga kerap menjadi sasaran perekrutan kelompok radikal. Usia muda yang identik dengan pancarian jati diri dan ketidakstabilan emosi kerap dimanfaatkan untuk menginfiltrasi ideologi radikal kepada kaum muda.Selain itu, kelompok muda yang berada dalam garis kemiskinan juga merupakan salah satu alasan utama mereka bergabung dengan organisasi radikal sehingga jihad diambil sebagai jalan pintas untuk mengakhiri penderitaan.

Upaya Mengatasi Radikalisasi di Kalangan Mahasiswa

Menghadapi radikalisasi di kalangan mahasiswa memerlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, baik dari pihak kampus, pemerintah, maupun masyarakat. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah radikalisasi di kalangan mahasiswa adalah:

1. Peningkatan Pendidikan Karakter dan Toleransi

Kampus perlu menekankan pentingnya pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan keberagaman. Kurikulum pendidikan tinggi harus tidak hanya berfokus pada ilmu akademis, tetapi juga membentuk mahasiswa menjadi individu yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya hidup berdampingan dengan perbedaan agama, suku, dan budaya. Program-program yang mempromosikan pluralisme, dialog antar-agama, dan kebangsaan sangat penting untuk membangun sikap terbuka dan toleran di kalangan mahasiswa.

Di samping itu, kampus bisa mengadakan kegiatan yang melibatkan seluruh elemen mahasiswa dalam diskusi lintas budaya dan agama. Forum-forum seperti seminar, workshop, dan kelas khusus mengenai kewarganegaraan, keberagaman, serta ancaman radikalisasi bisa menjadi wadah yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai kebhinekaan dan demokrasi. Mahasiswa perlu dibekali dengan pemahaman yang kuat mengenai bahaya radikalisasi dan pentingnya menjaga persatuan bangsa.

2. Meningkatkan Pengawasan dan Pembinaan Mahasiswa

Kampus harus memiliki sistem pengawasan yang baik terhadap kegiatan mahasiswa, baik yang bersifat akademik maupun non-akademik. Pengawasan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya potensi radikalisasi sejak dini, melalui pemantauan terhadap kelompok-kelompok mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan keagamaan atau organisasi-organisasi yang berpotensi menyebarkan ideologi ekstrem.

Selain itu, kampus perlu menyediakan jalur komunikasi yang terbuka bagi mahasiswa yang merasa tertekan atau cemas, yang mungkin dapat menjadi sasaran kelompok-kelompok radikal. Pembinaan juga harus melibatkan pembentukan komunitas mahasiswa yang berlandaskan pada prinsip-prinsip positif dan produktif, seperti kelompok diskusi ilmiah, klub sosial, dan kegiatan-kegiatan yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan konstruktif.

3. Kolaborasi dengan Pihak Keamanan dan Pemerintah

Pihak kampus, terutama pihak rektorat dan dosen, perlu bekerja sama dengan aparat keamanan, seperti kepolisian dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), untuk mengidentifikasi potensi-potensi radikalisasi yang terjadi di kampus. Melalui kolaborasi ini, kampus bisa mendapat bimbingan mengenai cara-cara mengidentifikasi dan menangani mahasiswa yang terindikasi terpapar radikalisasi tanpa melanggar kebebasan akademik dan hak asasi mahasiswa.

Sosialisasi mengenai bahaya radikalisasi dan terorisme perlu dilakukan secara reguler oleh pihak kampus dengan melibatkan pakar-pakar dari lembaga pemerintah atau LSM yang bergerak di bidang deradikalisasi. Program-program ini penting untuk menciptakan kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa dan staf kampus mengenai bahaya radikalisasi.

4. Memanfaatkan Media Sosial untuk Edukasi dan Kampanye Positif

Kampus dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mengedukasi mahasiswa mengenai bahaya radikalisasi dan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kebangsaan yang berdasarkan pada Pancasila. Mengingat mayoritas mahasiswa aktif di platform media sosial, kampus perlu membuat kampanye-kampanye yang menyasar mereka melalui media sosial, dengan konten yang berbasis pada nilai-nilai inklusif dan moderat.

Program edukasi tentang toleransi, pluralisme, dan radikalisasi bisa disampaikan melalui video, infografis, webinar, dan artikel-artikel yang dipublikasikan di platform kampus. Dengan cara ini, mahasiswa dapat menerima informasi yang benar mengenai ancaman radikalisasi, sekaligus memperkuat kesadaran mereka akan pentingnya menjaga harmoni dan kerukunan di dalam masyarakat.

5. Meningkatkan Peran Orang Tua dan Masyarakat

Radikalisasi di kalangan mahasiswa sering kali dipengaruhi oleh kondisi di luar kampus, termasuk keluarga dan masyarakat tempat mereka tinggal. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk membina komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka, memahami perasaan dan kesulitan yang mereka hadapi, serta memberikan arahan yang bijak untuk membentuk karakter yang kuat.

Selain itu, masyarakat juga memiliki peran penting dalam menangkal radikalisasi. Lingkungan yang suportif, yang mendorong pemahaman antar-individu dengan latar belakang yang berbeda, dapat menciptakan atmosfer yang menumbuhkan sikap saling menghargai dan toleransi. Masyarakat yang kritis terhadap narasi-narasi ekstrem dan intoleran juga dapat mencegah berkembangnya paham-paham radikal di lingkungan sekitar.


Kesimpulan

Radikalisasi di kalangan mahasiswa adalah masalah serius yang mempengaruhi iklim sosial, politik, dan akademik di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga dapat merusak kohesi sosial, merusak citra pendidikan tinggi, dan mengancam stabilitas negara. Oleh karena itu, upaya pencegahan radikalisasi di kalangan mahasiswa harus menjadi prioritas utama bagi semua pihak --- mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, hingga masyarakat.

Pendidikan karakter dan kewarganegaraan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip toleransi dan keberagaman, pengawasan yang baik terhadap kegiatan mahasiswa, serta kolaborasi dengan pihak keamanan dan masyarakat adalah langkah-langkah penting yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah ini. Di sisi lain, mahasiswa sendiri perlu diberdayakan untuk berpikir kritis, terbuka, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.

Dengan upaya bersama, Indonesia dapat menghindari ancaman radikalisasi di kalangan mahasiswa, sehingga menciptakan kampus-kampus yang aman, inklusif, dan produktif. Dengan demikian, kita dapat membangun generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang dalam berpikir dan bertindak, serta siap untuk menyongsong masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun