Kelompok-kelompok ini juga sering kali memanfaatkan ketidakpastian yang dialami mahasiswa dalam proses pencarian identitas dan jati diri. Ketika seorang mahasiswa merasa bingung atau tidak puas dengan keadaan sekitarnya, mereka rentan untuk mencari jawaban yang mudah dan radikal.
3. Kurangnya Pendidikan Karakter dan Kewarganegaraan
Pendidikan karakter yang mengajarkan pentingnya toleransi, kerukunan, dan semangat kebhinnekaan sering kali kurang ditekankan dalam kurikulum perguruan tinggi. Meskipun banyak universitas yang menyelenggarakan program pendidikan kewarganegaraan dan bela negara, hal ini belum cukup untuk membekali mahasiswa dengan pemahaman yang kuat tentang pentingnya pluralisme dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak dilengkapi dengan pemahaman yang baik tentang nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman justru lebih rentan terpapar oleh paham-paham radikal yang mengutamakan keseragaman dan intoleransi.
4. Peran Media Sosial dalam Penyebaran Ideologi Radikal
Di era digital, media sosial telah menjadi salah satu saluran utama dalam menyebarkan ideologi radikal. Mahasiswa, terutama yang berada di usia-usia transisi, seringkali menghabiskan waktu mereka di dunia maya, baik untuk belajar, berinteraksi sosial, maupun mencari hiburan. Namun, tanpa pengawasan yang memadai, media sosial dapat menjadi sarana bagi kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi mereka, mempengaruhi pola pikir mahasiswa, dan merekrut anggota baru.
Melalui platform seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan aplikasi pesan instan, kelompok-kelompok radikal dapat dengan mudah menyebarkan propaganda mereka, menanamkan kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu, dan mengajak orang untuk terlibat dalam aksi kekerasan atau terorisme.
5. Pengaruh Lingkungan Kampus yang Tidak Kondusif
Lingkungan kampus yang tidak kondusif, baik dalam hal interaksi sosial maupun iklim akademik, juga bisa memperburuk masalah radikalisasi. Kampus yang terbelah antara kelompok-kelompok yang berseberangan, atau kampus yang tidak mampu menciptakan ruang dialog yang terbuka, dapat memfasilitasi tumbuhnya ekstremisme. Mahasiswa yang merasa terasing atau tidak diterima dalam komunitas kampus bisa lebih mudah terpengaruh oleh kelompok yang menawarkan rasa persatuan dan tujuan bersama.
KBRN, Palu : Badan Intelijen Negara (BIN), mengungkapkan, sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal, pada tahun 2018. Hal itu berdasarkan penelitian BIN yang dilakukan pada 2017 lalu.
Dari survei yang dilakukan diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.