Sang Juara
Cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Talita biasa dipanggil Tata. Nama lengkapnya Talita Qonita. Gadis kecil yang cantik ini mulai tumbuh besar. Badannya yang ramping sudah setinggi bahu ibunya. Tata sudah kelas VI. Bahkan sebentar lagi, Tata sudah ujian akhir sekolah.Â
Sejak kelas satu, Tata rajin sekolah. Hampir setiap mama, Tata belajar, baik ada PR ataupun tidak. Nilai rapor Tata juga di atas rata-rata kelas.Â
Tata memang termasuk murid yang pintar. Bahkan menurut pak Bakri, Tata termasuk murid yang cerdas. Tapi ternyata Tata selalu kecewa. Sejak kelas satu, Tata belum pernah menjadi juara satu. Prestasi Tata paling tinggi adalah juara dua.
"AKU HARUS JUARA SATU!" Kalimat itu ditulis Tata di kertas HVS putih. Tulisan dengan spidol merah besar sengaja Tata tempel di tengah cermin. Dengan tulisan itu, Tata ingin bisa lebih giat belajar.Â
Tata tidak mau menyerah. Sebenarnya masih ada banyak kalimat lain yang dipendam di dalam kepala Tata; Aku harus jadi lulusan terbaik. Nilai ujian akhirku harus tertinggi. Ini kesempatan terakhirku... dan masih banyak lagi.
Pagi itu Tata terlihat masih serius belajar. Rabu ini sekolah libur tapi Tata tetap belajar. Tata masih penasaran bagaimana cara menghitung luas segitiga misteri. Sebagai murid yang sangat pintar, Tata tentu sudah sangat hafal rumus luas segitiga. L = a x t.Â
Tata sudah menulis rumus tersebut sejak tadi. Tata juga sudah paham rumus itu berarti bahwa luas segitiga dapat dihitung dengan mengalikan dengan panjang alas dan tinggi segitiga. Tata membaca ulang soalnya.
"Kok tidak disebutkan panjang alas dan tingginya?" Tata menggaruk-garuk kepalanya.
Tata membaca lagi dengan lebih teliti. Jarinya telunjuknya digerakkan pelan-pelan dibawah soal. Yang ada hanya panjang salah satu sisinya yaitu 30 cm.Â
Tata memperhatikan gambar segitiga sama kaki itu dengan lebih teliti. Bentuknya seperti gunung yang tidak begitu lancip. Pada sisi miring yang sebelah kanan ada tulisan 30 cm. Tata tahu bahwa sisi miring yang sebelah kiri juga sama panjangnya.
Sudah tiga kali Tata membaca contoh soal menghitung luas segitiga dan pembahasannya. Tata belum menyerah. Mata Tata mulai terasa perih. Tata memejamkan mata agak lama. Kedua jempol tangannya ditempelkan di tengah dahi. Tata mulai melamun.
Tata membayangkan acara pelepasan kelas enam sudah tiba. Pagi-pagi sekali Tata sudah diantar ibu ke salon untuk dirias. Seperti murid-murid kelas 6 yang lain, Tata juga memakai kebaya putih dan jarit putih.Â
Bando berbentuk mahkota kecil diatas kepala membuat Tata terlihat lebih cantik. Tata tersenyum senang ketika mendengar namanya disebut oleh pembawa acara.
"Selanjutnya kami mohon naik ke atas panggung. Inilah dia lulusan terbaik tahun ini. Dia adalah adalah ananda Talita Qonita. Rata-rata nilai ujian akhir Talita Qonita adalah 99. Sungguh luar biasa. Mari kita beri tepuk tangan yang sangat meriah."
Tata berjalan bangga diiringi gemuruh tepuk tangan.
"Tata ...." Suara ibu menyadarkan Tata dari lamunannya.
"Tata... Tolong belikan kancing baju di toko Berkah." Ibu sengaja minta tolong Tata. Ibu semakin khawatir karena Tata terlihat terlalu serius. Ibu tentu senang kalau Tata jadi bintang pelajar. Tapi Ibu tidak mau Tata jadi tertekan atau malah stres. Ibu berharap, dengan berjalan kaki ke toko, pikiran Tata bisa istirahat sebentar.
Sebenarnya Tata merasa malas. Tapi Tata teringat kalau kancing baju seragamnya memang ada yang lepas dan hilang. Jadi, terpaksa Tata berdiri meninggalkan buku Matematikanya.
Sepanjang perjalanan menuju toko, Tata masih memikirkan bagaimana menghitung cara menghitung luas segitiga sama kaki. Saat perjalanan pulang dari toko, Tata sudah berencana bertanya pada Dafa.Â
Dafa adalah teman kelasnya yang selalu juara satu. Setelah menyerahkan kancing baju kepada ibu, Tata kembali melihat buku matematikanya.Â
Tata melihatnya sambil berdiri di samping meja. Tiba-tiba Tata tersenyum. Ternyata segitiga sama kaki tersebut kalau dilihat dari samping menjadi segitiga siku-siku. Kedua sisi miringnya menjadi alas dan tingginya.
Tata segera meraih buku tulis dan pensilnya. Tangan Tata lincah menuliskan angka-angka untuk menghitung luas segitiga ajaib itu.
 L = a x t.Â
= x 30 x 30
= x 90
= 45
Jadi luas segitiga tersebut adalam 45 cm persegi.
Hari Senin pun sudah datang. Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Tata. Mulai hari ini ujian sekolah akan dimulai.
"Ini adalah kesempatan terakhirku untuk berjuang menjadi juara satu." Begitu kata Tata dalam hati sambil merapikan tali sepatunya. Sepekan terakhir Tata sudah belajar lebih giat. Bahkan kadang sampai larut malam. Tata sangat yakin akan bisa mengerjakan soal-soal ujian akhir.
Senin, Selasa dan Rabu sudah berlalu. Menurut Tata, semua soal bisa dijawab. Tata sudah menguasai semua materi pelajaran yang diujikan. Maka keyakinan Tata semakin besar.
Tapi pada hari Kamis Tata terpaksa menangis.
Pagi itu ibu terkejut saat membangunkan Tata. "Tidak biasanya Tata bangun kesiangan," batin ibu sambil menggoyang-goyang lengan Tata. Ternyata badan Tata terasa panas. Ibu menyakikan lagi dengan meletakkan telapak tangannya di atas dahi Tata.
"Badanmu panas sekali, Tata. Ibu izinkan ke pak guru ya?"
Tata menggeleng dan mencoba berdiri sambil memejamkan mata. Tata tidak berani mandi.Â
"Tata harus berobat dulu, Tata."
Tata tidak menyahut dan malah memakai baju seragamnya.Â
Ibu mengerti kalau Tata sangat ingin tetap berangkat sekolah karena hari ini masih ujian. Ibu segera membuatkan teh hangat manis.
"Ayo, minum dulu kemudian minum obat. Semoga panasnya segera turun dan kamu bisa ikut ujian."
Tata mengangguk lemas.
Teh manis itu di mulut Tata terasa pahit. Tata hampir saja memuntahkannya.
Setelah minum teh dan obat penurun panas, Tata segera memakai kaos kaki. Ketika hendak jongkok untuk memakai sepatu, kepala Tata terasa sangat pusing. Tata pun jatuh. Air mata berlinangan di kedua pipi Tata. Maksud hati ingin berangkat sekolah dan mengikuti ujian. Tapi badannya tidak kuat. Kepalanya pusing dan terasa ingin muntah.
Bapak segera memapahnya menuju sepeda motor. Ibu memegangi badan Tata di belakang. Bapak segera menghidupkan motor dan berangkat. Bapak dan ibu tidak mengantar Tata ke sekolah tapi membawanya ke rumah bu bidan.
Setelah memeriksa Tata, bu bidan menyarankan agar Tata istirahat total selama tiga hari. Ibu pun mengiyakan tapi berharap cukup istirahat sehari saja. "Padahal ujiannya belum selesai, Bu. Masih tiga hari."
"Ini saya buatkan surat keterangan untuk ijin tidak masuk sekolah. Setahu saya, biasanya ada ujian susulan. Nanti setelah sembuh, Tata bisa sekolah lagi dan ikut ujian susulan.Â
Yang penting, sekarang Tata harus benar-benar istirahat agar lekas sembuh." Begitu pesan bu bidan sambil mengemasi obat untuk Tata. Sepulang dari rumah bu bidan, Tata merasa sangat ngantuk dan segera tertidur.
Hati Tata sangat berdebar-debar. Hari itu teman-teman sekelas Tata terlihat sangat gembira. Dafa dan teman-teman laki-laki sedang asyik membahas pakaian yang akan dipakai saat acara rekreasi setelah ujian.Â
Ani, teman sebangku Tata juga sedang asyik ngobrol dengan teman-teman perempuan.Â
Mereka membahas riasan untuk acara wisuda. Hanya Tata yang terlihat cemas. Hari itu adalah hari pengumuman kelulusan. Tata sangat khawatir kalau tidak lulusa karena pernah tidak berangkat sekolah dan tidak ikut ujian.
Dada Tata semakin dag dig dug ketika satu persatu murid dipanggil pak Bakri untuk menerima amplop pengumuman kelulusan. Ani sudah panggil. Selanjutnya Anton kemudian Dafa, Endang, Haikal, Hilman, Irwan, Januar, Kamala, Laila, Maria, Nurman, Ophi, Puspa, Quinta, Ratna, Ridho, Rusmanto, Saskia, Siti, dan Somat. Dan akhirnya tibalah giliran Tata.
"Talita Qonita." Suara pak Bakri itu sebenarnya tidak begitu keras. Tapi entah mengapa Tata tetap terkejut dan semakin gugup. Tata berjalan agak sempoyongan. Setelah menerima amplop putih dari tangan pak Bakri, Tata langsung membukanya. Mata Tata terbelalak melihat tulisan TIDAK LULUS.
"Tidak! Tidak! Tidaaak!" Tata Pun berteriak-teriak histeris.
"Kenapa, Tata?" Tanya ibu sambil menggoyang-goyang badan Tata.
Tata terbangun dari mimpi buruknya.
"Untung hanya mimpi," kata Tata pelan.
"Sudahlah, Tata. Pikiran Tata harus santai dulu agar lebih cepat sembuh," kata ibu sambil mengusap-usap kepala Tata.
Satu hari sudah berlalu. Tata sengaja tidur lebih awal. Sekitar lima belas menit setelah makan malam dan minum obat, Tata segera tidur. Tata berharap besok pagi sudah sembuh dan bisa berangkat sekolah lagi.
Jum'at pagi, Tata bangun tidur lebih awal. Kepalanya sudah tidak pusing tapi badannya memang masih terasa lemas. Tata masih ingat pesan bu bidan agar tidak memaksakan diri berangkat sekolah kalau badan masih terasa lemas.Â
"Kalau dipaksa, mungkin malah sakit lagi dan lebih lama lagi sembuhnya. Sabar ya, Dik." Begitu pesan bu bidan kemarin.
Tata pun harus rela tidak berangkat sekolah lagi. Begitu juga dengan hari Sabtu. Pagi itu Tata sudah siap-siap untuk berangkat sekolah karena merasa sudah tidak begitu lemas. Tapi tiba-tiba pak Bakri datang ke rumah Tata. Pak Bakri menyarankan kalau Tata lanjut istirahat saja. "Biar benar-benar sehat. Besok Senin ada jadwal ujian susulan. Tata harus benar-benar sehat agar bisa ikut ujian susulan sampai selesai. Oke, Tata?!"
Tata mengangguk.
Sebelum pamit, pak Bakri sambil mengangkat tangan kanannya yang terkepal sambil tersenyum. "Tetap semangat, Tata!"
Tata sangat senang karena pada hari Minggu, badannya sudah terasa segar. Tata pun belajar lagi untuk persiapan ujian susulan. Kali ini Tata lebih santai.
"Dibuat santai saja, Tata ... Yang penting Tata sudah belajar. Kita kan hanya bisa berusaha dan berencana. Tuhanlah yang akan menentukan. Jadi, setelah belajar, serahkan hasilnya pada Tuhan." begitu pesan ibu.
Tata sudah melepas tulisan di cerminnya. Tata tidak berharap menjadi bintang pelajar lagi. "Itu tidak begitu penting." Begitu kata Tata dalam hati. Kali ini, bagi Tata, yang lebih penting adalah sehat.
"Kesehatan harus kita jaga. Kalau badan sehat, kita bisa sekolah dan belajar. Jadi, jangan belajar terus sampai lupa istirahat dan malah jatuh sakit. Kalau sudah sakit, kita terpaksa tidak bisa belajar." Begitu pesan ayah Tata.
Tata sudah sangat senang bisa sembuh dan sekolah lagi. Tata mengerjakan soal-soal ujian dengan lebih santai tapi tetap serius. "Ingat Sersan, Ta." Begitu pesan pak Bakri. Sersan adalah singkatan dari serius tapi santai. Tata sangat senang karena ternyata banyak yang perhatian dan sayang pada Tata.
Hari Rabu adalah hari terakhir ujian susulan Tata.
"Tolong nanti sepulang sekolah ajak teman-temanmu ke rumah. Ibu mau membuat acara selametan."
Tata agak terkejut ketika mendengar ibu menyebut kata selametan.
"Maksud ibu makan bersama dalam rangka syukuran kesehatan Tata."
"Siap, Bu," jawab Tata.
"Tapi ya makanannya sederhana. Semoga teman-temanmu suka."
"Tidak apa-apa, Bu. Kalau acara makan-makan, teman-teman pasti suka."
Siang itu seusai mengerjakan ujian susulan, Tata mengajak pak Bakri dan teman-teman sekelasnya untuk datang ke rumah.
"Asyik makan-makan!" Dafa dan Somat pun menyambut undangan Tata dengan senang. Begitu juga teman-teman yang lain.
Setelah makan bersama, ternyata pak Bakri memberikan kejutan.
"Ini ada bingkisan kecil untuk sang juara," kata pak Bakri sambil mengulurkan kotak kecil yang dibungkus kertas kado.
"Juara?" tanya Tata heran.
"Tata adalah juara yang sudah memenangkan perjuangan melawan penyakit. Tata adalah juara karena sudah berhasil sembuh. Tata adalah juara karena sudah berhasil mengikuti ujian susulan sampai selesai. Kamu hebat, Ta."
Teman-teman pun bertepuk tangan mendengar penjelasan pak Bakri.
Tata tersenyum bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H