Mohon tunggu...
Faidhil Akbar
Faidhil Akbar Mohon Tunggu... Seniman - Rebahan itu harus, belajar ya apalagi

Tetap hihihaha walau hati huhahuha

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah dari Kisah (1)

12 April 2020   20:14 Diperbarui: 12 April 2020   20:24 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2001, Awal dia bermimpi

Bagi kebanyakan orang, hari jum'at adalah hari yang mulia. Hari keberkahan, hari kebaikan dan sebagainya. Dia hadir untuk memperjuangkan mimpi-mimpi para pejuang. Dia hadir bersemangat untuk menjadi penerus.

Sorak-sorak ramai, senang dengan kehadirannya. Berharap kelak menjadi pejuang sejati yang tak kenal lelah. Yah, salah satu ciri pejuang adalah tidak kenal lelah dan tidak gampang untuk mengeluh apalagi menyerah, itu bukan tipikal pejuang sejati. Diantara pejuang-pejuang yang hadir saat itu, datang beribu-beribu harapan tinggi. Harapan yang semoga berjalannya waktu akan tergapai oleh para pejuang-pejuang hebat ini.

Pagi itu, andri berangkat sekolah hanya berdua dengan kakaknya yang memang satu sekolah dengannya. Berbekal uang lima ribu rupiah, andri masuk kelas 1 di sekolah dasar yang berada di kota. Setiap harinya andri dan kakanya harus menggunakan mobil angkutan umum untuk sampai ke tempat sekolah, begitupun pulangnya.

Hari pertama kaka nya sekolah, dia tidak pernah diantar sampai masuk ke dalam kelas. Ayah nya hanya mengantar sampai gerbang sekolah dan itupun hanya sekali saat masuk dan dua kali ketika pembagian nilai rapot. Begitupun dengan andri, dia bahkan tidak pernah sama sekali diantar oleh ayahnya sampai masuk ke dalam lingkungan sekolahnya.

"Ayah, besok beli sepedah yah" pinta anaknya.

"Iya, tapi ada syaratnya"

"Apa syaratnya?"

"Setiap abis magrib, harus ngaji di rumah ustadz markani. Gimana, mau?" pinta ayahnya.

"Iya mau, yaudah besok beli nanti langsung dipake buat ke rumah ustadz markani" jawab anaknya yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar.

Andriansyah Saputra, lelaki desa yang mempunyai mimpi tinggi sama seperti ayahnya. Dia, dan keluarganya hidup di sebuah desa yang jika ingin bertemu ibu kota harus menempu jarak kurang lebih 7 kilometer.

Ayahnya, Ahmad Farhan, ST. Seorang sarjana tehnik yang tidak kenal lelah dan pantang mengeluh dalam bekerja. Karena ayahnya tahu, rasa lelah mampu hilang dengan istirahat, namun jika beristirahat terlalu lama tidak akan mendapatkan keberkahan hidup.

Ayahnya bukanlah seorang ustadz atau ulama di desanya. Tidak pula tahu banyak tentang agama, dan mengaji pun masih terbata-bata. Namun ayahnya tidak pernah absen untuk mengaji setiap waktu walupun hanya satu halaman.

Tidak hanya itu, ayahnya selalu terbiasa untuk shalat berjama'ah di masjid jika sedang libur kerja dan setiap subuh ayahnya selalu hadir dibarisan pertama shaf masjid. Tidak banyak yang diharap ayahnya, semoga ibadahnya bisa diterima oleh sang kuasa dan kelak anak-anaknya bisa mengikuti kebiasaan ayahnya ini. Mampu membaca al-qur'an dengan bacaan yang baik sesuai hukum bacaan, dan sebagainya.

Yang jelas, ayahnya ingin anak-anak nya bisa menjadi lebih baik dari ayah dan ibu nya saat ini dengan segala keterbatasan terutama keterbatasan pengetahuan agama yang memang dahulu ayahnya tidak cukup waktu untuk banyak belajar agama dan mengaji.

Semasa kecilnya, ayah andri memang sudah hidup dalam keterbatasan dan ayah nya lah yang menjadi pembantu peringan beban di keluarganya; karena ayah andri merupakan anak ke dua dari lima bersaudara. Sebagai anak lelaki pertama, secara tidak langsung ia dituntut untuk membantu meringkan beban orang tua terutama dalam hal biaya pendidikan untuk adik-adiknya.

Walaupun ia bukanlah anak pertama, ia harus melakukan itu; karena anak pertama adalah seorang perempuan yang dirasa terlalu berat jika harus menuntut anak perempuan sebagai pendorong untuk biaya pendidikan adik-adiknya.

"Ayah, tadi di sekolah temen-temen udah banyak yang ngambil buku. Orang tua nya udah ngantri dari sebelum istirahat di koperasi. Kaka belum ngambil buku yah, besok ayah bisa ngambilin nggak?" harap andri

"Ayah besok ada rapat kak, dari jam delapan sampe dzuhur. Kemungkinan ayah ngga bisa. Udah kaka ambil sendiri aja ke koperasi, bawa kwitansinya besok ke sekolah yah kak" jawab ayahnya.

Andri hanya menganggukkan kepalanya, tanda bahwa ia setuju dengan perkataan ayahnya tadi. Padahal, sejak di kelas andri membayangankan besok ayahnya akan mengambilkannya buku seperti teman-teman nya yang lain.

Namun, bayangan itu sirna seketika dengan penuturan ayahnya tadi yang memang hanya seorang pegawai, namun dipercaya oleh para jajaran atas di kantornya sehingga ia dipercaya untuk selalu ikut andil dalam setiap pertemuan membahas rencana dan masalah yang ada di kantornya tersebut.

Pagi ini awan sedang dirundung beban hingga menutup celah kebahagiaan yang dinanti-nanti oleh para penduduk bumi. Menanti kehangatan alami tanpa harus bayar namun bermanfaat; karena tubuh manusia butuh paparan sinar alami itu agar kestabilan stamina tubuh tetap terjaga. 

Orang bilang bahwa "Hitam tak selalu jahat. Seperti halnya putih tak selalu baik". Namun bagi andri, hitam tetaplah hitam yang menandakan kepada keburukan atau kesengsaran. Lebih tepatnya kecewa.

Sedari berangkat hingga di sekolah, andri selalu bermuka masam bak abu yang baru di bakar. Tak sedikitpun menyunggingkan lengkungan senyum di wajahnya. Bila dahulu banyak yang berbicara tentangnya bahwa dia hitam manis. Mungkin hari ini bukan hitam manis. Hitam masam bak kulit manggis.

Namun sejatinya, andri punya sifat manis yang tidak banyak orang tahu. Karena "Baik jahatnya seseorang bukan dari fisik. Karena fisik hanya bagian luar yang mungkin dapat dilihat semua orang" itu benar adanya.

Jadi jika kau belum tahu kepribadian asli seseorang, jangan sesekali kau mencelanya bahkan menghinanya. Karena orang yang benar-benar baik perangainya, tidak akan menunjukkan kebaikannya di hadapan orang yang mencelanya.

"Bapak kamu mana dri? Nggak ngambilin buku?" tanya salah seorang teman kelasnya.

"Ayahku hari ini ada rapat, jadi belum bisa ngambilin buku" jawabnya.

"Terus siapa yang ngambilin buku? Kakak kamu?"

"Enggak, aku sendiri nanti yang ngambil" jelasnya.

Dengan wajah bingung dan sedikit tertawa, temannya itu keluar dengan perasaan tidak percaya bahwa andri akan mengambil bukunya sendiri tanpa diwakilkan oleh orang tua atau kakanya.

Andri pulang menggunakan angkutan umum bersama kakanya masih dengan wajah kulit manggis. Sepanjang jalan, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut andri. Hingga kakanya bingung, apa yang terjadi pada adiknya itu. Sedang puasa berbicara atau memang sedang ada masalah. 

Namun, kakanya lebih memilih diam tak bertanya dari pada harus bertanya di angkutan umum yang mungkin sekali terjadi perdebatan bahkan keributan. Bagi mereka berdua, berdebat dan bergulat sudah menjadi makanan pokok sehari-hari di rumah.

Entah apa masalahnya, mereka berdua hampir seperti kucing dan tikus bila sedang berkelahi. Entah berapa kali halaman rumah dan seisi ruangannya mereka kelilingi. Hingga akhirnya salah satu dari mereka ada yang berteriak dan menangis.

Memang biasanya, andri lah yang kalah; karena memang andri baru berusia 7 tahun sedangkan kaka nya sudah berumur 10 tahun dan jelas postur tubuh mereka berbeda jauh. 

Namun hampir disetiap perkelahian, andri selalu menang jika kedapatan oleh ayahnya. Karena hakikat seorang kaka itu mengasuh dan mengajari, bukan menjadikan adiknya musuh apalagi lawan berkelahi.

"Kenapa kak? Kayanya hari ini ada yang beda" tanya ayahnya saat andri sedang mengerjakan tugas.

"Ngga kenapa-kenapa kok yah" jawabnya santai.

"Oh yaudah. Buku udah diambil belum kak?"

Andri tak menjawab pertanyaan terakhir dari ayahnya. Melainkan dia hanya menganggukkan kepalanya tanda bahwa dia sudah mengambilnya.

Ayah andripun menyadari ada sedikit kejanggalan pada anaknya dan ayahnya sudah paham betul apa yang terjadi pada anaknya itu.

"Kak, dulu ayah kemana-mana itu sendiri. Nggak pernah ditemenin sama kakek. Berangkat sekolah, pulang sekolah, ngambil buku, bagi raport. Sama kaya kaka gini sekarang"

"Nanti, kalo ada waktu luang ayah sempetin dateng ke sekolah buat jemput kaka pulang" tegas ayahnya.

Seketika andri yang sedang mengerjakan tugas menoleh sedikit ke arah ayahnya dan menyudahi tugasnya itu. Tidak menutup bukunya, namun tangannya melepas pena yang digenggam tanda berakhirnya belajar.

***

2010, Sepertiga dari awal mimpinya

Senin di awal tahun. Hari baru, semangat baru. Buku dan pakaian pun harus baru. Seperti itulah kurang lebih yang difikirkan andri dan teman-teman yang lainnya. Kini andri sudah terbiasa dengan kesehariannya. Berangkat menggunakan angkutan umum begitupun pulangnya. Seorang diri, tanpa teman; karena andri seorang yang tinggal di desa. Tidak pula dengan kakanya yang sudah lulus akhir tahun kemarin.

Membuatnya harus tetap menjadi orang yang berdikari. Tidak menggantungkan apapun kepada orang lain, termasuk kaka dan kedua orang tuanya. Namun itu semua tidak semudah yang andri fikirkan, karena untuk menjadi pribadi yang mandiri di usianya yang dibilang masih cukup dini bukanlah suatu yang mudah.

Hingga akhirnya dia paham bahwa "Hidup ini terasa nikmat, jika kita tidak membanding-bandingkannya dengan orang lain" itu benar adanya. Andri merasakannya sendiri. Semakin kita fikirkan, bandingkan, dan keluhkan. Semakin hidup kita tertekan. Tak aka nada habisnya jika iri terhadap orang lain tentang urusan duniawi.

Di saat andri merasa dirinya sudah cukup umur tepatnya umur 13 tahun. Andri meminta dibelikan handphone kepada orang tuanya. Namun tak pernah satu kalipun ayahnya menggubris tentang kapan ayahnya akan membelikan andri handphone.

Hingga akhirnya dia menggunakan uang tabungannya untuk membeli handphone "Evercross". Handphone sederhana, yang terpenting bisa dia pakai dan tidak malu dengan teman-temannya.

Namun, hingga andri lulus sekolah dasar. Dia belum paham, mengapa ayahnya mendidik dia seperti ini. Tidak pernah membelikan barang-barang yang dia minta terkecuali menggunakan uang tabungannya sendiri. Entahlah, andri merasa penat jika terus-terusan memikirkan hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun