***
2010, Sepertiga dari awal mimpinya
Senin di awal tahun. Hari baru, semangat baru. Buku dan pakaian pun harus baru. Seperti itulah kurang lebih yang difikirkan andri dan teman-teman yang lainnya. Kini andri sudah terbiasa dengan kesehariannya. Berangkat menggunakan angkutan umum begitupun pulangnya. Seorang diri, tanpa teman; karena andri seorang yang tinggal di desa. Tidak pula dengan kakanya yang sudah lulus akhir tahun kemarin.
Membuatnya harus tetap menjadi orang yang berdikari. Tidak menggantungkan apapun kepada orang lain, termasuk kaka dan kedua orang tuanya. Namun itu semua tidak semudah yang andri fikirkan, karena untuk menjadi pribadi yang mandiri di usianya yang dibilang masih cukup dini bukanlah suatu yang mudah.
Hingga akhirnya dia paham bahwa "Hidup ini terasa nikmat, jika kita tidak membanding-bandingkannya dengan orang lain" itu benar adanya. Andri merasakannya sendiri. Semakin kita fikirkan, bandingkan, dan keluhkan. Semakin hidup kita tertekan. Tak aka nada habisnya jika iri terhadap orang lain tentang urusan duniawi.
Di saat andri merasa dirinya sudah cukup umur tepatnya umur 13 tahun. Andri meminta dibelikan handphone kepada orang tuanya. Namun tak pernah satu kalipun ayahnya menggubris tentang kapan ayahnya akan membelikan andri handphone.
Hingga akhirnya dia menggunakan uang tabungannya untuk membeli handphone "Evercross". Handphone sederhana, yang terpenting bisa dia pakai dan tidak malu dengan teman-temannya.
Namun, hingga andri lulus sekolah dasar. Dia belum paham, mengapa ayahnya mendidik dia seperti ini. Tidak pernah membelikan barang-barang yang dia minta terkecuali menggunakan uang tabungannya sendiri. Entahlah, andri merasa penat jika terus-terusan memikirkan hal tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI