Mohon tunggu...
Faidatul Hikmah
Faidatul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Mahasiswa Berprestasi 2 Tingkat Fakultas Hukum UBB Tahun 2022 || Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung|| Anggota DPC PERMAHI BABEL

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkara Pidana Anak Meningkat, Perlukah Reformulasi Kebijakan Hukum Pidana dengan Penguatan Diversi?

29 Oktober 2022   17:08 Diperbarui: 29 Oktober 2022   17:15 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberlakuan Diversi Pada Semua Jenis Tindak Pidana Anak

     Anak tidak seharusnya menerima hukuman berat terlebih sampai hukuman penjara mengingat dampaknya adalah pematian masa depan anak. Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang dirumuskan dalam Pasal 28 B ayat (2). Indonesia dalam menjalankan Sistem Peradilan Pidana Anak, telah menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai wujud pembaharuan terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak, hal ini dikarenakan di dalam Pengadilan Anak, menggunakan pendekatan yuridis formal dengan mengutamakan pembalasan (retributive). 

Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara penyelesaian terbaik dan paling efektif bagi perkara Anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam pelaksanaan Diversi ada beberapa persyaratan terkait dengan pelaksanaannya yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) dan pada Pasal 9 Ayat (1) huruf (a). Di Dalam ketentuan kedua pasal tersebut merupakan indikator bagi aparat penegak hukum bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi, dan diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme, yang diancam pidana diatas 7 tahun. Dengan demikian, kategori tindak pidana tertuju pada kualifikasi perbuatan yang memiliki sifat jahat serius. Sementara tidak sedikit ketentuan peraturan pidana yang merumuskan formulasi ancaman kategori pidana yang berkategori tidak begitu serius. Faktanya, terdapat beberapa ancaman pidana yang diatas tujuh tahun tidak dalam kategori tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme. Sebut saja misalnya, Pencurian dalam Pasal 363 diancam penjara maksimal tujuh tahun. Kategori Pencurian dalam Pasal 363 sebagai contoh tersebut tentu bukan kategori tindak pidana serius akan tetapi apabila merujuk pada Pasal 7 ayat 2 maka tidak dapat menjadi prioritas diversi karena ancaman pidananya tidak dibawah 7 (tujuh tahun). Bagaimana mungkin, dapat mencapai ide dasar keadilan restoratif dalam menentukan prioritas diversi apabila dalam Pasal 7 ayat 2 menentukan syarat diversi ancaman pidana dibawah 7 (tujuh) tahun. 

Padahal sebagaimana yang diketahui, keadilan restoratif menekankan pada proses rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam rangka pemulihan atas konflik hukum yang dihadapi. Dengan demikian, maka perlunya reformulasi Diversi pada Pasal 7 ayat (2) Huruf (a) UU SPPA, karena ketika Anak melakukan tindak pidana dalam kategori apapun anak berhak mendapatkan penyelesaian perkara melalui proses diversi, dalam hal ini apabila timbul suatu pemikiran tentang bagaimana keadilan yang didapatkan korban yang terdapat pada Pasal 9 ayat (2). Sistem penegakan hukum peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari ide dasarnya, termasuk pula mengenai syarat pelaksanaan diversi. Konsep ide dasar sistem peradilan pidana anak bertumpu pada 2 (dua) prinsip utama. Pertama, asas-asas sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas perlindungan, keadilan, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Kedua, ide dasar sistem peradilan pidana anak berpijak pada nilai utama keadilan restoratif sebagai cita hukum Undang-Undang SPPA. Berdasarkan pada Pasal 1 ayat (6) keadilan restoratif merupakan ide dasar dimana dilakukan dalam bentuk diversi. 

Syarat diversi yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang SPPA merupakan formulasi yang buruk (bad formulation) jika dilihat dalam lingkup hukum pidana. Setidaknya dapat diajukan beberapa pendapat terkait hal ini, pertama secara nyata legal gap ditunjukkan antara norma syarat diversi (Pasal 7 ayat 2) dengan ide dasar Undang-Undang SPPA (Pasal 1 ayat 6, Pasal 2, dan Pasal 6). Tidak adanya kepastian hukum dengan terjadinya legal gap. Seperti apa yang diungkapkan oleh Jan Michiel Otto dalam dimensi lain kepastian hukum merupakan sicherheit des rechts selbst, yaitu kepastian tentang aturan hukum itu sendiri. Formulasi syarat diversi mengenai klausula bukan merupakan pengulangan tindak pidana memiliki kerancuan apabila dilihat dalam kajian hukum pidana dan asas-asas sistem peradilan pidana (utamanya mengenai ultimum remedium). Hal ini, berbanding terbalik dari ide dasar Undang-Undang SPPA dalam Pasal 2 asas-asas sistem peradilan pidana anak dilaksanakan memperhatikan hal terbaik bagi anak demi tumbuh berkembangnya anak, sehingga pemidanaan dan pembalasan menjadi sarana/instrumen terakhir (ultimum remedium). Formulasi Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang SPPA telah mendistorsi ide dasar sistem peradilan pidana anak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat 6 yaitu nilai keadilan restoratif sebagai cita hukum, serta asas-asas sistem peradilan pidana anak yang menegaskan prinsip ultimum remedium pada Pasal 2.   

Dengan melihat risalah Pasal 7 Ayat (2) Huruf (a) UU SPPA, terlihat dalam suatu perdebatan telah disinggung mengenai Diversi ini, seharusnya mempertimbangkan bahwa salah satu tujuan dasar adanya Diversi adalah untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak agar dapat menghindari hukuman pidana penjara, dan apabila ditemukan suatu kesepakatan dari kedua belah pihak ini maka akan lebih baik tentunya dengan pembayaran kompensasi yang bisa lebih bermanfaat untuk korban, dari pada pelaku dijatuhi hukuman pidana penjara. Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) sudah seharusnya KHA diletakan sebagai salah satu sumber hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan Anak.

Pasal 37 (b) tentang KHA dijelaskan bahwa tidak ada seorang anak pun kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Dalam penangkapan, penahanan atau penghukuman anak disesuaikan dengan Undang-Undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak. hal ini mempunyai arti bahwa seluruh anak di Indonesia tanpa terkecuali mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara, termasuk didalamnya anak yang berhadapan dengan hukum baik dalam posisi sebagai pelaku, korban, maupun saksi. 

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 64 Huruf (g) juga disebutkan hal yang sama bahwa salah satu hal yang dilakukan untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum ialah dilakukannya penghindaran dari penangkapan, penahanan, atau penjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Dari beberapa penjelasan diatas, inilah yang menjadi urgensi reformulasi penetapan Pasal 7 Ayat (2) Huruf (a) UU SPPA, dimana seharusnya terdapat pemikiran bahwa dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum wajib diupayakan Diversi tanpa memperhatikan ancaman pidananya, dan tidak satupun anak yang bisa ditahan apabila Diversi belum diupayakan ini sangat tepat karena Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara penyelesaian terbaik dan paling efektif bagi perkara Anak yang berkonflik dengan hukum sebagai bentuk penerapan perlindungan Anak. 

Dalam perdebatan yang lain dalam merumuskan persyaratan Diversi akan lebih aman apabila terdapat batasan terhadap ancaman pidana penjaranya, karena bila ditelaah lebih lanjut tindak pidana yang ancaman hukuman pidananya diatas 7 (tujuh) tahun merupakan tindak pidana yang dianggap berat, atau lebih serius. Jelas terlihat bahwa, perumusan Pasal ini mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah dijelaskan diatas bahwa perampasan kemerdekaan anak dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, dalam asas hukum pidana dikenal dengan asas ultimum remedium, karena anak tidak diizinkan untuk menyelesaikan kasusnya dengan menggunakan Diversi, melainkan langsung dimasukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang tentu akan berdampak buruk pada kondisi Anak dimasa yang akan datang.

Tujuan dibentuknya Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagai wujud pembaharuan terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak, hal ini dikarenakan di dalam Pengadilan Anak, menggunakan pendekatan yuridis formal dengan mengutamakan pembalasan (retributive) dan terdapat fakta dari beberapa penelitian bahwa proses peradilan pidana dapat menimbulkan efek negatif pada anak, yaitu timbulnya stigma atau label yang menempatkan status anak ditengah masyarakat sebagai mantan narapidana. Fenomena diatas menunjukan bahwa penanganan terhadap pelaku tindak pidana anak oleh aparat penegak hukum melalui jalur penal yang selama ini berlangsung, anak yang terlibat dalam proses peradilan pidana memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk daripada orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak pidana mengalami tindak kekerasan selama proses peradilan pidana. Proses Peradilan Pidana Anak seringkali menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.

Penggunaan teori kebijakan hukum pidana pada tahap reformulasi untuk merumuskan kembali Pasal 7 ayat (2) Huruf (a) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena Pasal ini dipandang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak tanpa diskriminasi yang mengedepankan kesejahteraan anak, pada Pasal ini tidak melindungi Anak yang melakukan perbuatan pidana dengan ancaman pidana diatas 7 (tujuh) tahun. Hal ini tentu melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk dapat memperoleh perlindungan hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di depan hukum. Serta bertentangan dengan Pasal 2 dengan Undang-Undang yang sama yaitu UU SPPA. Reformulasi yang dibuat pada dasarnya ingin menerapkan prinsip perlindungan anak pada Pasal 7 Ayat (2) huruf (a) sehingga semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan terlebih dahulu penyelesaian perkara melalui proses Diversi sebelum anak dimasukan dalam proses peradilan pidana formal. Dan diharapkan ,tidak ada lagi diskriminasi terhadap pembatasan penerapan yang termasuk sebagai syarat pelaksanaan diversi. Karena pada hakikatnya hukum itu melayani atau melindungi semua orang tanpa diskriminas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun