Perundungan merupakan tindakan penyelewengan dan penyerangan atas kehormatan pribadi, meski dalam banyak ekstrim lainnya dapat berupa penyiksaan fisik, psikis, mental, dan kehormatan. Jelas, dalam perspektif hukum pidana positif, perundungan menjadi perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Tindak pidana perundungan termaktub sebagai bagian tidak terpisahkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab XVI mengenai penghinaan, Bab XX mengenai penganiayaan, Bab V mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum, khususnya di dalam Pasal 170, Pasal 311, Pasal 310 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 351 KUHP. Terdapat pula perlindungan hukum terhadap anak korban perundungan yang diatur dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain kedua regelling tersebut, bentuk perundungan yang dilakukan melalui cyberspace juga telah diatur dalam UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Â
Dengan berbagai ketentuan tersebut, secara normatif, upaya perlindungan terhadap anak korban perundungan telah diatur dengan kompleksitas norma yang komprehensif. Pemidanaan terhadap pelaku perundungan juga telah memiliki landasan hukum yang jelas, meski dalam penerapannya harus berhadapan dengan berbagai ketentuan lain yang bertautan, misalnya prinsip diversi yang membatasi ruang gerak hukum pidana jika pelaku adalah anak dibawah umur menurut Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Â
Esensi Diversi dan Restoratif Justice Dalam Perkara Pidana Anak
Anak merupakan setiap individu yang berada dalam pengampuan orang tua atau wali, seorang yang karena hukum belum dianggap dewasa dan belum cakap bertindak. Umumnya, dalam hal tindak pidana usia dapat menjadi alasan penghapus pidana, yang menghilangkan unsur kesalahan, khususnya terkait kemampuan bertanggung jawab. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa seorang anak pun dapat melakukan tindak pidana berat dan tidak dapat dimaafkan hanya lantaran usianya, untuk itu dalam sistem hukum di Indonesia pemidanaan terhadap anak diatur secara khusus dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang juga memuat berbagai ketentuan terkait perlindungan anak serta dijelaskan lebih mendetail dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Upaya perlindungan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak diampu dengan prinsip diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana keluar proses pidana dan diselesaikan secara non litigasi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan juga adanya batasan diversi, yakni berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak diatas usia 12 tahun dan diancam dengan pidana dibawah 7 tahun penjara serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Penetapan usia 12 tahun dalam adalah tepat menurut kajian sosiologis, mengingat usia tersebut seorang anak telah dapat dianggap stabil atau dalam hukum islam dianggap sudah baligh. Sedangkan batas ancaman 7 tahun ditujukan untuk mengklasifikasikan tindak pidana berat sehingga layak untuk dipidana.
Kasus perundungan yang dialami F, dalam perspektif hukum pidana tidak dapat secara langsung dikenai ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dunia, lantaran perbuatan materiil yang dilakukan pelaku tidak secara langsung menyebabkan kematian, melainkan perundungan dengan mempermalukan harkat dan martabat serta menyebarkanya di muka umum. Ketentuan Pasal yang dapat dikenai adalah Pasal 310 dan 311 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan. Meski demikian, pertimbangan hakim dapat mempengaruhi ketentuan pidana, dengan pertimbangan dampak materiil korban yang meninggal dunia.
Untuk itu, secara normatif, berlakunya diversi sebagai upaya perlindungan pelaku bergantung pada tiga kondisi. Pertama, tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun. Kedua, bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Ketiga, dilakukan terhadap anak usia yang berusia diatas 12 tahun. Dalam hal terdapat satu atau beberapa syarat kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka pelaku harus diproses dengan sidang di Peradilan Anak.Â
Dalam memperkuat upaya perlindungan terhadap anak, sistem peradilan anak dilaksanakan berdasarkan pada beberapa asas penting diantaranya asas perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Lebih dari itu, bagi anak yang berhadapan dengan hukum maka anak harus mendapatkan perlindungan labelisasi dan rehabilitasi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Berbagai upaya perlindungan dan sistem pemidanaan anak di Indonesia sejatinya telah secara penuh menunjukan kepedulian pemerintah terhadap hak-hak dan kewajiban anak, meski pemidanaan adalah langkah terakhir (ultimum remedium), namun tetap dapat dilakukan dalam hal telah keluar dari batasannya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pengaturan ini sangat penting untuk menjaga kestabilan dalam masyarakat serta memenuhi kewajiban terhadap perlindungan anak. Mengingat anak adalah generasi penerus yang berharga sebagai subjek pembangun masa depan, perlindungan dan kepastian hukum harus dijalankan secara ekuilibrium selaras dengan nilai-nilai materiil masyarakat dan hukum positif.
Restorative justice atau keadilan restoratif merupakan konsep penanganan dalam hukum pidana yang mengutamakan paradigma pemulihan, dan bukan pembalasan. Tujuan materiil dari konsep Restorative justice adalah untuk memberikan rasa kepuasan dan keadilan yang substansial, dengan jalan mempertemukan kepentingan antara pelaku dan korban untuk memperoleh penyelesaian yang tepat dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Konsep Restorative justice sendiri pada dasarnya telah secara eksplisit termaktub dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menerapkan prinsip diversi.Â
Secara umum, penyelesaian perkara pidana dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pendekatan litigasi dan nonlitigasi. Pendekatan litigasi menerapkan hukum acara pidana, dengan kasus perkara yang diselesaikan melalui jalur peradilan. Sementara itu, jalur non-litigasi atau yang dikenal juga sebagai jalur luar pengadilan memanfaatkan upaya alternatif penyelesaian dengan musyawarah mufakat, mediasi, atau cara-cara lain yang dapat 'mendamaikan' antara kepentingan pelaku dan korban. Konsep dasar Restorative justice mendorong pencapaian alternatif kedua, yakni mencapai kesepakatan diluar meja hijau.