Oleh: Faidatul Hikmah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Problematika Laten: Anak menjadi Pelaku dan Korban Kekerasan
Penegakan hukum pidana merupakan syarat mutlak yang harus dijalankan secara kompeten dan konsekuen bagi setiap negara hukum. Pemikir begawan Inggris, A.V. Dicey sejak era 1950-an telah menteoritisasi bahwa salah satu ciri utama bagi negara hukum (rule of law) adalah prinsip perlindungan dan penghargaan atas hak asasi manusia. Untuk itu, hukum pidana, yang dalam pengertian teleologisnya merupakan instrumen hukum dalam perlindungan jiwa, raga, harta, dan kehormatan setiap individu, menjadi unsur tidak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa. Terlebih, secara deklaratoir, founding fathers bangsa Indonesia telah mendeterminasikan dirinya dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa "...Indonesia adalah negara hukum".
Dewasa ini, sorotan hukum terhadap kasus perundungan anak seolah tidak ada habisnya dalam pemberitaan media di tanah air. Problematika laten yang mengakar kuat sebagai suatu 'kultur negatif' dalam masyarakat dewasa ini, telah kerap kali mencapai batas-batas diluar kewajaran. Perundungan, atau yang akrab dilatahkan sebagai 'bullying' terus menghantui anak-anak, terutama terjadi di lingkungan instansi pendidikan, tempat yang seharusnya aman, nyaman, dan terjaga. Bahkan, dalam beberapa ekstrem, telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Sejak 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya tren kenaikan kasus perundungan terhadap anak dari tahun-tahun sebelumnya. Hingga semester kedua tahun 2020, terdapat pelaporan kasus perundungan sebanyak 119 kasus. Sementara, kasus yang tidak dilaporkan dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Ibarat fenomena gunung es, 119 kasus hanyalah suatu 'permukaan' yang muncul, sementara jauh lebih banyak kasus berada di bawah lintasan permukaan dan tidak terdeteksi.Â
Terakhir, kasus perundungan yang parah, dan sekaligus menandai pentingnya reformulasi kebijakan, adalah kasus yang menimpa F (11), seorang bocah siswa SD di Tasikmalaya yang harus meregang nyawa akibat depresi berat pasca dirundung oleh 15 teman sekolahnya untuk menyetubuhi seekor kucing dan menyebarkan rekaman di media sosial.Â
Kasus perundungan yang berakibat fatal bukan pertama kalinya terjadi. Pada Januari lalu, seorang siswa SMP di Banyuwangi harus menjalani operasi pemotongan tulang paha 4 cm pasca di-bully dan dianiaya teman sekolahnya. Sementara pada Februari, siswa di SMA Negeri 3 Unggulan Palopo, harus mendapat perawatan medis pasca disekap, dipukuli, dan dianiaya 5 pelaku yang juga teman sekolahnya. Di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswi Universitas Muslim Indonesia (UMI) meninggal dunia dalam pengkaderan senat yang diadakan oleh senior korban. Kasus serupa juga sempat terjadi di berbagai kampus sebelumnya, dan menjadi preseden negatif dalam praktik 'pelatihan' di lingkungan kampus.
Maraknya kasus perundungan, penganiayaan, hingga pelecehan yang terjadi di instansi pendidikan, terutama SD dan SMP patut menjadi salah satu pusat perhatian bersama dan memerlukan penyelesaian segera. Problematika laten yang terus menimbulkan korban setiap tahun, harus diselesaikan melalui rekayasa kebijakan, termasuk reformulasi kebijakan hukum acara pidana. Lantas dengan permasalahan tersebut, penulis ingin mengkaji kompleksitas urgensi penguatan upaya diversi dalam perkara pidana peradilan anak di Indonesia, sehingga dalam hal ini akan menjawab apakah seyogynya perlu reformulasi kebijakan hukum acara pidana dalam perkara pidana anak di Indonesia.Â
 Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perlindungan hukum merupakan perbuatan atau upaya dalam melindungi seluruh masyarakat dari perilaku seorang yang dapat merugikan kepentingan hukumnya, guna menciptakan ketentraman dan ketertiban umum selama menjalani kehidupan. Perlindungan hukum diberikan kepada setiap subjek hukum, meliputi naturalpersoon (manusia), maupun rechtpersoon (badan hukum) terhadap hak dan kewajiban. Dalam hukum pidana, perlindungan ini diberikan untuk memberi jaminan keamanan atas hak hidup (nyawa), tubuh, harta dan benda, harga diri dan nama baik, serta kepentingan hukum atas rasa susila dan kehormatan. Instrumentasi hukum pidana yang dilengkapi dengan sanksi dan mengikat bagi semua subjek hukum, tidak lain adalah dalam upaya memberi jaminan terpenuhinya unsur-unsur perlindungan tersebut diatas.
Perundungan merupakan tindakan penyelewengan dan penyerangan atas kehormatan pribadi, meski dalam banyak ekstrim lainnya dapat berupa penyiksaan fisik, psikis, mental, dan kehormatan. Jelas, dalam perspektif hukum pidana positif, perundungan menjadi perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Tindak pidana perundungan termaktub sebagai bagian tidak terpisahkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab XVI mengenai penghinaan, Bab XX mengenai penganiayaan, Bab V mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum, khususnya di dalam Pasal 170, Pasal 311, Pasal 310 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 351 KUHP. Terdapat pula perlindungan hukum terhadap anak korban perundungan yang diatur dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain kedua regelling tersebut, bentuk perundungan yang dilakukan melalui cyberspace juga telah diatur dalam UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Â
Dengan berbagai ketentuan tersebut, secara normatif, upaya perlindungan terhadap anak korban perundungan telah diatur dengan kompleksitas norma yang komprehensif. Pemidanaan terhadap pelaku perundungan juga telah memiliki landasan hukum yang jelas, meski dalam penerapannya harus berhadapan dengan berbagai ketentuan lain yang bertautan, misalnya prinsip diversi yang membatasi ruang gerak hukum pidana jika pelaku adalah anak dibawah umur menurut Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Â
Esensi Diversi dan Restoratif Justice Dalam Perkara Pidana Anak
Anak merupakan setiap individu yang berada dalam pengampuan orang tua atau wali, seorang yang karena hukum belum dianggap dewasa dan belum cakap bertindak. Umumnya, dalam hal tindak pidana usia dapat menjadi alasan penghapus pidana, yang menghilangkan unsur kesalahan, khususnya terkait kemampuan bertanggung jawab. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa seorang anak pun dapat melakukan tindak pidana berat dan tidak dapat dimaafkan hanya lantaran usianya, untuk itu dalam sistem hukum di Indonesia pemidanaan terhadap anak diatur secara khusus dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang juga memuat berbagai ketentuan terkait perlindungan anak serta dijelaskan lebih mendetail dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Upaya perlindungan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak diampu dengan prinsip diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana keluar proses pidana dan diselesaikan secara non litigasi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan juga adanya batasan diversi, yakni berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak diatas usia 12 tahun dan diancam dengan pidana dibawah 7 tahun penjara serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Penetapan usia 12 tahun dalam adalah tepat menurut kajian sosiologis, mengingat usia tersebut seorang anak telah dapat dianggap stabil atau dalam hukum islam dianggap sudah baligh. Sedangkan batas ancaman 7 tahun ditujukan untuk mengklasifikasikan tindak pidana berat sehingga layak untuk dipidana.
Kasus perundungan yang dialami F, dalam perspektif hukum pidana tidak dapat secara langsung dikenai ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dunia, lantaran perbuatan materiil yang dilakukan pelaku tidak secara langsung menyebabkan kematian, melainkan perundungan dengan mempermalukan harkat dan martabat serta menyebarkanya di muka umum. Ketentuan Pasal yang dapat dikenai adalah Pasal 310 dan 311 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan. Meski demikian, pertimbangan hakim dapat mempengaruhi ketentuan pidana, dengan pertimbangan dampak materiil korban yang meninggal dunia.
Untuk itu, secara normatif, berlakunya diversi sebagai upaya perlindungan pelaku bergantung pada tiga kondisi. Pertama, tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun. Kedua, bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Ketiga, dilakukan terhadap anak usia yang berusia diatas 12 tahun. Dalam hal terdapat satu atau beberapa syarat kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka pelaku harus diproses dengan sidang di Peradilan Anak.Â
Dalam memperkuat upaya perlindungan terhadap anak, sistem peradilan anak dilaksanakan berdasarkan pada beberapa asas penting diantaranya asas perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Lebih dari itu, bagi anak yang berhadapan dengan hukum maka anak harus mendapatkan perlindungan labelisasi dan rehabilitasi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Berbagai upaya perlindungan dan sistem pemidanaan anak di Indonesia sejatinya telah secara penuh menunjukan kepedulian pemerintah terhadap hak-hak dan kewajiban anak, meski pemidanaan adalah langkah terakhir (ultimum remedium), namun tetap dapat dilakukan dalam hal telah keluar dari batasannya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pengaturan ini sangat penting untuk menjaga kestabilan dalam masyarakat serta memenuhi kewajiban terhadap perlindungan anak. Mengingat anak adalah generasi penerus yang berharga sebagai subjek pembangun masa depan, perlindungan dan kepastian hukum harus dijalankan secara ekuilibrium selaras dengan nilai-nilai materiil masyarakat dan hukum positif.
Restorative justice atau keadilan restoratif merupakan konsep penanganan dalam hukum pidana yang mengutamakan paradigma pemulihan, dan bukan pembalasan. Tujuan materiil dari konsep Restorative justice adalah untuk memberikan rasa kepuasan dan keadilan yang substansial, dengan jalan mempertemukan kepentingan antara pelaku dan korban untuk memperoleh penyelesaian yang tepat dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Konsep Restorative justice sendiri pada dasarnya telah secara eksplisit termaktub dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menerapkan prinsip diversi.Â
Secara umum, penyelesaian perkara pidana dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pendekatan litigasi dan nonlitigasi. Pendekatan litigasi menerapkan hukum acara pidana, dengan kasus perkara yang diselesaikan melalui jalur peradilan. Sementara itu, jalur non-litigasi atau yang dikenal juga sebagai jalur luar pengadilan memanfaatkan upaya alternatif penyelesaian dengan musyawarah mufakat, mediasi, atau cara-cara lain yang dapat 'mendamaikan' antara kepentingan pelaku dan korban. Konsep dasar Restorative justice mendorong pencapaian alternatif kedua, yakni mencapai kesepakatan diluar meja hijau.
Perkara pidana anak merupakan bentuk khusus (lex specialis) dalam tataran hukum pidana, lantaran dilakukan oleh seorang yang masih dibawah umur sehingga belum dikategorikan sebagai subjek hukum yang cakap (naturalpersoon). Untuk itu, pendekatan yang digunakan juga tentu berbeda, dengan masih memberikan kesempatan atau keringanan bagi pelaku sesuai perbuatan yang dilakukannya. Penerapan Restorative justice menjadi instrumen optimal yang dapat digunakan, lantaran tetap tidak meninggalkan kewajiban bertanggung jawab pelaku, namun juga tidak memberatkan sebagaimana sifat pidana retributif yang umum dikenakan bagi pelaku usia dewasa.
Beberapa keuntungan dasar dari pemanfaatan RJ dalam penanganan kasus perundungan pada anak, terbagi dalam beberapa pokok pikiran berikut. Pertama, perlindungan dua arah. Restorative justice mengutamakan penyelesaian alternatif tanpa menjatuhkan pidana bagi pelaku, dengan memanfaatkan upaya pemulihan kerugian yang dialami oleh korban. Dalam kasus perundungan yang dilakukan oleh anak, ini sekaligus memberikan upaya perlindungan yang lebih pasti, baik kepada korban maupun pelaku. Selain itu, lantaran kasus perundungan kerap muncul dari faktor psikologis, misalnya salah asuh dan lingkungan pertemanan yang buruk, adanya mekanisme Restorative justice juga memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki perilakunya.
Kedua, pemulihan hak-hak korban secara lebih optimal. Trauma dan ketakutan berkepanjangan adalah dampak ikutan yang kerap muncul pasca terjadinya perundungan. Seorang korban perundungan cenderung merasa tidak aman, bahkan saat pelaku telah diproses secara hukum. Hal ini lantaran konsep pidana bersifat memberi hukuman bagi pelaku, dan tidak secara linear memulihkan kerugian materiil yang dialami korban, baik psikis, mental, maupun kepercayaan dirinya. Untuk itu, Restorative justice dapat dimanfaatkan sebagai titik temu, agar pelaku dapat mengakui perbuatan dan mengajukan permintaan maaf terhadap korban. Restorative justice dapat membantu pemulihan korban perundungan secara lebih baik.
Ketiga, proses penanganan yang cepat, substantif, dan tidak membutuhkan prosedur berbelit. Berbeda dengan penyelesaian litigasi yang harus memenuhi berbagai ketentuan hukum acara dan prosedur pengadilan yang memerlukan waktu, biaya, dan proses panjang, penyelesaian Restorative justice dapat dilakukan dengan proses yang relatif lebih cepat. Penegak hukum, bersama dengan lembaga terkait, misalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sekolah, orang tua, dan anak dapat dipertemukan guna memperoleh penyelesaian bersama. Hal ini dapat memudahkan pencapaian rasa keadilan dan pemulihan kerugian.
Meski, konsep Restorative justice tidak dapat diterapkan secara langsung pada semua kasus perundungan dan kasus pidana yang dilakukan oleh anak, melainkan juga dibatasi berlakunya berdasarkan ketentuan dalam UU SPPA, yakni hanya berlaku dalam hal anak berada diatas usia 12 tahun, perbuatan pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun, dan bukan merupakan perulangan tindak pidana.
Perluasan Konsep Diversi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, prinsip diversi merupakan instrumen hukum yang dinormatisasi dengan tujuan untuk menjauhkan anak dari pemidanaan. Prinsip ini juga memperoleh pengaturan yang lugas melalui Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meski demikian, tidak semua perkara dapat diselesaikan melalui diversi, melainkan dibatasi atas beberapa persyaratan pokok yakni diversi dilakukan terhadap anak usia diatas 12 tahun, tindak pidana tidak diancam dengan pidana penjara 7 tahun, dan bukan merupakan tindak pidana perulangan. Sementara itu, perkara yang telah di-diversi-kan juga dapat batal dan dilanjutkan pemidanaannya, sesuai Pasal 13 UU SPPA apabila;
Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan
Kesepakatan diversi tidak dapat dilaksanakan
Dengan demikian, proses diversi sangat bersifat terbatas, dan pada akhirnya bergantung pada pemaafan yang diberikan oleh pihak korban. Sementara bagi pelaku, tidak terselesaikannya diversi dapat berarti pemidanaan. Namun, hal ini bukan satu-satunya permasalahan. Permasalahan yang lebih fundamental ialah syarat suatu perkara dapat diselesaikan secara diversi yang limitatif, sehingga bagi anak yang melanggar ketentuan hukum diluar perlindungan diversi, misalnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun, maka diversi menjadi tumpul (tidak dapat digunakan).
Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi kebijakan hukum acara pidana dengan menetapkan diversi pada semua jenis tindak pidana anak, agar aparat penegak hukum dalam semua perkara pidana anak dapat mengutamakan penggunaan diversi. Pemberlakuan ini akan memberi perlindungan lebih baik bagi setiap pihak, terutama bagi pelaku. Sedangkan bagi korban, diversi juga merupakan wadah komunikasi yang bisa dijalin guna menyelesaikan perkara secara damai tanpa harus melalui pengadilan pidana dan pemidanaan.
Pemberlakuan Diversi Pada Semua Jenis Tindak Pidana Anak
   Anak tidak seharusnya menerima hukuman berat terlebih sampai hukuman penjara mengingat dampaknya adalah pematian masa depan anak. Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang dirumuskan dalam Pasal 28 B ayat (2). Indonesia dalam menjalankan Sistem Peradilan Pidana Anak, telah menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai wujud pembaharuan terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak, hal ini dikarenakan di dalam Pengadilan Anak, menggunakan pendekatan yuridis formal dengan mengutamakan pembalasan (retributive).Â
Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara penyelesaian terbaik dan paling efektif bagi perkara Anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam pelaksanaan Diversi ada beberapa persyaratan terkait dengan pelaksanaannya yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) dan pada Pasal 9 Ayat (1) huruf (a). Di Dalam ketentuan kedua pasal tersebut merupakan indikator bagi aparat penegak hukum bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi, dan diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme, yang diancam pidana diatas 7 tahun. Dengan demikian, kategori tindak pidana tertuju pada kualifikasi perbuatan yang memiliki sifat jahat serius. Sementara tidak sedikit ketentuan peraturan pidana yang merumuskan formulasi ancaman kategori pidana yang berkategori tidak begitu serius. Faktanya, terdapat beberapa ancaman pidana yang diatas tujuh tahun tidak dalam kategori tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme. Sebut saja misalnya, Pencurian dalam Pasal 363 diancam penjara maksimal tujuh tahun. Kategori Pencurian dalam Pasal 363 sebagai contoh tersebut tentu bukan kategori tindak pidana serius akan tetapi apabila merujuk pada Pasal 7 ayat 2 maka tidak dapat menjadi prioritas diversi karena ancaman pidananya tidak dibawah 7 (tujuh tahun). Bagaimana mungkin, dapat mencapai ide dasar keadilan restoratif dalam menentukan prioritas diversi apabila dalam Pasal 7 ayat 2 menentukan syarat diversi ancaman pidana dibawah 7 (tujuh) tahun.Â
Padahal sebagaimana yang diketahui, keadilan restoratif menekankan pada proses rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam rangka pemulihan atas konflik hukum yang dihadapi. Dengan demikian, maka perlunya reformulasi Diversi pada Pasal 7 ayat (2) Huruf (a) UU SPPA, karena ketika Anak melakukan tindak pidana dalam kategori apapun anak berhak mendapatkan penyelesaian perkara melalui proses diversi, dalam hal ini apabila timbul suatu pemikiran tentang bagaimana keadilan yang didapatkan korban yang terdapat pada Pasal 9 ayat (2). Sistem penegakan hukum peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari ide dasarnya, termasuk pula mengenai syarat pelaksanaan diversi. Konsep ide dasar sistem peradilan pidana anak bertumpu pada 2 (dua) prinsip utama. Pertama, asas-asas sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas perlindungan, keadilan, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Kedua, ide dasar sistem peradilan pidana anak berpijak pada nilai utama keadilan restoratif sebagai cita hukum Undang-Undang SPPA. Berdasarkan pada Pasal 1 ayat (6) keadilan restoratif merupakan ide dasar dimana dilakukan dalam bentuk diversi.Â
Syarat diversi yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang SPPA merupakan formulasi yang buruk (bad formulation) jika dilihat dalam lingkup hukum pidana. Setidaknya dapat diajukan beberapa pendapat terkait hal ini, pertama secara nyata legal gap ditunjukkan antara norma syarat diversi (Pasal 7 ayat 2) dengan ide dasar Undang-Undang SPPA (Pasal 1 ayat 6, Pasal 2, dan Pasal 6). Tidak adanya kepastian hukum dengan terjadinya legal gap. Seperti apa yang diungkapkan oleh Jan Michiel Otto dalam dimensi lain kepastian hukum merupakan sicherheit des rechts selbst, yaitu kepastian tentang aturan hukum itu sendiri. Formulasi syarat diversi mengenai klausula bukan merupakan pengulangan tindak pidana memiliki kerancuan apabila dilihat dalam kajian hukum pidana dan asas-asas sistem peradilan pidana (utamanya mengenai ultimum remedium). Hal ini, berbanding terbalik dari ide dasar Undang-Undang SPPA dalam Pasal 2 asas-asas sistem peradilan pidana anak dilaksanakan memperhatikan hal terbaik bagi anak demi tumbuh berkembangnya anak, sehingga pemidanaan dan pembalasan menjadi sarana/instrumen terakhir (ultimum remedium). Formulasi Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang SPPA telah mendistorsi ide dasar sistem peradilan pidana anak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat 6 yaitu nilai keadilan restoratif sebagai cita hukum, serta asas-asas sistem peradilan pidana anak yang menegaskan prinsip ultimum remedium pada Pasal 2. Â
Dengan melihat risalah Pasal 7 Ayat (2) Huruf (a) UU SPPA, terlihat dalam suatu perdebatan telah disinggung mengenai Diversi ini, seharusnya mempertimbangkan bahwa salah satu tujuan dasar adanya Diversi adalah untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak agar dapat menghindari hukuman pidana penjara, dan apabila ditemukan suatu kesepakatan dari kedua belah pihak ini maka akan lebih baik tentunya dengan pembayaran kompensasi yang bisa lebih bermanfaat untuk korban, dari pada pelaku dijatuhi hukuman pidana penjara. Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) sudah seharusnya KHA diletakan sebagai salah satu sumber hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan Anak.
Pasal 37 (b) tentang KHA dijelaskan bahwa tidak ada seorang anak pun kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Dalam penangkapan, penahanan atau penghukuman anak disesuaikan dengan Undang-Undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak. hal ini mempunyai arti bahwa seluruh anak di Indonesia tanpa terkecuali mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara, termasuk didalamnya anak yang berhadapan dengan hukum baik dalam posisi sebagai pelaku, korban, maupun saksi.Â
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 64 Huruf (g) juga disebutkan hal yang sama bahwa salah satu hal yang dilakukan untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum ialah dilakukannya penghindaran dari penangkapan, penahanan, atau penjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Dari beberapa penjelasan diatas, inilah yang menjadi urgensi reformulasi penetapan Pasal 7 Ayat (2) Huruf (a) UU SPPA, dimana seharusnya terdapat pemikiran bahwa dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum wajib diupayakan Diversi tanpa memperhatikan ancaman pidananya, dan tidak satupun anak yang bisa ditahan apabila Diversi belum diupayakan ini sangat tepat karena Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara penyelesaian terbaik dan paling efektif bagi perkara Anak yang berkonflik dengan hukum sebagai bentuk penerapan perlindungan Anak.Â
Dalam perdebatan yang lain dalam merumuskan persyaratan Diversi akan lebih aman apabila terdapat batasan terhadap ancaman pidana penjaranya, karena bila ditelaah lebih lanjut tindak pidana yang ancaman hukuman pidananya diatas 7 (tujuh) tahun merupakan tindak pidana yang dianggap berat, atau lebih serius. Jelas terlihat bahwa, perumusan Pasal ini mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah dijelaskan diatas bahwa perampasan kemerdekaan anak dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, dalam asas hukum pidana dikenal dengan asas ultimum remedium, karena anak tidak diizinkan untuk menyelesaikan kasusnya dengan menggunakan Diversi, melainkan langsung dimasukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang tentu akan berdampak buruk pada kondisi Anak dimasa yang akan datang.
Tujuan dibentuknya Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagai wujud pembaharuan terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak, hal ini dikarenakan di dalam Pengadilan Anak, menggunakan pendekatan yuridis formal dengan mengutamakan pembalasan (retributive) dan terdapat fakta dari beberapa penelitian bahwa proses peradilan pidana dapat menimbulkan efek negatif pada anak, yaitu timbulnya stigma atau label yang menempatkan status anak ditengah masyarakat sebagai mantan narapidana. Fenomena diatas menunjukan bahwa penanganan terhadap pelaku tindak pidana anak oleh aparat penegak hukum melalui jalur penal yang selama ini berlangsung, anak yang terlibat dalam proses peradilan pidana memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk daripada orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak pidana mengalami tindak kekerasan selama proses peradilan pidana. Proses Peradilan Pidana Anak seringkali menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.
Penggunaan teori kebijakan hukum pidana pada tahap reformulasi untuk merumuskan kembali Pasal 7 ayat (2) Huruf (a) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena Pasal ini dipandang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak tanpa diskriminasi yang mengedepankan kesejahteraan anak, pada Pasal ini tidak melindungi Anak yang melakukan perbuatan pidana dengan ancaman pidana diatas 7 (tujuh) tahun. Hal ini tentu melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk dapat memperoleh perlindungan hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di depan hukum. Serta bertentangan dengan Pasal 2 dengan Undang-Undang yang sama yaitu UU SPPA. Reformulasi yang dibuat pada dasarnya ingin menerapkan prinsip perlindungan anak pada Pasal 7 Ayat (2) huruf (a) sehingga semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan terlebih dahulu penyelesaian perkara melalui proses Diversi sebelum anak dimasukan dalam proses peradilan pidana formal. Dan diharapkan ,tidak ada lagi diskriminasi terhadap pembatasan penerapan yang termasuk sebagai syarat pelaksanaan diversi. Karena pada hakikatnya hukum itu melayani atau melindungi semua orang tanpa diskriminas.Â
Perubahan dan pembaruan formulasi menjadi keharusan dalam rangka mengembalikan syarat diversi pada nilai keadilan restoratif dan asas-asas sistem peradilan pidana anak. Terhadap limitasi syarat diversi dibawah ancaman tujuh tahun akan mempersempit pemberian prioritas diversi. Untuk itu, pemberlakuan diversi sewajarnya diperluas terhadap semua jenis perkara tindak pidana anak sebagai jalan penyelesaian pertama. Penyelesaian pidana melalui pengadilan tetap dipergunakan, namun sebagai jalan terakhir setelah diversi diupayakan prosesnya.
Perlu pengkajian kembali terhadap efektifitas pemberlakuan prinsip diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Perlindungan Anak. Pemerintah perlu memulai pembahasan guna memasukan prinsip diversi dalam setiap perkara tindak pidana anak sebagai jalan penyelesaian perkara pidana, dan menjadikan pemidanaan sebagai opsi terakhir tanpa pembedaan dalam semua perkara. Hal ini akan memperkuat rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum perlindungan anak di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H