Mohon tunggu...
Fahrutimur
Fahrutimur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sejarah ditulis oleh orang yang tahu menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Membunuh Diri

11 Juni 2024   04:49 Diperbarui: 11 Juni 2024   05:02 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pribadi

di atas tanah basah aku berdiri di kaki gunung

setelah kata tersesat di dunia mimpi

yang mendendangkan kukuruyuk, ayam bersayap kertas.

Baca juga: Mata Pagi

sunyi menjelma daun, semak

dan sisa-sisa kenangan wajah kekasih

saat jarum jam menunjuk angka 11.

cinta mati ditikam penyakit birahi

serupa kelamin yang keluar nanah.

sakit dan menjengkelkan.

dan  tidak ada pengajian maupun tangisan

untuk mengantar kepergiannya.

hanya ada amin dari ingin untuk ia kembali dihidupkan.

bagai kayu yang terbakar, angin bahu - membahu

menantang hasratku. desirnya kelembutan perempuan.

aduhai,  begitu nyaman meraba tubuh,

membisik sesuatu. aku laki-laki yang dicuri cahaya mata. dikala iblis

bertakhta di kursi nafsu yang menyimpan segala kamu; iblis itu

nona, berlagak seperti sutradara yang mengatur nasib para pemain

seperti yang terjadi di tempat impian---tempat di mana ketelanjangan

bukanlah ke -- tabu -- an; sebelum taman menjadi saksi

dari tindakan yang mencicipi buah terlarang.

ingatanku perlahan tenggelam bersama bintang di banjir pagi.

jatuh. lalu berenang lebih dalam ke dasar keresahan

mata - hari menatap lalu membikinku lupa akan tanggal - Masehi.

kala tradisi malam tetap berlangsung: begadang orang susah tidur.

mata kumbang melihatku tajam---setajam peluru

yang memburu tubuh; jika saat ini kau bersamaku,

maka akan terlihat juga olehmu di sorotan mata kumbang itu

tersirat berbagai berita tentang manusia yang semakin jauh

dari hening hutan, melebur dalam banjir manusia urban.

tidak seperti para moyang yang dipuja bagai dewa

timur barat utara dan selatan. sorotan mata itu, nona, tidak seperti

sorotan berita di layar kaca handphone kita.

"Siapa yang mencoba jernih

dari kebisingan, dunia -- godaan?" bisik sutradara

yang pantang menyerah untuk memberi tantangan --

orang Overthinking. bagi jiwa-jiwa yang penuh minyak

suara itu adalah api yang mengurung iman.

dikala laut bisu di sini, burung sibuk dalam sarang

di atas pohon luka (akibat serakah bangsa manusia).

 burung itu nona, mencoba membikin sebuah ranjang untuk-Nya. 

sekaligus ranjang untuk menampung jiwa-jiwa tersesat---

sebuah usaha yang begitu akrab dengan ikhlas

untuk menjadi babu atas segala perintah-Nya.

hutan memberi kisahku lebih sendiri.

hubungan intens yang pernah ada, mati bersamamu.

sedang rupamu telah jadi lukisan tuli. malam-malam,

Tuhan kuminta untuk muncul jadi raja di tubuhku yang baru

agar kehidupan yang memberi cakap tentang kemacetan dan kecapean,

tentang amal yang dimaling dan uang yang mengontrol ruang

juga denyut pada kening, habis dimakan belatung;

agar kehidupan mencegah hasrat kembali muncul

dari segala angin yang membawa tanya

tentang apa itu orang beramal dan apa itu orang berdosa;

dikala banyak mulut janji menjaga segala ingin

dari setiap kepentingan manusia---pencitraan

seorang hamba yang mencoba menipu mata pemiliknya,

begitu kencang bertambah jumlah. seperti laju kendaraan

yang menerobos lampu merah. zaman ini, tuhan ikut bertambah juga.

tuhan-tuhan itu bukan lagi sang pencipta semesta

tapi diciptakan oleh ciptaannya. dan aku tak perlu tuhan itu

menjadi rajaku. yang kumau adalah Tuhan yang asli. agar hidupku

yang ke seks tidak lagi dihantui putusan meja sidang

dan hakim yang dihadirkan manusia

jika aku melakukan pelanggaran

atas banyak hukum yang mereka sucikan; agar aku tak lagi menunggu

kata menemukan jalan pulang untuk mengkudeta iblis dari takhtanya;

agar cinta direinkarnasi untuk sesuatu yang suci selain tubuh bugil---

punyamu yang dulu tabah menerima kecupku.

0_o

Makassar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun