Mohon tunggu...
Fahrur Rozi IB
Fahrur Rozi IB Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya hanya seorang pengembara kehidupan, mencoba mencari ilmu dan kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Rindu] Perempuan Dalam Kopiku

8 September 2016   23:05 Diperbarui: 10 September 2016   22:11 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Pribadi"][/caption][caption caption="Foto pribadi"][/caption]Sudah tiga jam aku menunggunya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin daritadi sembari kuhisap dalam-dalam rokok yang sudah dipenghujung batang. Ahh biasanya kau datang saat rokok baru aku nyalakan. Batinku. Apa kamu benar-benar akan meninggalkanku? Rasa gelisah berseliweran di tengah ramainya para pecinta kopi di warkop yang wifinya avaiable.

Suasana kedai sudah tak terlalu ramai. Kulirik jam dipojok atas di hp, sudah hampir jam 3. Pantas rasa ngantuk menyapa.

Kunyalakan lagi rokokku yang sudah tinggal dua batang, menghisapnya lebih dalam. Sengaja kuhembuskan sambil minum kopi sehingga asapnya seakan keluar dari cangkir kopi yang panas. Karena begitulah caraku memanggilnya. Memadukkan asap rokok dan kopi. Entah sudah yang keberapa kalinya aku lakukan, pokoknya berulang-ulang.

Aku senang bercampur ngantuk saat asap yang keluar dari cangkir kopi semakin banyak, lebih dari yang kuhembuskan. Berlipat-lipat. Kusambut dengan penuh kerinduan. Hanya kenapa asapnya tak mau berhenti hingga memenuhi ruangan, hingga sesak pernafasan. Biasanya hanya segumpal asap lalu membentuk tangan, kepala dan ahirnya membentuk tubuhnya semampai. Sudahlah yang penting dia datang.

“kukira kau sudah melupakanku” sambutku

“tanyakan saja pada dirimu. datang hanya sebentar, lalu lama menghilang”. Jawabnya datar sembari mengibas sisa asap yang menempel di tubuhnya.

“Bukankah kamu sudah tau bagaimana kesibukanku, kemarin aku...

Banyak kerjaan? Tugas kuliah numpuk? Selalu itu yang kamu katakan. Bosan!!” dia memotong penjelasanku.

“iya iya maaf, aku salah. Aku telat datang.” kilahku sambil seruput kopi. “gimana?” lanjutku.

“apanya?” timbalnya.

“dimaafkan kan?” kucoba membujuknya.

Ga ada jawaban. Beberapa lama dia buat suasana terdiam.

“kesepian ini membuatku putus asa, lebih baik aku mati saja” ahirnya dia mulai buka percakapan. Tapi bukan kata-kata itu yang ingin aku dengar.

“kamu yakin? Mati kok dipaksakan, toh nanti akan ada waktunya dia datang” kumatikan rokok

“kata-katamu selalu bijak, namun nyatanya kamu orang menyebalkan” jawabnya ketus

Mati kata aku sekarang. Dia bayangan, apa yang dikatakan tentang aku pasti benar. Masak iya aku segitunya.Gerutuku dalam hati.

“kenapa diam?” tanyanya menyadarkanku.

“gapapa, hanya bingung aja. Saat aku hendak menata masa depan, sehingga membuatku memiliki sedikit waktu luang. Apa itu suatu kesalahan?”

“tapi bukan berarti melupakanku, tak peduli dengan dengan kesepianku?” matanya mulai menghitam, pelangi di bola matanya memudar.

“udahlah, perdebatan hanya akan membuat suasana semakin runyam, padahal bukan itu yg aku harapkan. Apakah senyummu sudah hilang?”

Hanya ada keheningan di keramaian.

“Tumben kamu menemuiku dikeramaian? Biasanya hhanya sendirian diteras rumahmu. Aku jadi rindu suasana rumahmu yg tenang” pelangi dimatanya mulai berwarna lagi.

“Aku datang padamu karena rindu, bukan karena kesendirian. Ya meskipun aku ini menyebalkan”

Kulihat senyumnya semakin meenawan.

“kapan kita bisa hidup bersama? Aku bosan dengan kesendirian. Kesepian ternyata sangat menakutkan” Dia menatapku tajam.

“kita takkan pernah bersama, dunia kita tak bisa disatukan. Kamu hanya bayangan bukan?”

Yaudah kamu jadi bayangan juga, simple kan?”

“adakah sebelumnya yang bisa demikian?”

“ga ada, ya kita coba dulu”

“caranya?”

“kamu temui kematian, setelah itu kamu akan jadi bayangan”

“udahlah, aku punya kehidupan sendiri, bahkan nanti setelah kematian”

Kamu diam, akupun demikian. Suasana kembali bungkam. Hanya jarum jam yang tak bosan berputar. Sementara tatapanmu kosong tak dapat kuartikan.

“kenapa diam? Ada yang susatu yang pikirkan?” kucoba memecah keheningan.

Dia hanya menggeleng. “kamu masih ingat tentang kopi mematikan yang kita bicarakan beberapa hari yang lalu”

“Beberapa bulan tepatnya, sampai sekarangpun masih hangat dibicarakan di persidangan. iya aku ingat kenapa?”

“apa kamu tidak merasa aneh dengan asap yang begitu tebal? Baru pertama bukan?”

Gantian aku yg kebnigungan. Kuangakat bahu layaknya orang yang tak paham. “rokokku masih tersisa sebatang, ceritalah”

“ceritanya ga terlalu panjang, aku hanya mencoba meraciknya dalam kopimu, aku ingin bersamamu di keabadian. Udah gitu aja” kulihat tak ada keraguan di wajahnya

“maksudnya, kamu meracik kopi kematian di kopiku?” Aku tercengang.

“iya, kamu ga tau rasanya hidup sendirian. Tak ada yang lebih kuharapkan selain bersamamu. Aku tak punya pilihan” Dia mencoba menjelaskan.

Kepalaku semakin pusing, disekitar berubah menjadi bayang-bayang, berputar-putar yang ahirnya gelap.

Sampai ahirnya aku benar-benar berada pada puncak ketakutan saat kedengar samar derap langkah yang semakin menjauh. Meninggalkanku di antara gumpalan tanah yg berbaris rapi.

 

*****

Malang, 08092016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun