“kenapa diam? Ada yang susatu yang pikirkan?” kucoba memecah keheningan.
Dia hanya menggeleng. “kamu masih ingat tentang kopi mematikan yang kita bicarakan beberapa hari yang lalu”
“Beberapa bulan tepatnya, sampai sekarangpun masih hangat dibicarakan di persidangan. iya aku ingat kenapa?”
“apa kamu tidak merasa aneh dengan asap yang begitu tebal? Baru pertama bukan?”
Gantian aku yg kebnigungan. Kuangakat bahu layaknya orang yang tak paham. “rokokku masih tersisa sebatang, ceritalah”
“ceritanya ga terlalu panjang, aku hanya mencoba meraciknya dalam kopimu, aku ingin bersamamu di keabadian. Udah gitu aja” kulihat tak ada keraguan di wajahnya
“maksudnya, kamu meracik kopi kematian di kopiku?” Aku tercengang.
“iya, kamu ga tau rasanya hidup sendirian. Tak ada yang lebih kuharapkan selain bersamamu. Aku tak punya pilihan” Dia mencoba menjelaskan.
Kepalaku semakin pusing, disekitar berubah menjadi bayang-bayang, berputar-putar yang ahirnya gelap.
Sampai ahirnya aku benar-benar berada pada puncak ketakutan saat kedengar samar derap langkah yang semakin menjauh. Meninggalkanku di antara gumpalan tanah yg berbaris rapi.