Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jaga Jarak Aman!

25 Maret 2020   00:38 Diperbarui: 25 Maret 2020   00:39 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi fahrizal muhammad

Anda pernah membaca rambu itu di jalan raya? Apa yang terbayang? Apa yang Anda lakukan setelah membacanya? Dalam pemahaman umum, pemasang rambu ingin kita menjaga jarak antarkendaraan agar bila terjadi sesuatu tetap ada dalam radius aman.

Lalu, mengapa di ruang ini kita membahas rambu lalu lintas? Apa perlunya? Ternyata, rasa aman tidak hanya kita butuhkan di jalan raya, tetapi juga dalam sejumlah aspek kehidupan kita. 

Siapa yang sudah merasa aman? Siapa pula yang ragu kalau dirinya sudah aman? Atau Anda lebih memilih nyaman daripada aman? Mari kita diskusi.

Aman dalam Kenyamanan

Mana yang cenderung Anda pilih: aman atau nyaman? Apakah ada yang aman tetapi tidak nyaman? Atau sebaliknya? Kenyamanan seringkali memberikan ruang kreatif yang maksimal kepada mereka yang menyadarinya. Tetapi, kenyamanan tidak selalu identik dengan rasa aman. Lho? Apakah ada kenyamanan yang tidak aman? Ada.

Pertama, nyaman dalam kesubliman yang menipu. Kesubliman kita pada dunia adalah fitrah. Kemampuan untuk berjarak dengan dunia pun juga  fitrah. Mengapa? Karena kita adalah juga makhluk ruhani (QS.Shaad [38]: 71-72). 

Sebagai makhluk ruhani, kita berkemampuan untuk mengambil jarak itu. Kemauan dan kemampuan itu harus terus kita pupuk dan pelihara agar terhindar dari penyakit hubbuddunya. 

Rasulullah pernah mengatakan sesungguhnya di antara yang paling aku takutkan atas kalian sepeninggalku adalah ketika dibukakan atas kalian keindahan dunia dan perhiasannya. 

Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, wajar bila Ali bin Abi Thalib memperingatkan kita, "Kuasai dunia dan pimpinlah dia. Letakkan dia di tanganmu tapi jangan menyimpannya dihatimu!"

Berhentilah bertanya, karena gelombang masih setia pada laut. Mari nikmati sepi ini sampai titik paling senyap yang mampu tercipta. Nilai kemanusiaan kita tidak tersandera apa-apa. Dia makhluk Allah yang merdeka. Kalaulah dalam perjalanan ini kita harus kalah, kita kalah terhormat dalam iman.

Kedua,nyaman dalam persekutuan yang membutatulikan. Bermasyarakat dan berkumpul adalah fitrah kemanusian. Persekutuan yang diridhoi Allah adalah ketika kita bersama orang-orang yang benar (saleh) (QS. At Taubah [9]: 119). 

Yaitu, mereka yang beriman kepada Allah dan hari penghabisan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah yang munkar dan bersegera mengerjakan berbagai kebajikan(QS. Al-Imran [3]: 114).

Namun, tidak semua persahabatan dan perkumpulan membawa kita pada titik itu. Sangat mungkin, kita bertemu atau bahkan asyik masyuk pada persekutuan yang diam-diam atau bahkan terang-terangan mengajak kita pada kecenderungan selain Allah. 

Untuk yang satu ini, mari kita ambil jarak, siapa pun yang mengajak, karena Allah sudah menggariskan:...jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran karena sesungguhnya siksa Allah ama berat (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Seharusnya memang begitu, Sahabatku. Kita tidak harus satu gerbong meski tujuan kita sama. Bukankah pertemuan di stasiun tujuan akan lebih semarak bila kita saling bertukar cerita? Biarkan saja mentari yang memutuskan: di tubuh petang yang mana mesti kulukis kesaksian ini. utuh!  

Ketiga, nyaman dalam kemaksiatan yang menjerumuskan. Bila seorang mukmin berbuat satu dosa, maka hatinya ternoda hitam. Bila dia bertobat, hatinya akan kembali bersih. 

Namun, bila melakukan dosa lagi, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya (HR Tarmidzi). Kegelapan apa yang lebih pekat dari hati seorang pendosa? 

Itulah kegelapan yang sempurna. Celakanya, bila kesombongan senantiasa menghibur, bertambah lamalah ia dalam dunia tanpa cahaya. Nauzubillahi min zalik.

Jangan sampai kita harus pinjam artikulasi orang lain untuk menyuarakan kebenaran. Bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena kita merasa tidak pantas lagi mengucapkannya. 

Ayo, usahakan sekuat tenaga agar kepantasan itu tetap ada untuk kita. Yang tidak sempat terbicarakan adalah bagaimana caranya agar kita tidak terjebak di ruang kecil dan lupa kalau ada ruang besar yang lebih baik. 

Kita pasti sepakat, Allah tidak menciptakan kita untuk tawakal dengan cara-cara yang bodoh. Energi kita pasti masih cukup untuk improvisasi dan inovasi dalam berkarya!

Memperjuangkan Cinta

Kemauan untuk bangkit senantiasa diberikan ruang oleh Allah.Perjuangan menjadikan sebuah kenyamanan tetap dalam koridor aman akan dimudahkan. Sekarang, mari kita melangkah.

Pertama,ambillah jarak dan keluarlah. Mari kita hampiri dunia dalam jarak aman dan nyaman. Anda akan lebih utuh dan objektif memandang dunia (organisasi, perusahaan, masyarakat) Anda pada jarak tertentu. Sudut pandang itu memungkinkan kita untuk dapat memilih strategi terbaik. 

Yang sublim biasanya sulit untuk menilai. Kesubliman tidak selalu berbanding lurus dengan apresiasi dan rasa syukur. Rasa syukur yang benar adalah tindakan nyata, gerak perbaikan, dan karya inovatif. Mari syukuri kesubliman yang tetap memberi ruang kritis demi kreativitas.

Kesubliman ini memaksa kita untuk berhati-hati dalam berencana dan berbuat. Yang beruntung adalah mereka yang tak sedikit pun tergoda dengan yang fana. Catatan pasti tidak akan sempurna dan itu ruang kewajaran untuk semua. 

Pada proseslah kita berbiak sebaik mungkin untuk sebuah hasil yang bisa menyelamatkan kita dari kesia-siaan. Akhirnya, kita harus kembali bergegas dan cermat mengemasi perbekalan untuk keabadian. Semoga kita diberi kemampuan.

Kedua, belajarlah untuk berjarak. Larut pada banyak situasi dan relasi seringkali membuat kita tidak punya kesempatan untuk menggenapkan mimpi sendiri. Benarkah hidup kita hanya akan menjadi bagian dari perwujudan impian orang lain? Tentu tidak. 

Kita ingin menjadi aktor dalam semua kapasitas dan kapabilitas yang paling mungkin. Belajarlah berjarak dalam ketawadukan dengan tetap respek kepada semua orang yang bermakna dalam hidup kita. 

Bukankah cinta adalah ruang mahaluas untuk setiap pribadi menjadi yang terbaik di bidang dan tempat yang paling diminatinya? Kehormatan tidak terletak pada larut dalam kesetiaan yang menjemukan tanpa pilihan tetapi ruang dialog yang cerdas untuk tumbuh dalam semua kemungkinan fitrah kemanusiaan. 

Biarlah kita tumbuh dalam sikap kritis yang membangun untuk berkarya daripada tetap ada dalam kepengapan sikap seolah-olah dan cenderung hipokrit.

Belajarlah menukar harapan-harapan semu yang melibatkan makhluk dengan apa yang bisa kita maksimalkan dari peluang yang Allah hadirkan. Belajarlah memaknai sesederhana apa pun sesuatu yang lahir dari ketulusan daripada terus terbuai angin surga penuh intrik politik. 

Seseorang yang menjadikan dunia tetap berjarak dari kesucian misi hidupnya, akan memperoleh ruang kontemplasi dan kesadaran. Mereka yang larut dan lupa tujuan akan "kesinggahannya" itulah yang tertipu karena akan selamanya di dunia.

Ketiga, perjuangkan cinta untuk keberkahan. Relasi antarinsan dengan jarak aman dan nyaman akan memberikan ruang privasi yang cukup kepada setiap pribadi untuk berkembang dengan maksimal secara sosial dan psikis. 

Kemampuan kita untuk "keluar-masuk" pada jarak aman itulah yang justru akan memperkaya kita dengan kerinduan dalam kewajaran. Ya, jarak akan memberikan kita kesempatan merasakan kembali rasa itu: rindu. 

Rasa inilah yang kini tengah meruang dalam batin kita. Kita ingin bertemu banyak orang yang kita cintai, tetapi situasi punya hukumnya sendiri. Di panggung ini akhirnya aku bertemu Goffman dan Chomsky. 

Ketika luka harus tersembuhkan justru dengan kerinduan yang belum menemukan muaranya. Biarlah kini dzikir dan munajad meruang dalam segala kemungkinan. 

Semoga rasa ingin bertemu ini menjadi energi yang menghidupi penghujung malam kita. Kalau pun saatnya tiba, kita masih berkesempatan menitipkan cinta yang tak berubah ini kepada semesta: utuh!

Mari, kita perjuangkan jarak aman itu tidak hanya sebatas nyaman tapi juga untuk cinta. Dengan itulah kita belajar istiqomah dengan apa yang dulu kita komitmenkan dengan penuh kesadaran. 

Bukankah Anda juga ingin punya rasa rindu yang wajar dan manusiawi? Untuk itu, mari kita perjuangkan jarak aman, jarak nyaman, dan jarak cinta untuk keberkahan. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Depok, 25 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun