"Biasa buk, orderan lagi sepi. Jadinya tidak ada pemasukan. Hehehe", selain menikmati kopi dan gorengan, sebenarnya Ali juga ingin ngobrol dengan Buk Rum. Ali merindukan sosok Ibu yang bisa dijadikan tempat pulang ketika sedang sedih.
"Walah, gara-gara itu to. Yang sabar ya nak Ali, terkadang Ibu juga merasakan hal yang sedang nak Ali rasakan. Kadang ibu juga sedih ketika warung ibu sepi, tapi kalau sedang ramai terkadang malah tambah sedih"
"Lah kok malah sedih buk? Bukannya harusnya senang kalau warung ibuk ramai?", Ali keheranan.
"La iya nak, kan jadinya ibuk capek melayani para pembeli. Ibuk cuma sendirian, nggak ada pegawai. Tapi ya enaknya uangnya agak banyak hihihi", Buk Rum tertawa cekikikan.Â
"Hahaha... Kalau bagian yang akhir itu saya juga suka buk", Ali ikut tertawa. Salah satu hal yang mengembalikan mood Ali adalah ngobrol dengan Buk Rum. Selain sosoknya yang ke-ibu-an, Buk Rum juga sosok yang ramah dan baik. Bahkan kepada orang pernah berbuat buruk kepadanya.
"Ya udah nak Ali, ibuk mau ke dapur dulu. Kalau masalah rejeki, udah sampean yang penting berusaha dan berdoa aja. Barangkali akan ada rejeki nomplok yang akan nak Ali terima"
"Siap Ibuk", sambil hormat ala-ala hormatnya pasukan ke komandan.
Buk Rum hanya tersenyum kemudian pamit ke dapur untuk melanjutkan memasak. Ali kembali menyibukkan diri dengan menyeruput kopi yang sedari tadi dia diamkan. Tidak berselang lama ada seseorang yang menghampiri Ali.
"Halo Ali", sapa orang itu. Sosok itu adalah Pak Slamet, ketua takmir di mushola tempat tinggal Ali.
"Eh Pak Slamet, monggo pak mampir dulu", Ali bergeser beberapa senti untuk memberikan ruang Pak Slamet untuk duduk.
"Bolehlah, ini kamu lagi nraktir bapak kan?"