Al-Quran dan ilmu Nahu tidak bisa dipisahkan sebagaimana Al-Quran tidak bisa dipisahkan dengan bahasa arab. Karena teks Al-Quran menggunakan bahasa Arab, sebagaimana Allah SWT berfirman:
إنَّا جَعَلْنٰهُ قَرْأٰنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Sesungguhnya kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya (Al-Quran Surah Az-Zukhruf [43]: 3).
Di satu sisi, salah satu gramatika bahasa Arab adalah ilmu Nahu. Bahkan, An-Nuhāt (istilah bagi seorang ulama yang ahli di bidang ilmu Nahu) terkenal, Syekh Syarafuddīn Yahyā al-‘Imriṭiy dalam kitabnya “Naẓm Al-‘Imriṭiy” berpandangan bahwa ilmu Nahu harus dikedepankan untuk dipelaJarri:
وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلًا أَنْ يُعْلَمَا # إِذِ الْكَلَامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Ilmu Nahu lebih diutamakan (didahulukan) dipelaJarrinya. Karena Kalam (bahkan Al-Quran sekalipun) tanpanya (ilmu Nahu) tidak akan bisa dipahami.
Oleh karena itu, Al-Quran dan ilmu Nahu saling berhubungan dan tidak terpisahkan.
Walaupun keduanya (Al-Quran dan ilmu Nahu) muncul di zaman yang berbeda, ilmu Nahu memiliki peran penting dalam memahaminya. Berikut penulis akan memaparkan beberapa peran penting ilmu Nahu dalam memahami Al-Quran:
1. Membantu para Mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.
Ilmu Nahu sangat berperan penting bagi para Mufasir (penafsir Al-Quran) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seperti contoh dalam penafsiran ayat Al-Quran berikut:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (Al-Quran, Surah Aṣ-ṣaf [61]: 3).
Jika diartikan demikian, maka ayat ini akan dijadikan kecaman bagi orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi dia belum mengerjakannya. Akan tetapi, menurut Prof. Muhammad Quraisy Syihab, dalam bukunya “Logika Agama” penafsirannya tidak harus demikian.
Karena kata Taf’alun (pada ayat di atas) berbentuk Mudari’ (kata kerja masa kini dan akan datang) yang antara lain mengandung arti sesuatu yang akan dikerjakan, bukan sesuatu yang telah dikerjakan. Karena itu, ayat di atas dapat berarti kecaman terhadap orang yang mengajak berbuat baik, tetapi ia sendiri enggan melakukannya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ أَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? (Al-Quran, Surah Al-Baqarah [2]: 44).
Oleh karena itu jika penafsirannya demikian, maka orang yang belum mengerjakan apa yang ia katakan tetapi berniat untuk mengerjakannya suatu saat tidaklah termasuk kecaman ayat di atas. Karena itu kita juga sering mendengar khatib berkata:
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَإيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ
Wahai orang-orang yang hadir (di tempat ini)! Saya berwasiat takwa kepada kalian dan juga kepada diri saya sendiri.
Pada penafsiran di atas, disinggung kata Mudari’ atau lebih tepatnya Fiil Mudari’. Pembahasan Fiil Mudari’ merupakan bagian dari pembahasan-pembahasan ilmu Nahu dalam Bab Al-Af’āl (pembahasan tentang jenis-jenis kata kerja (Fiil) dan hukumnya).
Maka dari itu, secara tidak langsung ilmu Nahu berperan penting dalam memahami penafsiran ayat di atas.
2. Cara untuk memahami Sakal/harakat Al-Quran.
Ilmu Nahu juga berperan penting dalam memahami Sakal/harakat Al-Quran. Walaupun tidak diragukan lagi terdapat kata atau ayat Al-Quran yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu Nahu. Sebagai contoh ayat berikut ini:
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-Quran, Surah Al-Fatihah [1]: 1)
Kata Al-Hamdu dalam ilmu Nahu diberikan hukum Rafa’ karena posisinya sebagai Mubtada' (salah satu kedudukan/posisi kata yang harus di- Rafa’-kan). Ciri Rafa’-nya adalah Dammah karena bentuk katanya adalah Isim Mufrad (salah satu kata yang ciri Rafa’-nya Dammah). Oleh karena itu, harakat huruf terakhir kata Al-Hamdu berharakat Dammah.
Kata Lillahi (kata Allah yang dimasuki huruf Lam) dalam ilmu Nahu diberi hukum Khafad /Jarr. Karena kedudukannya sebagai Majrur (kata yang di-Jarr-kan) dari salah satu huruf Jarr, yaitu Lam. Ciri Jarr-nya adalah Kasrah karena bentuk katanya adalah Isim Mufrad (salah satu kata yang ciri Jarr-nya Kasrah). Oleh karena itu, harakat huruf terakhir kata Lillahi berharakat Kasrah.
Kata Rabi dalam ilmu Nahu diberi hukum Jarr, karena posisinya sebagai Badal (salah satu kedudukan/posisi kata yang harus di- Jarr-kan) dari kata Lillahi. Ciri Jarr-nya adalah Kasrah karena bentuk katanya adalah Isim Mufrad. Maka karena itulah harakat huruf terakhir kata Rabi berharakat Kasrah.
Kata Al-‘Alamin dalam ilmu Nahu diberi hukum Jarr, karena kedudukannya sebagai Muḍāf Ilaih (salah satu kedudukan/posisi kata yang harus di-Jarr-kan) dari Muḍāf-nya, yaitu kata Rabi. Ciri Jarr-nya adalah huruf Ya’ karena bentuk katanya adalah Jamak Muzakar Salim (salah satu bentuk kata yang ciri Jarr-nya adalah huruf Ya’). Oleh karena itu, kata Al-‘Alamin huruf akhirnya adalah huruf Ya’ dan Nun. Adapun huruf Nun di sini berfungsi menjadi pengganti tanwin pada bentuk Isim Mufrad- nya, yaitu ‘Alamun (عَالَمٌ).
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ilmu Nahu sangat berperan penting dalam memahami alasan bagaimana kata dalam teks Al-Quran bisa berharakat Dammah, Fatah, dan Kasrah.
3. Mengantisipasi kesalahan membaca Al-Quran.
Ilmu Nahu juga berperan penting dalam mengantisipasi kesalahan dalam membaca Al-Quran. Karena seseorang yang memahami dan mampu mengaplikasikan ilmu Nahu terlebih bila ia juga mengerti bahasa arab bisa mengetahui kedudukan suatu kata dalam Al-Quran. Ketika mengetahui kedudukannya, maka ia juga akan mengetahui bacaannya yang benar. Sebagai contoh ayat berikut ini:
وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٍ... إلخ
Dan apabila dikatakan: “berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat... (Al-Quran, Surah Al-Mujadalah [58]: 11).
Kata Yarfa’i dibaca Kasrah huruf akhirnya karena kedudukannya sebagai Jawab Amr dari Fiil Amr -nya, yaitu kata Fansyuzuu. Orang yang memahami ilmu Nahu tidak akan salah membacanya Yarfa’u atau Yarfa’a. Karena ia tahu bahwa posisinya sebagai Jawab Amr yang mana harus di- Jazm-kan. Ciri Jazm-nya adalah Sukun yang kemudian menjadi Kasrah karena bertemunya dua huruf Sukun (antara huruf ‘Ain dan Alif).
Kata Allahu dibaca Dammah huruf akhirnya karena kedudukannya sebagai Fail (Subjek) dari kata Yarfa’i. Orang yang memahami ilmu Nahu tidak akan salah membacanya Allaha atau Allahi. Karena ia tahu bahwa kedudukannya sebagai Fail yang mana harus di- Rafa’-kan. Dan Ciri Rafa’-nya adalah Dammah.
Kata Al-‘Ilma dibaca Fatah huruf akhirnya karena kedudukannya menjadi Maf’ūl Bīh (Objek) dari kata Ūtū (أُوْتُوْا). Orang yang memahami ilmu Nahu tidak akan salah membacanya Al-‘Ilmu atau Al-‘Ilmi. Karena ia tahu bahwa kedudukannya menjadi Maf’ūl Bīh yang mana harus di- Nasab-kan, dan ciri Nasab -nya adalah Fatah.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ilmu Nahu sangat berperan penting dalam memahami teks Al-Quran sehingga terhindar dari kesalahan dalam membacanya.
Selain ketiga poin di atas, masih banyak lagi peran penting ilmu Nahu dalam memahami Al-Quran yang tidak penulis cantumkan, karena keterbatasan waktu dan pemahaman penulis. Akan tetapi, ketiga poin ini setidaknya telah memberikan gambaran bahwa ilmu Nahu begitu penting dalam memahami Al-Quran. Wallahu A’lam Biṣṣawwab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H