Ancaman terhadap kedaulatan, atau minimal hak berdaulat Indonesia, terbukti saat kapal-kapal nelayan China mencari ikan di perairan Natuna, dan dilindungi oleh kapal-kapal Penjaga Pantai China. Pada Mei 2016 misalnya, KRI-354 Oswald Siahaan menembak di kanan dan kiri haluan kapal pencari ikan China Gui Bei Yu dan menangkapnya karena terbukti mencuri ikan di ZEE Indonesia.
Bahkan, 18 Juni 2016 KRI-383 Imam Bonjol menghadapi selusin kapal penangkap ikan China yang didukung oleh kapal pengawas China. Salah satu kapal nelayan China, Han Tan Cou, dapat ditangkap, namun berkali-kali kapal pengawas China memaksa dan mengganggu KRI Imam Bonjol agar melepaskannya. Perkembangan situasi saat itu bahkan kemudian mendorong Presiden Indonesia Joko Widodo menggelar rapat di KRI Imam Bonjol di perairan Natuna pada 23 Juni 2016 bersama para menteri, termasuk Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AL.
 Kedua, sengketa dan konflik di LCS tidak hanya melibatkan negara-negara pengklaim wilayah, atau negara yang wilayahnya beririsan dengan LCS, seperti Indonesia, tapi juga negara-negara besar, terutama AS. Kehadiran AS dalam persoalan LCS juga melibatkan negara-negara sekutunya Inggris dan Australia melalui forum AUKUS (Australia, Inggris, dan Amerika Serikat).
Secara resmi dan eksplisit, kerja sama keamanan trilateral AUKUS yang berdiri 15 September 2021 itu tidak ditujukan untuk menghadapi China. Bahkan, "korban" pertama AUKUS adalah Perancis karena Australia membatalkan pengadaan kapal selam buatan Perancis, dan menggantinya dengan kapal selam bertenaga nuklir dengan dukungan AS dan Inggris.
Namun, sesudah AUKUS berdiri, interaksi pertentangan antara AS dan sekutunya dengan China semakin banyak, baik di LCS maupun kawasan lain di Indo-Pasifik, seperti kawasan Pasifik Selatan. Selain itu, melalui Pilar 2 AUKUS, ketiga negara bekerja sama untuk menghadapi kebangkitan teknologi China, antara lain pada kapabilitas siber, kecerdasan artifisial, teknologi kuantum, dan kapabilitas bawah laut.Â
Pola kemitraan keamanan trilateral AUKUS diulangi lagi dengan kemitraan AS, Jepang, dan Filipina, yang dideklarasikan 12 April 2024. Sesudah pertemuan tiga kepala negara AS, Jepang, dan Filipina muncul pernyataan visi bersama bahwa ketiga negara menyatakan antara lain, menentang keras penggunaan kapal penjaga pantai dan milisi maritim China secara berbahaya dan koersif di LCS, sebagaimana usaha-usaha menghalangi negara-negara lain untuk mengeksploitasi sumber daya di sana. AS dan Jepang juga membantu Penjaga Pantai Filipina dengan 12 kapal penjaga pantai dan lima kapal tambahan lainnya. Penjaga Pantai ketiga negara juga akan berpatroli dan latihan bersama tahun ini. Ketiganya juga akan membentuk Kemitraan Indo-Pasifik untuk Kesadaran Wilayah Maritim (Indo-Pacific Partnership for Maritime Domain Awareness/ IPMDA). Sejauhmana kesepakatan trilateral tersebut mendorong sengketa dan konflik di kawasan LCS, atau justru dapat meredakannya, akan tergantung aksi dan reaksi masing-masing pihak, termasuk Indonesia.
Melihat status Australia, Jepang, dan Filipina sebagai sekutu utama AS yang bukan Anggota NATO (US Major Non-NATO Allies/ MNNA), dan ketiganya dilibatkan dalam dua kerja sama keamanan trilateral, sangat mungkin AS akan memperluas kerja sama tersebut dengan negara-negara MNNA yang berada di kawasan Asia Tenggara, atau bahkan Indo-Pasifik. Merujuk pada data Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan AS (Defense Security Cooperation Agency/ DSCA), saat ini ada 18 negara yang tergolong MNNA, tidak termasuk Taiwan yang tidak disebut secara formal sebagai MNNA (Data selengkapnya pada https://samm.dsca.mil/glossary/major-non-nato-allies). Negara-negara yang berada di Asia Tenggara dan/ atau Indo-Pasifik adalah Selandia Baru (New Zealand), Pakistan, Korea Selatan, dan Thailand. Tampaknya, Korea Selatan dan Thailand menjadi calon sekutu AS yang akan dilibatkan lebih dalam pada forum-forum serupa, baik karena kapasitas teknologi (Korea Selatan) maupun letak geografisnya (Thailand).
Sebenarnya, Inggris lebih dulu membangun forum kerja sama pertahanan bernama Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama empat negara Persemakmuran, yaitu Australia, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru. Secara umum kelima negara sepakat akan berkonsultasi bersama jika ada ancaman bersenjata terhadap anggota FPDA. Meski tidak eksplisit menyebut FPDA sebagai aliansi pertahanan seperti NATO, tapi secara rutin FPDA menggelar latihan militer dan mempunyai markas besar di Pangkalan Udara di Butterworth, Malaysia, dan Pangkalan Udara di Sembawang, Singapura.
Pada sisi lain, China juga menjalin kemitraan keamanan dengan Kamboja. Negara anggota ASEAN itu mendapat bantuan China, baik untuk infrastruktur sipil, seperti bandara baru Siem Reap, maupun fasilitas militer, seperti modernisasi pangkalan laut di Ream. Awal Desember 2023 dua kapal korvet China mengunjungi pangkalan ini untuk pertama kalinya (CNN, 6 Desember 2023). Meskipun sempat ada tuduhan bahwa Pangkalan Ream akan menjadi pangkalan China, tapi konstitusi Kamboja melarang wilayahnya dijadikan pangkalan militer asing.
Ironisnya, justru di Filipina militer asing ditempatkan secara berkala. Rilis Departemen Pertahanan AS 3 April 2023 menyatakan ada sembilan lokasi atau bertambah empat lokasi penempatan tentara AS dan Filipina melalui skema Enhanced Defense Cooperation Arrangement (EDCA).[1] Rilis Kedubes AS di Filipina menyatakan, EDCA memungkinkan kedua militer untuk berlatih bersama, merespon bencana alam dan krisis kemanusiaan, serta modernisasi militer[2]. Dari kedua rilis diperoleh data bahwa kesembilan lokasi EDCA adalah Pangkalan Magsaysay, Nueva Ecija; Pangkalan Udara Basa, Pampanga; Pangkalan Udara Antonio Bautista, Palawan; Pangkalan Udara Mactan-Benito Abuen, Cebu; Pangkalan Udara Lumbia, Cagayan de Oro. Lalu, empat lokasi EDCA yang baru adalah Pangkalan Laut Camilo Osias, Santa Ana, Cagayan; Kamp Melchor Dela Cruz, Gamu, Isabela; Pulau Balabac, Palawan; dan Bandara Lal-lo, Cagayan. Â Â
Â