Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal
Abd Ghoni Fahmi
Abstrak
Kata islam tidak mempunyai hubungan dengan orang, golongan atau negeri tertentu. Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah SWT. Penjelasan tentang konsep islam nusantara ditinjau dari struktur teori islam dan budaya lokal serta alasannya dijadikan sebagai konsep dakwah islam rahmatan lil 'alamin  oleh intelektual NU. Berawal dari intelektual NU menyatakan bahwa konsep ini adalah penengah dalam perdebatan relasi islam dan budaya lokal, bahkan dalam skala global ingin didakwahkan di dunia internasional. Sedangkan Islam Nusantara (IN) hanya sebatas wacana yang belum memenuhi standart keilmuan. Dengan adanya pendekatan filosofis, sosio-antropolinguistik berbarsis data situs nu.or.id, dan analisis wacana ditemukan, bahwa dalam konsep Islam Nusantara (IN) menggunakan delapan pendekatan, yang memposisikan Islam mempengaruhi budaya indonesia dan keberhasilannya dalam berdialog dengan budaya indonesia.Â
Kata kunci:Â islam, nusantara, budaya, indonesia, nilai.
Pendahuluan
Islam adalah suatu agama yang bersifat komprehensif yakni rahmatan lil 'alamin. Menurut Nata Abuddin, dasar pengkajian Islam secara komprehensif, sebenarnya dapat ditelusuri melalui makna dan misi Islam itu sendiri. Di mana Islam walaupun dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, namun tidak disebut Muhammadanisme, seperti agama Zoroaster yang disandarkan kepada nama pendirinya yaitu Zoroaster (w. 583 SM). yang mana islam memiliki makna bahwa  visi, misi serta ajaran agama islam tidak hanya ditunjukkan pada satu tujuan atau satu kelompok atau satu negara saja, melainkan seluruh umat manusia, bahkan seluruh alam yakni jagat raya. Akan tetapi, pemaknaan kata universalitas islam dalam kalangan umat islam dalam kalangan umat muslim sendiri tidak beragam[1]. Kajian tentang universalitas ajaran islam sendiri cukup signifikan, melihat fakta bahwa banyak orang memahami islam dengan cara parsial, dan tidak holistik[2]. Ada kelompok yang mendefinisikan bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad yang nota-bene berbudaya Arab adalah final, sehingga harus diikuti sebagaimana adanya. Ada pula kelompok yang memaknai universalitas ajaran Islam sebagai yang tidak terbatas pada waktu dan tempat, sehingga bisa masuk ke budaya apapun.
Â
Kelompok pertama berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada didunia menjadi satu, sebagaimana yang di praktekkan Nabi Muhammad SAW. Budaya yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Kelompok ini disebut kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara disisi lain kelompok kedua menginginkan Islam dihadirkan sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu. Kelompok ini disebut kelompok substantif. Ada satu lagi kelompok yang menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari sisi Islam yang bersifat substantif, dan ada pula yang literal.
Â
Kehadiran wacana Islam Nusantara (IN) tidak terlepas dari pertarungan tiga kelompok di atas. Islam Nusantara (IN) ingin memosisikan diri pada kelompok ketiga. Islam Nusantara (IN) muncul akibat "kegagalan" kelompok pertama yang menghadirkan wajah Islam tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada budaya lain, bahkan menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Begitu juga kelompok kedua yang dianggap mendistorsi ajaran Islam.