Mohon tunggu...
Noor Fahima Rahmawati
Noor Fahima Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa

Banyak jalan yang bisa ditempuh, cukup berusaha dan berdoa kunci utamanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secangkir Hikmah, Nikmatnya Kopi

28 November 2024   17:20 Diperbarui: 30 November 2024   15:16 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kopi dan kitab kuning (Sumber: pinterest.com/adawa_salafia)

Di sebuah pesantren tua yang terletak di pinggir desa, terdapat sebuah ruangan kecil di pojok sana, tempat seorang santri bernama Ali yang sering menghabiskan waktu pagi. Di balik jendela kayu yang sedikit berdebu, sinar matahari pagi menembus perlahan, menyinari meja kayu yang sederhana. Di atas meja itu, terletak secangkir kopi hitam yang masih mengepul, aroma harum biji kopi yang baru digiling meresap ke dalam ruangan, bersama sebuah kitab kuning yang terbuka, penuh tulisan-tulisan Arab yang sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Ali menyeka keringat di dahinya, lalu menyesap kopi itu perlahan, merasakan kehangatannya yang menyentuh tenggorokan. Aroma kopi yang pekat menambah ketenangan hatinya, seolah-olah setiap tegukan memberi ruang untuk pikirannya yang sedang sibuk merenung.

Di hadapannya, kitab kuning yang terbuka adalah karya-karya klasik para ulama terdahulu. Kata demi kata yang tertera dalam kitab itu bukan hanya sekadar pelajaran, melainkan sebuah panduan hidup yang terus digali oleh setiap santri. Ali membaca dengan penuh perhatian, sesekali matanya melirik cangkir kopi di sampingnya, seolah mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru. Setiap hari, ia datang ke ruangan ini untuk menelaah dan mendalami isi kitab kuning itu, sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi teman setianya.

Sesekali, ia berhenti sejenak dari membaca, mengambil tegukan kopi, dan mengingat apa yang baru saja dibaca. "Al-Qawa'id fi al-Fiqh," pikirnya, mengenang pelajaran tentang kaidah-kaidah dalam fiqh yang baru saja ia telaah. Di dunia pesantren, setiap kitab kuning mengajarkan tentang kehidupan, tentang kebijaksanaan, dan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Buku-buku ini bukan hanya berisi tulisan, tapi juga petunjuk hidup yang harus dihayati, bukan sekadar dipahami.

Kopi hitam itu, meskipun sederhana, baginya seperti penyeimbang antara ilmu dan kesabaran. Sambil menikmati kopi, ia merasa bisa lebih tenang dalam merenung, lebih sabar dalam memahami setiap kata yang ada di dalam kitab itu. Tak jarang, ia merasa seperti mendapat inspirasi baru setiap kali ia meneguk kopi dan melanjutkan bacaan.

Tak lama kemudian Faris, sahabat sekaligus sepupu dari Ali datang membawa dua nasi uduk yang dibungkus dengan daun pisang, memberikan aroma khas yang harum dan cita rasa yang berbeda.

“Ini kang dimakan nasi uduknya.” Kata Faris memberikan sebungkus nasi uduk.

“Terima kasih. Tapi saya tidak makan Ris, kopi ini sudah cukup sebagai sarapan pagi setiap hari.” Jawab Ali sambil meneguk kopi.

“Sarapan kok kopi, sarapan yah nasi. Kasian perutmu kang nanti terkena asam lambung.” Sahut Faris.

“Jangan khawatir, lambung saya masih kuat. Saya sering meminum kopi karena saya percaya bahwa mengonsumsi kopi merupakan salah satu anjuran Rasulullah." Tuturnya.

“Kata siapa kamu kang, jangan asal bicara. Setahu saya selama saya mengaji kitab Shohih Bukhari Muslim tidak ada hadits tentang itu.” Faris heran dengan apa yang dikatakan oleh Ali.

Sambil menyesap kopi, Ali merenung dalam. Benarkah hadits itu sahih? Atau mungkin ada pemahaman lain yang terlewatkan? Ia teringat dawuh-dawuh kyainya yang selalu menekankan pentingnya mencari ilmu dari berbagai sumber. Namun, tradisi dan kebiasaan sudah begitu melekat dalam dirinya.

“Masa sih kamu enggak tahu, ada hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang kopi kurang lebih bunyinya seperti ini : “Selama bau biji kopi ini masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untuknya."   Jelas Ali.

“Hati-hati kang bisa berdosa karena salah pemahaman. Jadi hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits dhaif atau lemah. Karena hadits itu tidak ditemukan dalam kitab hadits utama seperti kitab Shahih Bukhari Mulim dan sanadnya yang lemah serta matan yang tidak lazim. Maka dari itu hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dasar hukum islam.” Ujar Faris pada Ali.

“Tetapi tidak ada salahnya kan kita mengonsumsinya. Kopi juga termasuk minuman halal dan lagipula tidak ada dalil yang melarangnya.” Tutur Ali sembari meneguk kopi yang sudah setengah kosong.

“Memang tidak masalah, akan tetapi cara kamu mengonsumsi kopi tadi kurang tepat. Sebaiknya jangan meminum kopi di pagi hari sebelum makan. Mengonsumsi kopi itu mubah tidak ada dalil Al-Qur’an yang melarang selama tidak mengandung zat-zat yang berbahaya dan membahayakan kesehatan. Namun hadits tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menghukumi kehalalan atau keharaman kopi.” Sahut Faris.

"Aku paham, Ris," jawab Ali sambil tersenyum kecil. "Tapi bagiku, kopi ini lebih dari sekadar minuman. Ini adalah teman setia yang menemani perjalanan spiritualku. Setiap teguk kopi adalah seperti membuka lembaran baru dalam kitab kehidupan."

Faris terdiam, merenungkan kata-kata sahabatnya. "Aku mengerti, Kang. Tapi ingat, ilmu itu luas dan terus berkembang. Jangan sampai kita terpaku pada satu pandangan saja."

Ali mengangguk. "Tentu saja. Aku akan selalu terbuka pada pandangan yang berbeda. Namun, untuk saat ini, biarkan aku menikmati secangkir kopi ini sebagai simbol dari perjalanan panjangku dalam mencari kebenaran."

Dalam hening sejenak, Faris berbicara "Begini kang, kita sebagai santri harus selalu haus akan ilmu. Tapi haus akan ilmu itu harus dibarengi dengan haus akan kebenaran. Jangan sampai kita terjebak dalam hadits-hadits dhaif yang bisa menyesatkan kita."

Ali terlihat berpikir "Iya, kamu benar, Ris. Terkadang kita terlalu mudah percaya dengan informasi yang kita dapatkan, apalagi kalau itu sesuai dengan apa yang kita inginkan."

"Betul sekali. Sebagai seorang muslim, kita punya kewajiban untuk meneliti kebenaran suatu hadits. Jangan hanya karena kita suka dengan isi hadits, lalu kita langsung mempercayainya. Kita harus cek dulu sanadnya, matannya, dan konteksnya." Jawab Faris.

"Bagaimana cara kita memastikan sebuah hadits itu shahih, Ris?" Tanya Ali.

"Ada beberapa cara, Kang. Kita bisa bertanya kepada para kyai yang ahli hadits, atau kita bisa mencari referensi di kitab-kitab hadits yang shahih seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kita juga bisa memanfaatkan teknologi, banyak aplikasi atau website yang bisa membantu kita untuk memeriksa keaslian sebuah hadits." Terang Faris pada Ali.

"Wah, ternyata banyak juga ya yang harus kita perhatikan. Berarti aku harus lebih teliti lagi dalam mencari ilmu." Kata Ali antusias.

"Tentu saja, Kang. Ingat, ilmu itu ibarat harta karun. Kita harus mencarinya dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati. Jangan sampai kita salah jalan karena tergiur oleh harta karun palsu." Nasehat Faris.

“Iya benar juga katamu. Tapi ini sudah menjadi kebiasaanku atau mungkin tradisi, karena kopi bagaikan kekasih yang setia menemaniku bersama dengan kitab kuning ini, jadi sulit untuk mengubahnya dan untungnya lambungku tidak bermasalah.” Papar Ali memeluk kitab kesayangannya.

"Kang, saya masih kurang setuju dengan pandanganmu tentang kopi sebagai tradisi yang sulit diubah. Kita sebagai muslim harus terbuka pada perubahan dan selalu berpegang pada dalil yang shahih." Sahut Faris

"Aku mengerti, Ris. Tapi tradisi itu kan terbentuk dari kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Memang benar kita harus selalu mencari dalil yang shahih, tapi tradisi itu juga bagian dari warisan yang perlu kita jaga." Jawab Ali menyangkal penututuran Faris.

"Aku setuju bahwa tradisi itu penting, tapi kita harus bisa memilah mana tradisi yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam, dan mana yang hanya kebiasaan belaka. Minum kopi di pagi hari sebelum makan, menurutku, lebih kepada kebiasaan daripada tradisi yang bernilai." Tutur Faris.

"Tapi, Ris, di pesantren ini banyak kyai yang juga memiliki kebiasaan minum kopi di pagi hari. Mereka adalah orang-orang yang sangat alim dan paham agama. Apakah kita bisa mengatakan bahwa kebiasaan mereka itu salah?" Tanya Ali keheranan.

"Tentu saja tidak, Kang. Mungkin mereka memiliki alasan tersendiri atau mungkin mereka belum mengetahui hadits yang shahih tentang hal ini. Tapi itu tidak berarti kita harus ikut-ikutan. Kita harus mencari tahu sendiri dan mengambil kesimpulan berdasarkan dalil yang shahih." Jawab Faris meyakinkan.

Ali Terdiam sejenak, kemudian melanjutkan "Baiklah, aku akan coba untuk lebih terbuka dan mencari tahu lebih banyak tentang hal ini. Mungkin kamu benar, aku terlalu terpaku pada tradisi." Sahut Ali.

"Itulah semangat belajar yang seharusnya kita miliki, Kang. Selalu haus akan ilmu dan terbuka pada kebenaran. Jangan takut untuk mengubah kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam." Kata Faris bersemangat.

“Mulai sekarang, aku akan mencoba mengubah kebiasaaan minum kopi di pagi hari.” Papar Ali tersenyum kearah Faris.

Sudut bibir Faris ikut terangkat, membalas senyuman Ali " Dulu, aku pernah punya teman yang mengalami sakit maag parah karena terlalu sering minum kopi. Sejak saat itu, aku jadi lebih memperhatikan soal kesehatan, karena kesehatan termasuk nikmat yang sangat besar. Maka dari itu aku tidak ingin kamu mengalami hal yang sama, Kang."

“Iya Ris terima kasih atas perhatiannya. Yah meskipun aku sekarang terlihat baik-baik saja kita tidak akan tahu takdir Allah itu seperti apa.” Sahut Ali menghela nafas menatap Faris.

"Sama-sama, Kang. Kita harus bijak dalam mengonsumsi segala sesuatu, termasuk makanan dan minuman. Kesehatan itu kan anugerah yang harus kita jaga." Faris mengangguk kecil diiringi senyuman yang merekah.

Setelah perdebatan panjang melalui pertukaran pikiran yang intens tentang pemahaman yang lebih mendalam antara hadits dan tradisi. Ali akhirnya memutuskan untuk mengurangi kebiasaan minum kopi di pagi hari. Ia menyadari bahwa kesehatan adalah kenikmatan yang tak ternilai dan harus dijaga. Namun, ia tetap akan menikmati secangkir kopi sesekali, sebagai pengingat akan perjalanan spiritualnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun