Di sebuah pesantren tua yang terletak di pinggir desa, terdapat sebuah ruangan kecil di pojok sana, tempat seorang santri bernama Ali yang sering menghabiskan waktu pagi. Di balik jendela kayu yang sedikit berdebu, sinar matahari pagi menembus perlahan, menyinari meja kayu yang sederhana. Di atas meja itu, terletak secangkir kopi hitam yang masih mengepul, aroma harum biji kopi yang baru digiling meresap ke dalam ruangan, bersama sebuah kitab kuning yang terbuka, penuh tulisan-tulisan Arab yang sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Ali menyeka keringat di dahinya, lalu menyesap kopi itu perlahan, merasakan kehangatannya yang menyentuh tenggorokan. Aroma kopi yang pekat menambah ketenangan hatinya, seolah-olah setiap tegukan memberi ruang untuk pikirannya yang sedang sibuk merenung.
Di hadapannya, kitab kuning yang terbuka adalah karya-karya klasik para ulama terdahulu. Kata demi kata yang tertera dalam kitab itu bukan hanya sekadar pelajaran, melainkan sebuah panduan hidup yang terus digali oleh setiap santri. Ali membaca dengan penuh perhatian, sesekali matanya melirik cangkir kopi di sampingnya, seolah mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru. Setiap hari, ia datang ke ruangan ini untuk menelaah dan mendalami isi kitab kuning itu, sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi teman setianya.
Sesekali, ia berhenti sejenak dari membaca, mengambil tegukan kopi, dan mengingat apa yang baru saja dibaca. "Al-Qawa'id fi al-Fiqh," pikirnya, mengenang pelajaran tentang kaidah-kaidah dalam fiqh yang baru saja ia telaah. Di dunia pesantren, setiap kitab kuning mengajarkan tentang kehidupan, tentang kebijaksanaan, dan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Buku-buku ini bukan hanya berisi tulisan, tapi juga petunjuk hidup yang harus dihayati, bukan sekadar dipahami.
Kopi hitam itu, meskipun sederhana, baginya seperti penyeimbang antara ilmu dan kesabaran. Sambil menikmati kopi, ia merasa bisa lebih tenang dalam merenung, lebih sabar dalam memahami setiap kata yang ada di dalam kitab itu. Tak jarang, ia merasa seperti mendapat inspirasi baru setiap kali ia meneguk kopi dan melanjutkan bacaan.
Tak lama kemudian Faris, sahabat sekaligus sepupu dari Ali datang membawa dua nasi uduk yang dibungkus dengan daun pisang, memberikan aroma khas yang harum dan cita rasa yang berbeda.
“Ini kang dimakan nasi uduknya.” Kata Faris memberikan sebungkus nasi uduk.
“Terima kasih. Tapi saya tidak makan Ris, kopi ini sudah cukup sebagai sarapan pagi setiap hari.” Jawab Ali sambil meneguk kopi.
“Sarapan kok kopi, sarapan yah nasi. Kasian perutmu kang nanti terkena asam lambung.” Sahut Faris.
“Jangan khawatir, lambung saya masih kuat. Saya sering meminum kopi karena saya percaya bahwa mengonsumsi kopi merupakan salah satu anjuran Rasulullah." Tuturnya.