Kurangkul dirinya, jantungku berdebar-berdebar, dan dengan berat hati kukatakan, "Ya, aku mengerti, sayang." Sejenak, aku menghela nafas, menyeka air matanya, kukecup keningnya dan berkata, "Tapi, maukah kamu menemaniku melihat matahari terbit? Kalau ada surga untuk kita, mungkin itulah saatnya."
Toni tentu menguping percakapan kami, tetapi sebagai teman yang baik dia langsung mencarikan senter, jaket, dan beberapa botol minuman untuk kami berdua. Katanya, "Doakan supaya aku dapat mimpi indah." Langkahku terasa berat ditambah dadaku terasa sesak. Tidak pernah terpikir olehku bahwa akan tiba perpisahan yang mengalahkan dinginnya udara malam ini.
Kisah kebersamaan kami ditutup kabut dan semak-semak teh yang masih berembun. Ketebalan kabut di sini tak tertembus oleh sinar senterku. Kami mengembara di alam kabut sampai pukul lima lebih seperempat, saung yang kami cari berada tepat di puncak bukit. Maya masih bersamaku hingga kabut menipis, dan sang surya pun mengintip dari balik awan yang menelan puncak pegunungan. Saat sinar matahari melukiskan cakrawala dalam rona kemerahan dan memberi sepuhan perak pada dedaunan yang berembun, Maya yang membaringkan tubuhnya dalam pelukanku semakin memudar seperti halnya kabut.
***
Apa yang terjadi padaku? Apakah aku berada di alam mimpi? Sayangnya tidak, aku adalah manusia terakhir yang tidak beruntung karena lolos dari cengkraman fatalisme yang sejak awal menuntut untuk dipatuhi. Sekarang setelah pintu ampunan itu tertutup, hukuman untuk si belut ini adalah kematian yang perlahan-lahan. Aku ingat sempat tertidur setelah matahari terbit, namun tiba-tiba terbangun ketika mendengar kembali bunyi-bunyi aneh seperti waktu pertama kali melihat patung itu dan bercampur dengan mantra-mantra si Gila. Kala terbangun, dadaku bersentuhan dengan kuda-kuda saung yang genting-gentingnya melayang di udara.
Bagian mengerikannya bukan karena bumi telah menjadi potongan puzzle yang menyebar ke mana-mana, mayat busuk yang menghantui dari udara, atau jurang tanpa dasar di hadapanku, tetapi lantaran jauh di belakangku, seisi samudra telah menjadi pilar-pilar yang menyentuh langit. Sebagaimana tsunami, tinggal menunggu waktu saja sampai melahap bukit ini. Semakin dekat dengan pilar samudera itu, malam tiba lagi di sepetak kebun teh ini. Aku mengambil ancang-ancang dan segera melompat. Melesat bagai peluru. Tak ada angin yang dapat menghentikan lajuku. Dan barangkali dalam beberapa menit aku sudah tiba di Australia.
Kuharap aku akan menumbuk tembok dan mati tanpa rasa sakit. Sayang sekali, malah balon kubus di sebuah supermarket yang kutumbuk. Dari situ aku sempat terlontar sampai punggungku menghantam sebuah papan baliho. Sempat terpikir kalau akhirnya aku mati juga, lagi-lagi aku tidak seberuntung itu, hanya pingsan setelah momentum tumbukan tadi mematahkan tulang belakangku.
Selama aku pingsan, dengan sendirinya tubuhku tiba di dalam sebuah gedung yang melayang-layang di atas balai kota. Kepalaku benjol dan pusing, sedang rasa perih membalut sebagian tubuhku. Dengan kekuatan yang tersisa, aku segera berenang keluar lewat jendela. Dari sini, aku bergelantungan di kusen jendela ini bukan untuk bertahan, melainkan aku mencoba mendorong diriku ke bawah setelah kakiku mati rasa, tak sedikit pun bisa digerakan. Begitu kulontarkan diriku, gedung itu terangkat menjauh, sementara aku meluncur menuju dahan-dahan pohon. Berguling-guling menerabas dedaunan, ranting yang menusuk, dan dahan, hingga akhirnya tubuhku menyentuh permukaan beton.
Walau aku gagal membunuh diriku, setidaknya kutemukan tempat yang pantas untuk tidur. Di hadapanku, patung itu tidak lagi tampak sepinggang, tetapi lengkap dengan kakinya yang seperti dililiti akar pohon. Aku berusaha naik ke pangkuannya, membiarkan diriku membeku di tangannya yang sudah sedingin es selagi melewati negeri awan. Dari sini, kulihat artefak-artefak umat manusia yang berterbangan menuju kehampaan tanpa batas. Akhirnya, aku tertidur setelah melewati langit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H