Setibanya di dalam, ceramah sudah dimulai, sang khatib mengingatkan jemaatnya bahwa semua yang terjadi hari ini adalah perbuatan setan. Khotbah ini terasa panjang, demikian juga dengan tangisan orang-orang. Sampai akhirnya, terhenti oleh kepanikan yang tiba-tiba. Aku melihat sendiri bagaimana orang-orang itu menghilang!
Mula-mula kau merasakan kantuk yang memberat, dan entah mengapa kau merasa seperti melayang keluar dari tubuhmu, seketika sesuatu seperti mencengkrammu, menarikmu ke kedalaman goa di mana udaranya terasa menyesakan dan tak ada hal lain yang bisa kau dengar atau kau rasakan selain serangga-serangga yang tak terhitung jumlahnya, dan tengah melata di sekelilingmu. Teror yang kualami cukup membuatku terjaga, tapi mereka yang menyerahkan dirinya pada kunyahan serangga dalam kegelapan itu tidak cukup beruntung -- entah apa lagi yang menanti dalam mimpi mereka kemudian. Kulihat beberapa orang tua dan anak-anak yang mengantuk di depanku tiba-tiba saja memudar, semakin transparan, dan dalam sekejap mata tinggal debu-debu yang berkilauan.
Para jemaah membubarkan diri sebagai luapan histeria massal. Hujan yang turun bagi turut menangisi kemanusiaan yang tengah sekarat. Bagi mereka yang masih beriman, akan mengira semua ini mungkin bagian dari rencana-Nya dan menjadi momen yang tepat untuk bertobat, lalu dengan semangat jihad mereka datangi patung itu dengan membawa serta kapak atau perkakas yang ada. Mereka memperagakan kembali aksi Nabi Ibrahim muda yang membantai berhala-berhala.Â
Sayangnya, kali ini bukan berhala yang terbantai. Di depan balai kota, mayat-mayat yang tercabik-cabik menemani bangkai burung-burung yang tak disisihkan sejak pagi hari. Darah segar para syuhada menggenang semata kaki. Sedangkan bagi mereka yang kehilangan iman sekaligus merasa dicampakan oleh Tuhan, akan menenggelamkan dirinya dalam airmata sampai selelah-lelahnya, tetapi ada juga yang menjadi seperti hewan liar. Mereka berbondong-bondong pergi ke pusat perbelanjaan dan menjarah segalanya. Dan, tak berapa lama kemudian mereka jadi milik si jago merah.
Kami memutuskan untuk segera pulang menjauh dari kegilaan di berbagai sudut kota. Rupanya, Budi dan Toni sedari tadi menunggu kedatangan kami dengan wajah yang berharap cemas. "Bung, bawa keperluanmu secukupnya. Kita harus cari tempat aman."
Perjalanan malam itulah yang membawaku sampai bergelantungan di kusen jendela di gedung ini. Perjalanan menembus asap dan mimpi buruk. Semua orang yang masih cukup waras mencoba keluar dari kota yang tengah terbakar. Di jalan tol, terjadi kemacetan parah yang memercikan kerusuhan. Sepanjang perjalanan ke kawasan pinggiran kota, kulihat orang-orang berlari-lari kecil ke hutan lindung dan menghilang dalam kegelapan, sementara di bahu jalan beberapa kali kulihat mobil yang terbakar, anak-anak kecil yang menangis kehilangan orang tua mereka, dan tentu saja kerumunan orang-orang berbahaya yang harus kami hindari. Mereka membawa obor, tali tambang atau rantai, senjata seadanya, dan dipimpin orang gila bertopeng yang menari-nari. Ternyata merekalah yang membakar kendaraan dan membuat orang-orang berlarian ke hutan.
Kami berempat dicengkram kengerian yang tak terusir walau lagu-lagu populer mengiringi perjalanan ini. Di kegelapan dan di balik asap yang kami tembus, jeritan demi jeritan orang tersiksa terus membekas di ingatan. Sampai akhirnya, semuanya tinggal kesunyian yang membeku seperti udara dari AC yang bertiup pada keringat dingin. Aku mulai angkat bicara, "Sebenarnya mau ke mana kita ini?"
Budi si pengemudi tidak menjawab, sedangkan Toni yang duduk disebelahnya berkata, "Ingat, pokoknya jangan sampai tertidur."
"Ya, aku tahu. Ayolah, ceritakan sesuatu agar kita tidak mengantuk." Kugenggam tangan Maya, dan kubelai rambutnya selagi dia membaringkan kepalanya di bahuku. Dia membisikan semua ketakutannya.
"Orang-orang sinting itu, juga jeritan yang kita dengar tadi." Budi pun angkat bicara, "Mereka terpangaruh paranormal sakit jiwa yang membajak saluran TV nasional dan bicara soal tumbal kepada roh-roh bumi -- patung sialan itu. Katanya, para roh marah atas kerusakan alam dan jumlah umat manusia yang melebihi daya tampung bumi."
Toni menambahkan, "Omong kosong kejam! Harapan palsu! Konon, kita dapat kembali bertemu dengan keluarga, sahabat, kekasih, asalkan ada tumbal. Lantas, apa yang orang-orang itu lakukan? Mereka memburu para tunawisma, orang asing, kelompok pemburu lainnya, atau siapa pun yang ketiban apes. Jadilah kerusuhan di mana-mana."