***
Tak ada yang bisa ditertawakan pada tanggal 1 April, sehari setelah kemunculan patung-patung yang sama di berbagai alun-alun kota di seluruh dunia. Umat manusia dicengkram kengerian bukan gara-gara bencana alam, hujan meteor, wabah penyakit, atau peperangan. Melainkan dalam waktu yang singkat populasi menurun drastis, orang-orang menghilang tanpa jejak. Akan kuceritakan kembali segalanya, selagi aku berusaha mempertahankan kewarasanku, menghadapi dingin dan kenyerian di sana-sini. Terus terjaga...
Waktu itu, sehabis jogging kami berkumpul di rumahku untuk membicarakan kembali segala sesuatunya sembari menyaksikan tayangan berita baik di televisi mau pun media sosial. Dalam salah satu segmen, para pemuka agama diwawancarai, dan tentu saja mereka menolak anggapan tanda-tanda kiamat, malah berpesan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menyerahkan urusan ini pada-Nya. Pada segmen selanjutnya, giliran ilmuan dan paranormal yang angkat bicara, namun tidak sedikit pun mengatakan suatu teori yang menjelaskan kemunculan patung-patung itu, mereka lebih tertarik untuk membicarakan berita orang hilang yang sebagian besar terjadi di rumah sakit, panti asuhan, panti wreda, tempat penginapan, juga rumah masing-masing.
Di antara kami, Budi adalah orang yang paling bersemangat menjelaskan segala asumsinya, walau kedengaran seperti teori konspirasi. Menurutnya, tempat kemunculan patung-patung itu adalah portal dimensi menuju dunia lain, bahwa di balik pemerintahan ada petinggi-petinggi agung semacam Illuminati yang mengendalikan semuanya, dan karena itu pusat pemerintahan mesti terhubung satu sama lain. Diskusi kami sempat terhenti kala mendengar jeritan tangis ibu-ibu di luar sana yang baru saja kehilangan bayi dan anak balita mereka. Begitu juga di layar TV, orang tua lainnya memberitakan kejadian serupa. Untuk sejenak, kami sempat ikut mencari dan menenangkan mereka. Para orang tua mulai mengawasi anak-anaknya, namun semua itu sia-sia saja. Penculik dan yang diculik sama-sama tidak meninggalkan jejak. Pada akhirnya, orang tua pun akan menyusul anak-anak mereka yang hilang, begitu juga kita semua.
Di samping asumsi 'hocus-pocus' ala Budi, satu-satunya hal yang bisa kami pelajari adalah fakta-fakta ganjil tentang patung itu. Seandainya ada kerusakan yang dilakukan secara segaja, sedikit atau parah sekali pun, patung itu dapat memulihkan dirinya. Itu terbukti setelah dilakukan pemeriksaan sampel serpihan patung yang sudah tentu berkomposisi sama seperti alas tempatnya berdiri. Masih ada kejutan dan misteri tanpa batas. Hasil uji sampel menunjukan usia patung dengan angka-angka yang fantastis, jauh melampaui usia peradaban dan fosil yang paling kuno sekali pun.
"Barangkali, 'entitas itu' sudah selalu berada di sini, dan akan tetap di sini jauh setelah kepergian umat manusia juga alam semesta." Demikian Budi menyimpulkan, selagi kami terpana seperti para ilmuan dalam tayangan TV.
Mungkin, di hadapan derajat pengetahuan yang terlampau agung, intelek manusia akan memilih bunuh diri karena tidak ada artinya. Itulah pesan moral yang kudapat ketika menyaksikan si ilmuan mendadak histeris saat interupsi yang mengabarkan hilangnya beberapa bagian negara sebagaimana yang ditampilkan citra satelit. Tayangan live report itu pun dibatalkan dengan menyisakan tanda tanya besar.
Apakah kita hanya lelucon bagi sesuatu yang tinggal di balik jagat raya dan segala kenyataan? Aku sendiri bisa menerimanya, karena pada akhirnya, sekarang ini aku tak lebih daripada belatung pada seiris daging busuk. Menghabiskan sisa waktu di kota hantu semata-mata paksaan insting untuk bertahan hidup, walau di saat yang sama nalarku mati-matian berkata, "Sudah cukup!"
Sulit dipercaya kalau semua ini terjadi beberapa hari yang lalu. Ketika kami berusaha pura-pura kalau semuanya akan baik-baik saja dengan mengerjakan kegiatan sehari-hari, meskipun tangan gemetaran saat mencuci piring dan pakaian, dan jantung yang tak henti-hentinya meronta lantaran bayang-bayang akan lenyapnya diri secara tiba-tiba.Â
Belum lagi, di sela-sela kegiatan mencuci piring, menyiapkan makanan, dan menemani Maya mengerjakan tugas kuliahnya, aku tidak mendapat kabar dari orang tuaku setiap kali kuhubungi mereka. Rasanya aku seperti baru terjun bebas saja, dalam debaran jantung mengisi seluruh tubuhku yang tengah selemas seperti daun gugur, melayang menuju kedalaman sumur. Untungnya, Maya segera memelukku, saat ini hanya dia sajalah yang paling tahu rasanya kehilangan orang tua.
Pada pukul delapan malam, kami memutuskan untuk ikut rombongan warga yang hendak memanjatkan doa bersama di sebuah stadion sepak bola. Takbir menggema di mana-mana seakan-akan malam lebaran datang lebih awal. Ironis sekali. Barangkali malam ini terasa lebih mengharukan daripada malam lebaran sesungguhnya, sebab langit tidak jadi panggung kembang api, dan orang-orang berkumpul bersama dalam kesedihan daripada berdesak-desakan di jalur mudik.