Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kiamat 1 April

9 Oktober 2020   14:40 Diperbarui: 9 Oktober 2020   14:51 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Credit Paris_Saliveros 

Mobil kami berhenti mendadak. Suasana kembali mencekam. Dari sorot lampu yang menembus kepulan asap, tampak segerombolan orang tengah mencegat kami. Aku menoleh ke belakang, seketika disambut sorotan senter. Kami terkepung.

"Terobos!" Seru Toni yang segera menginjak pedal gas sebelum Budi. Naas, orang-orang itu tak sempat menghindar, mobil berguncang-guncang sesaat kala menembus benteng manusia itu. Maya memejamkan mata dan menjerit-jerit histeris. Sekilas dari samping kulihat orang yang terserempet sampai berputar-putar, darahnya terpoles di kaca. Belum lagi batu menghujani pelarian ini hingga atap mobil penyok dan memecahkan kaca belakang.

***

Kami tertahan di sebuah kota kecil di balik pegunungan dan perbukitan kebun teh. Entah kawasan ini tidak terjangkau oleh sinyal atau lantaran tidak ada lagi operator yang beroperasi. Dalam keadaan lemas bak mayat hidup, kami berjalan-jalan di kelengangan perumahan hingga sentra penjualan sayur dan buah dari perkebunan lokal. Siraman udara dingin menyambut kami bersama dengan mata-mata yang mengintai di balik kabut tipis bercampur asap dan jendela kusam. Kerusuhan semalam menciderai kedamaian tempat ini dengan kerusakan di genting, jendela pecah, bekas kebakaran di halaman rumah, dan genangan darah di jalan yang memanjang seperti dioles dengan kuas.

Semakin jauh kami memasuki kota, semakin dekatlah langkah kami pada kematian. Di depan balai kota, para tumbal terikat mati dalam keadaan menyedihkan dengan ditumpuk di hadapan patung itu, namun masih banyak lagi mayat lainnya yang bergelimpangan di sana-sini, tempat ini seperti baru saja dilanda peperangan. Aku dan Maya segera menjauh dari sini, mencari udara segar penawar bau anyir darah dan pembusukan. Dua temanku masing-masing mencari bahan bakar dan bekal perjalanan. Saat siang tiba, kami berkumpul kembali di perempatan balai kota ini. Hanya bahan bakar dan beberapa cemilan juga minuman yang bisa kami peroleh, sepertinya orang-orang di sini sudah mengambil kopi dan minuman berenergi dari setiap toko dan swalayan.

Orang-orang yang tersisa di kota ini mulai bermunculan dari dalam rumah masing-masing ketika kami berjalan kembali ke mobil. Mereka lebih mirip kucing yang ketakutan dan kelelahan daripada orang-orang buas yang haus darah. Manakala pandangan kami saling berpapasan, baik aku atau mereka, rasanya memikirkan pertanyaan yang sama: mengapa kita terus berlari dari kutukan yang menunggu di tempat kita memasrahkan diri pada kelelahan? Hewan-hewan yang mengikuti panggilan alam untuk tidur pasti sirna, namun bagi manusia selama akal sehatnya belum menyerah, selama masih ada penjelasan-penjelasan untuk segala macam sentimen dan harapan, hanya melalui keputusaanlah dia akan menyerahkan dirinya pada sang maut -- itu pun diterima dengan dosis penyangkalan pada kenyataan atas nama kenyataan lainnya. Kami berusaha untuk tetap terjaga, demi meraba-raba pilihan yang sejatinya tidak tersedia lagi.

Seorang pria tua bangkit dari kursi malas di berandanya untuk mendatangi kami. Dia mencoba untuk bersikap ramah selayaknya orang desa, namun dalam situasi ini dia malah kelihatan seperti orang sakit yang menjenguk orang sakit lainnya. "Tenang saja, di sini orang-orang jahat itu sudah habis. Kami menunggu orang-orang kembali dari hutan, jika tidak setiap jamnya tempat ini semakin sepi saja." Aku memperhatikan cara bicara dan ekspresinya, selama mengikutinya ke beranda, kupikir si kakek ini tengah menahan sakit, saat kutanyakan dia mengakuinya, menunjukan perban yang dibalut di perut akibat tikaman dan sabetan yang didapatnya tadi malam.

"Anak-anak muda yang kerasukan semalam itu hanya membuang-buang hidup mereka saja, mereka mencoba bertahan hidup dengan cara yang salah, dan mati dalam kepercayaan yang sesat." Begitulah yang dikatakannya, dalam percakapan sore ini sambil menikmati teh pucuk hangat. Tentu saja, aku ingin tahu apa yang membuat si kakek terus bertahan hidup. Sebelumnya, dia membalikan pertanyaan itu padaku, aku melirik pada Maya sambil tersipu, si Kakek tersenyum sesaat namun dalam sekejap dia terlihat sedih. Berlainan dengannya yang sudah tidak punya sesuatu untuk diperjuangkan, jadi untuk apa? Entahlah.

Pada malam harinya, kami diajak untuk berkumpul bersama di gedung serba guna dengan mengambil jalan memutar demi menghindari balai kota yang terkutuk itu. Barangkali inilah pemandangan benteng pertahanan terakhir umat manusia, di halaman gedung kami menyalakan api unggun untuk membakar jagung, tidak ketinggalan menyetel musik sekeras-kerasnya setelah waktu ibadah berlalu. Sepanjang malam belum dikuasai oleh kesunyian, semua orang berbagi keceriaan dengan makan dan minum sepuasnya, berbincang-bincang soal masa lalu, dan mencoba menjadi anak kecil lagi dengan menyalakan kembang api. Padahal mereka sedang menahan rasa sakit. Pesta dilanjutkan dengan penampilan para seniman lokal yang menari-nari sampai mereka mengalami fase trance dan tumbang dalam kelelahan yang penuh suka cita, sayangnya, dalam sekejap mata mereka sudah tidak bersama kemeriahan ini. Sementara itu, para penonton yang menundukan kepala dan berpura-pura tidak melihat keajaiban di atas panggung.

Pesta warga ini mungkin tidak seliar yang dilakukan anak-anak muda dalam geng motor atau seperti yang dilakukan para penyembah setan. Tapi tunggu saja, sebab sisi gelap manusia yang selama ini dikira tertidur lelap, tiba-tiba terbangun saat malam melewati puncaknya. Untuk membunuh kebosanan dan rasa ngantuk yang tak bisa lagi ditawar oleh kopi kesekian, orang-orang mulai menyakiti diri mereka, para 'veteran' kemarin membuka perban sekaligus luka yang belum pulih itu sambil meringis. Sementara yang lainnya mengambil garpu dan menusukannya ke bagian tubuh yang dikehendakinya lalu memutar-mutar garpu itu sampai darah yang mengucur agak berbuih. Ada juga yang bertukar pukulan, tendangan, dan pecutan cambuk lalu bersalaman setelah lebam-lebam, seakan mengucapkan terima kasih. Kami bertiga berusaha menghindari kekacauan ini dengan pergi menemui si Kakek, namun setibanya di beranda, si Kakek memudar menyusul Budi yang menghilang di antara keramaian pesta sebelumnya -- tanpa sepatah ucapan perpisahan.

Akhirnya, kami hanya bisa terdiam sembari menikmati keletihan masing-masing. Kepalaku pening bukan main. Setiap kali terdiam, aku merasa lepas dari tubuhku sampai-sampai harus kukepalkan tangan kuat-kuat untuk merasakan kembali adanya tubuh ini. Maya berbisik, "Relakah jika aku pergi? Bukannya aku tidak mau bertahan denganmu, sampai saat ini hanya kamu yang kupunya, tetapi kita tahu sudah tidak ada jalan lagi..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun