Dan berikut ini informasi dari kronik Cina yang saya identifikasi berada pada wilayah Sulawesi Selatan...
"ada sebuah gua (?), yang selalu mengeluarkan air garam."Â kalimat yang lebih lengkap terdapat dalam buku O.W. Â Wolters "Kebangkitan & Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII" hlm. 258 "Di pegunungan terdapat gua-gua, dan dari dalam gua mengalir garam. Penduduk negeri ini mengumpulkan garam itu dan memakannya." Dugaan saya bahwa gua-gua yang mengeluarkan air garam kemungkinannya berada di dataran tinggi terjawab dengan adanya kalimat yang lebih lengkap yang terdapat dalam buku tulisan O.W. Â Wolters.Â
Keberadaan air garam di pegunungan memang menjadi hal yang unik dan menarik untuk dicatat. hal semacam ini, kebetulan dapat kita temukan di wilayah kaki gunung Latimojong di Sulawesi selatan.
Untuk kebutuhan garam, penduduk di kaki gunung latimojong seperti di wilayah Tibusan hingga Rante Balla, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu pada masa lalu biasanya membasahi daun tertentu dengan air garam lalu menjemurnya. ketika memasak, daun yang telah memiliki kristal garam tersebut tinggal mereka celupkan di masakan tersebut.
Di Wilayah Rante Balla, baru-baru ini ditemukan mata air dengan kadar garam tinggi, sehingga rasanya terasa sangat asin. Dokumentasi video mengenai sumber mata air asin tersebut dapat pembaca simak videonya di youtube dengan judul "Ajaib Mata Air di Pegunungan Ranteballa Latimojong Asin".
"Penduduk membuat minuman keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan orang. Bunga ini dipotong, dan airnya ditampung dijadikan minuma keras; rasanya amat manis, tetapi orang cepat sekali mabuk dibuatnya." -Â Dapat dikatakan membuat minuman beralkohol dari pohon aren adalah tradisi yang sangat umum dikenal di wilayah Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Luwu maupun Toraja. Minuman ini biasanya disebut Ballo' (tuak).
"Di daerah pegunungan ada sebuah daerah yang bernama Lang-pi-ya, raja sering pergi ke sana untuk menikmati pemandangan laut." - nama tersebut persis sama dengan nama gunung langpiya (atau "lampia" dalam pengucapan aksen lokal) di wilayah Luwu Timur.
Bahkan kabarnya, Anton Andi Pangerang, seorang bangsawan sepuh, sejarawan dan antropolog yang terkemuka di Tana Luwu, memiliki rumah peristirahatan di wilayah ini. (dalam suatu kesempatan audiens ke kediamannya, penulis telah pernah dipersilahkan beliau ketempat itu hanya saja hingga kini belum ada kesempatan untuk berkunjung ke tempat itu).
"Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hzi-mo [Sima]. Konon ratu ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-ling menjadi negara yang aman.."Â - Nama Ratu Sima identik dengan Raja/ Datu ketiga dalam silsilah kedatuan Luwu, yang kebetulan juga seorang perempuan, bernama Simpurusiang, yang mungkin saja bentuk aslinya adalah si-ma-pu-ru-si-ang.
Simpurusiang adalah datu ketiga dalam catatan silsilah kedatuan Luwu yang melegenda. Dalam literature sejarah Tana Luwu, diceritakan bahwa Simpurusiang adalah sosok to manurung yang melanjutkan pemerintahan di Kedatuan Luwu setelah masa kekosongan pemerintahan yang belum diketahui berapa lamanya. Selama masa kekosongan tersebut terjadi kekacauan, yang kuat memangsa yang lemah, si-andre bale dalam ungkapan bahasa bugisnya.