Mohon tunggu...
Fadila MulyanaIndah
Fadila MulyanaIndah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta prodi Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Dalam Islam

7 Maret 2023   13:18 Diperbarui: 7 Maret 2023   13:19 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judul buku : Pernikahan Dalam Islam

Penulis : Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin

Penerbit : Al-Abror Media

Tahun terbit : 2019

Halaman : 140 halaman

Di dalam buku yang berjudul "Pernikahan Dalam Islam" yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ini pembahasannya menarik untuk dibaca oleh siapapun apalagi bagi seorang laki-laki dan perempuan yang hendak ingin melangsungkan pernikahan agar bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk bekal sebelum menikah karena didalam buku ini membahas mengenai bab pernikahan dan didalamnya juga terdapat beberapa permasalahan-permasalahan dalam pernikahan beserta pejelasan untuk menyelesaikannya. Buku ini diharapkan menjadi buku yang bermanfaat bagi semua yang membacanya dan mereka senang mendapatkan ilmu dari buku ini. 

Di dalam buku ini pembahasan yang pertama yaitu mengenai makna nikah. Nikah secara bahasa itu memiliki makna akad nikah dan bisa juga bermakna menyetubuhi istri (senggama). Makna nikah secara syari'at yaitu mengadakan akad antara seorang laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling menikmati masing-masing dari mereka sekaligus membangun keluarga yang baik dan masyarakat yang sejahtera. Dari sini kita dapat pelajaran bahwa tujuan menikah (akad) itu bukan semata-mata untuk kenikmatan saja, namun ada maksud lain di balik itu, yaitu untuk membangun keluarga yang baik dan masyarakat yang sejahtera. 

Hukum nikah pada mulanya adalah disyari'atkan, ditekankan bagi setiap orang yang memiliki syahwat dan kemauan atau niat, dan menikah itu termasuk dalam sunnah rasul. Para ulama berpendapat bahwa "sesungguhnya menikah disertai syahwat itu lebih utama daripada ibadah nafilah (sunnah)." Hukum nikah itu juga bisa menjadi wajib apabila ada seseorang yang memiliki syahwat yang sangat kuat dan jika ia tidak segera menikah dikhawatirkan terjatuh pada hal-hal yang tidak diinginkan dan diharamkan, maka ia wajib untuk menikah agar menjaga kehormatannya dan membentengi dirinya dari hal-hal yang diharamkan.  

Dalam pelaksanaan akad nikah itu juga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain; 

1. kerelaan kedua mempelai, dalam hal ini tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memaksa seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang tidak ia inginkan, begitupun sebaliknya tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memaksa seseorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak ia inginkan. Nabi Muhamad SAW melarang menikahkan seorang perempuan tanpa kerelaannya baik itu seorang gadis ataupun janda. Hanya saja jika seorang janda rela menikah dengan laki-laki itu, maka ia harus mengucapkannya bahwa ia rela menikah dengannya. Sedangkan bagi seorang gadis, tidak harus mengucapkan tapi ia cukup diam saja atau meng-isyaratkan bahwa ia mau menikah dengan laki-laki itu seperti menganggukkan kepala, karena seorang gadis itu terkadang malu mengungkapkan keinginannya atau kerelaannya. Jika seorang perempuan menolak pernikahan itu, maka tidak seorangpun yang boleh memaksanya meskipun orangtuanya sendiri, dan tidak berdosa bagi orangtuanya jika tidak menikahkannya pada keadaan ini karena sang anak sendirilah yang menolaknya, namun orangtuanya baik sang ayah ataupun ibu memiliki kewajiban menjaga dan melindungi putrinya. 

2. Wali, dalam hal ini pernikahan tidaklah sah jika tidak ada seorang wali, jika seorang perempuan ingin menikahkan dirinya sendiri maka pernikahan itu tidaklah sah baik akadnya dilakukannya sendiri atau diwakilkan. Wali yaitu orang yang telah baliqh, berakal, dan lurus dari kalangan ashabah, yaitu ayah, kakek dari ayah,saudara laki-laki, saudara ayah (paman), dan seterusnya kebawah. dalam wali nikah ini, saudara laki-laki dari pihak ibu maupun kakek dari pihak ibu tidak memiliki hak kewalian, karena mereka bukan kalangan ashbah. 

Wanita yang hendaknya dinikahi itu yang benar-benar memiliki sifat-sifat yang cantik secara hissi dan maknawi. Yang dimaksud kecantikan secara hissi itu adalah kesempurnaan lahiriyah, karena ketika seorang wanita itu indah dipandang, lembut tutur katanya, maka dapat menyejukkan mata yang memandangnya, dan telingapun akan merasa damai dengan ucapannya. Sedangkan yang dimaksud kecantikan maknawi yaitu kesempurnaan agama dan akhlaknya, ketika seorang wanita itu teguh agamanya dan baik akhlaknya, maka ia akan lebih dicintai di dalam jiwa dan lebih selamat masa depannya. Wanita yang teguh agamanya maka dia akan menjalankan perintah dari Allah SWT menjaga hak-hak suami, kasur, anak-anak, dan hartanya dan juga membantu suami dalam menjaga ketaatan kepada Allah SWT. 

Wanita yang haram dinikahi itu ada 2 jenis yaitu:

1. Haram selamanya yaitu 

a) Haram karena hubungan nasab sebagaimana firman Allah pada surat An-Nisa ayat 23 yang memiliki arti "diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, saudara-saudara perempuan ibu kalian, anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian. 

* Ibu-ibu meliputi ibu, nenek, dan seterusnya ke atas dari jalur bapak maupun ibu. 

* Anak perempuan meliputi anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak perempuan, dan seterusnya kebawah. 

* saudara perempuan meliputi saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak dan saudara perempuan seibu. 

* Bibi dari jalur ayah, meliputi bibi, bibi ayah, bibi kakek, bibi ibu, dan bibi nenek. 

* Bibi dari jalur ibu, meliputi bibi, bibi ayah, bibi kakek, bibi ibu, dan bibi nenek. 

* Anak perempuan dari saudara laki-laki, meliputi anak perempuan dari saudara kandung, anak perempuan dari saudara sebapak, anak perempuan dari saudara seibu, cucu dari anak laki-laki dan perempuan. 

* Anak perempuan dari saudara perempuan, meliputi anak perempuan dari saudara perempuan kandung, anak perempuan dari saudara perempuan sebapak, anak perempuan dari saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak-anak laki-laki dan perempuan, dan seterusnya kebawah.

b) Haram karena persusuan (kedudukannya sama dengan wanita yang haram dinikahi karena nasab). Tapi hubungan sepersusuan itu bisa dikatakan haram jika memenuhi syarat-syarat terlebih dahulu yaitu:

Syarat pertama, minimal lima kali susuan, jika seorang bayi hanya menyusu kepada seseorang wanita yang bukan ibunya dibawah lima kali (satu, dua, tiga, empat kali saja) maka ia belum menjadi ibu susunya. 

Syarat kedua, yaitu susuan dilakukan sebelum disapih maksudnya yaitu disyaratkan lima kali itu seluruhnya terjadi sebelum disapih. Jika dilakukan setelah disapih atau sebagiannya sebelum disapih dan sebagiannya lagi setelah disapih tapi belum lima kali susuan, maka wanita tersebut belum menjadi ibu susunya. 

Jika terpenuhi semua syarat tersebut maka si bayi telah menjadi anak susuan bagi wanita tersebut. Dan anak-anak wanita tersebut adalah saudara sepersusuan dengan si bayi baik yang lahir sebelum atau sesudahnya dan anak-anak dari ibu sepersusuannya itu tidak boleh menikahi anak yang disusui ibunya tersebut.

c) Haram karena hubungan periparan yaitu:

* istri ayah (ibu tiri) , istri kakek (nenek tiri), dan seterusnya keatas baik dari jalur ayah maupun ibu. Seperti yang telah dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 22 yang memiliki arti "Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah kalian, terkecuali pada masa yang telah lampau". Jika seorang laki-laki menikahi wanita maka wanita tersebut menjadi haram dinikahi oleh anak-anak pria mereka, cucu dari anak laki-lakinya, cucu dari anak perempuannya, dan seterusnya kebawah baik ia sudah menggauli wanita tersebut atau belum.

* Istri dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah. Ketika seorang laki-laki menikahi wanita maka wanita tersebut tidak boleh dinikahi dan menjadi haram dinikahi oleh bapak laki-laki tersebut, kakek dan seterusnya keatas. Baik dari jalur ayah maupun ibu. 

* Ibu istri (ibu mertua), neneknya, dan seterusnya ke atas. Ketika laki-laki menikahi wanita, maka menjadi haram baginya untuk menikahi ibu wanita tersebut dan juga neneknya. Baik nenek dari jalur ayah maupun jalur ibu.

* Anak perempuan istri, anak perempuan dari anak laki-laki istri, anak perempuan dari anak perempuan istri, dan seterusnya kebawah. mereka disebut dengan rabbi (anak tiri) dan keturunannya. Namun dengan syarat dia telah menggauli istrinya tersebut. Jika terjadi perceraian sebelum bersetubuh maka rabbi dan keturunannya tidak haram untuk dinikahi. Ketika seorang laki-laki menikahi wanita dan telah menyetubuhinya, maka anak perempuan wanita tersebut, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, dan seterusnya kebawah menjadi haram untuk dinikahi meskipun dari suami sebelumnya ataupun sesudahnya. Jika terjadi perceraian diantara keduanya sebelum bersetubuh maka anak-anak tiri dan keturunannya tidak haram dinikahinya. 

2. Haram dalam waktu tertentu 

a) Saudara perempuan istri, bibinya dari pihak bapak, dan bibinya dari pihak ibu. Sampai terjadi perpisahan dengan istri tersebut baik karena kematian istri ataupun perceraian dengan sang istri dan dia harus menyelesaikan masa iddahnya

b) Wanita dalam masa iddah. Dalam hal ini apabila seorang wanita masih dalam masa iddah tidak boleh dinikahi dan dilamar oleh seorang laki-laki hingga selesai masa iddahnya.

c) Wanita yang sedang ihram, baik haji atau umrah. Dalam keadaan ini tidak boleh melakukan akad hingga tahallul dari ihramnya. 

Di dalam islam juga terdapat syariat mengenai berapa jumlah wanita yang bisa dinikahi, yaitu maksimal empat istri saja, karena jumlah itu adalah jumlah yang masih memungkinkan bagi seoarang laki-laki untuk bersikap adil, menunaikan hak-hak istri, dan cukup untuk memenuhi syahwatnya yang memang butuh istri lebih dari satu. Seperti halnya dala surat An-Nisa" ayat 3 yang memliki arti "maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan berlaku adil, maka nikahilah satu orang saja". Mereka yang melakukan poligami juga memiliki alasan seperti, istrinya sedang sakit, atau istrinya tidak bisa memberikan keturunan bagi suaminya maka suaminya mencari wanita lain untuk dijadikan istrinya, diantara laki-laki itu juga ada yang memiliki syahwat yang besar dan tidak cukup satu istri saja sedangkan dia adalah orang yang bertakwa, tetapi hanya saja dia ingin melapiasakan syahwatnya dalam hubungan yang halal, maka Allah memperbolehkan poligami tetapi maksiamal empat saja. Hal positifnya dari poligami ini yaitu terpenuhinya nafkah dan tempat tinggal untuk kebutuhan mereka, dan memiliki keturunan yang banyak bagi umat islam. 

Hikmah perrnikahan itu ada banyak sekali diantaranya:

1. Menjaga dan melindungi masing-masing dari pasangan (suami dan istri).

2. Menjaga masyarakat dari kejelekan dan kemunduran akhlak, jika tidak ada pernikahan antara wanita dan pria pasti akan tersebar kekejian di antara kaum pria dan wanita. 

3. Saling menikmati antara suami dan istri dengan sesuatu yang wajib mereka penuhi berupa hak-hak dan kewajiban. Seorang suami berkewajiban mengayomi dan memberikan nafkah terhadap istri berupa makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian yang baik. Dan seorang istri juga bertanggung jawab atas suami dengan menunaikan kewajibanya di dalam rumah tangga yaitu berupa pengaturan dan pembenahan.

4. Mengokohkan hubungan antar keluarga. Banyak dari dua keluarga yang jauh dan tidak saling mengenal, lalu dengan pernikahan terjalin kedekatan dan tersambung hubungan antar keduanya.

5. Terpeliharanya manusia dengan kondisi yang baik. Menikah menjadi sebab adanya keturunan yang menjadikan manusia tidak punah. Seperti halnya firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 1 yang memiliki arti "wahai sekalian manusia brtakwalah kepada Rabb klian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri kemudian darinya Allah menciptakan istri baginy. Alu dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak". 

Jika tidak ada pernikahan, pasti akan terjadi punahnya manusia dan adanya manusia yang dihasilkan dari hubungan yang tidak halal alias hubungan zina yang tidak diketahui asal usulnya. 

Pernikaan itu juga menimbulkan konsekuensi diantaranya:

1. Wajibnya mahar

Mahar adalah harta yang harus dikeluarkan oleh calon suami dan diberikan ke calon istrinya sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam akad pernikahan. Jika maharnya telah ditentukan oleh calon istri, maka mahar itu harus sesuai dengan ketentuan calon istrinya baik banyak atau sedikit harus ditepati. Dan jika calon istri tidak menentukan besaran mahar, maka sang calon suami harus tetap memberikan mahar yang pantas untuk calon istrinya. Mahar itu bisa berupa harta atau barang tertentu dan bisa juga berupa sesuatu yang bermanfaat. 

Didalam islam juga disyariatkan bahwa mahar itu adalah yang ringan atau tidak memberatkan calon suami, semakin sedikit dan mudah maka mahar itu semakin baik dan hal ini kita melakukannya dalam rangka meneladani Rasulullah dan meraih berkah dari Rasulullah SAW, sebab pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan dan mudah maharnya. Tetapi seiring berjalannya waktu dari masa ke masa mahar ini mengalami kenaikan. Dan hal tersebut berdampak buruk yaitu terhalangnya pernikahan, banyak wanita dan pria tidak menikah karena pria harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai sebuah mahar yang pantas dan tinggi. Dan juga keluarga wanita cenderung melihat maharnya banyak atau sedikit, jadi mahar itu menurut anggapan sebagian besar keluarga adalah sesuatu yang bisa diperoleh dari sang calon suami karena menikahi anak perempuan mereka, dan orangtua sang wanita juga akan tenang jika anaknya dinikahi oleh seorang pria yang memberikan mahar yang banyak dan seorang pria yang mapan. Jika maharnya banyak mereka akan menikahnkannya tanpa memperhitungkan konsekuensi dan resikonya namun jika maharnya sedikit mereka akan menolak calon suami tersebut. 

2. Wajibnya nafkah 

Suami itu wajib menafkahi istrinya dengan cara yang baik, berupa pangan (makanan dan minuman), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal) , jika sang suami tidak menafkahi istrinya maka dia kaan berdosa. Istri boleh mengambil harta suaminya secukupnya atau berhutang atas suaminya sehingga suaminyalah yang harus membayar hutang istrinya.

3. Terjalinnya hubungan sumi-istri dan anatar keluarga keduanya.

4. Mahram, seorang suai akan menjadi mahram bagi ibu istrinya neneknya, dan seterusnya keatas. Juga akan menjadi mahram untuk anaknya, cucu dari anak laki-lakinya, cucu dari anak perempuannya, dan seterusnya kebawah. ini berlaku jika suai telah menggauli ibu mereka (istri). Istri juga akan menjadi mahram bagi ayah suami dan seterusnya keatas. Juga akan menjadi mahram bagi anak-anak suami dan seterusnya kebawah.

5. Warisan, Ketika seorang pria mengadakan pernikahan yang sah dengan wanita, maka keduanya akan saling mewarisi. Baik sudah melakukan khalwat dengan istrinya atau belum, keduanya tetap akan saling mewarisi. 

     Dalam buku pernikahan dalam islam yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ini juga dibahas mengenai hukum talak. Talak ini adalah keinginan sumai untuk berpisah atau bercerai dari istrinya dengan ucapan, tulisan, atau isyarat. Hukum asal dari percearaian yaitu makruh, karena perceraian menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan dan kebahagian yang telah dilalui bersama dan juga akan menyebabkan rusaknya hubungan sebuah keluarga. Namun meski begitu, kadang perceraian harus dilakukan demi kebahagian masing-masing individu seperti misalnya di dalam rumah tangga itu mereka merasa bahwa hubungan pernikahannya sudah tidak cocok lagi, sudah tidak ada rasa cinta dan sayang lagi, dan bahkan hubungannya dirasa menimbulkan hal-hal yang buruk (toxic) dan mereka ingin berpisah untuk mendapatkan pasangan yang cocok untuk masing-masing dari mereka, maka disaat itu boleh melakukan talak atau perceraian. 

Tetapi jika sang suami ingin melakukan talak terhadap istrinya, maka harus memperhatikan hal-hal berikut: 

1. Tidak boleh mentalak istri ketika haid

Jika suami mentalak istrinya ketika haid maka ia telah melakukan kemaksiatan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan mlakukan perbuatan yang dilarang (haram). Jika suami terlanjur mentalak istrinya ketika haid maka mereka harus rujuk kembali dan tetap bersama dengan istrinyya sapai sang istri suci kebali, kemudian sang suai boleh menceraikannya jika mau. Tetapi lebih baik mereka tetap bersama sampai istri haid yang kedua. Dan jika telah suci kembali, mereka bisa tetap bersama atau bisa menceraikannya.

2. Tidak boleh menceraikan istri dalam masa suci yang dimana ia telah menyetubuhinya. 

Jika suami ingin menceraikan istrinya dan telah menyetubuhinya setelah masa haidnya, dalam keadaan ini maka sang suami tidak boleh menalaknya sampai sang istri haid dan suci kembali. Jika ia menghendaki perceraian, maka sang suami bisa menalaknya sebelum ia menyetubuhinya. 

3. Tidak boleh mentalak istri langsung tiga kali dalam satu waktu. 

Seorang suai tiak boleh mentalak istrinya dengan mengatakan aku talak kau, talak dua,talak tiga, atau aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu dalam satu waktu.

Talak itu juga memiliki konsekuensi diantaranya yaitu:

1. Wajibnya iddah jika suai telah menggauli istrinya atau telah berkhalwat dengannya. 

Jika suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya dan belum berkhalwat dengannya, maka dala keadaan ini tidak ada iddahbagi istri. Seperti dala surat Al-Ahzab ayat 49 yang memiliki arti "hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya maka sekali-sekali tidaklah wajib atas mereka bagi kalian masa iddah yang kalian minta menyempurnakannya." Iddah itu dilakukan selama tiga kali haid, tetapi bagi wanita yang sudah tidak haid, maka masa iddahnya yaitu tiga bulan, sedangkan bagi yang sedang hamil masa iddahnya yaitu sapai ia melahirkan anaknya. 

2. Istri menjadi haram bagi suami jika ia telah melakukan talak yang ketiga kalinya.

Jika suami telah menalak istrinya (talak pertama) kemudia kembali lagi kepadanya dala masa iddah. Lalu jika ia menalaknya kedua kalinya dan ingin kembali lagi kepadanya masih bisa kembali lalu sang suai menalaknya lagi yang ketiga kali. Setelah menalak istri ketiga kalinya, maka sang istri menjadi haram baginya sampai sang istri menikah dengan pria lain secara sah dan suami barunya (pria lain) dan telah menyetubuhinya lalu menceraikannya. Setelah cerai dari suami barunya tersebut barulah suami yang pertama bisa menikahinya kembali. 

     Di dalam buku yang berjudul "Pernikahan Dalam Islam" yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ini juga terdapat pertanyaan-pertanyaan mengenai hukum-hukum pernikahan beserta jawabannya dan didalamnya juga terdapat beberapa permasalahan-permasalahan dalam pernikahan beserta pejelasan untuk menyelesaikannya. Diantaranya:

1. Didapati sebagian pemuda baik laki-laki maupun perempuan enggan untuk segera menikah dan menurut pandangan Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ada sejumlah sebab yang mengakibatkan sebagian orang menunda pernikahan. Dan tidak mungkin untuk mengetahui semua sebab it karena, hal itu terkait dengan diri seseorang secara pribadi. Bisa jadi yang menjadi sebabnya adalah mereka hanya memiliki sedikit harta, adanya problem sosial masyarakat yang terjadi dirumahnya, menyelesaikan studi, atau bisa juga sebabnya adalah sibuk mengurusi perdagangan. Yang jelas pasti sebabnya bermacam-macam. Akan tetapi, ketika seseorang telah mengetahui bahwa seseorang akan berdosa jika menunda pernikahan padahal disertai dengan adanya syahwat dan kemauan untuk menikah, maka ia tidak akan menundanya. Hendaknya seseorang bersegera menikah karena didala prnikahan itu ada banyak faedah yang bisa didapatkan seperti bisa menjalankan perintah dari Rasulullah SAW, dan menjalankan perintah rasul itu adalah ibadah yang akan mendekatkan seorang haba kepada Rabbnya dan juga akan mendatangkan kedudukan yang tinggi di al Jannah (surga) yang penuh dengan kenikmatan. 

2. Adapun pertanyaan tentang boleh atau tidaknya wali mempelai wanita mengambil sebagian mahar?

 jika setelah menikah lalu mempelai wanita menerima mahar dari mempelai laki-laki kemudian mempelai wanita sendiri yang memberikan sebagian maharnya sebagai hadiah kepada orang yang ia inginkan maka tidak mengapa. Jika wali perempuan yang memintanya sendiri maka tidak halal baginya untuk mengambilnya sedikitpun. 

3. problem yang timbul antara Ibu suami dan istri bisa jadi permasalahan tersebut hanya bermula dari kesalahpahaman sehingga suami wajib untuk meneliti dari mana asal munculnya kesalah pahaman itu, Apakah kesalahan itu muncul dari pihak ibu atau dari istri, kemudian sang suai meluruskan pihak yang salah dan melarangnya dari perbuatan yang zalim. Jika ternyata suami tidak bisa menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak maka yang lebih baik adalah membawa istri keluar dari rumah dan menempati rumah lain. Tetapi pada kondisi ini bisa jadi si Ibu melarang anaknya meninggalkan rumah akan tetapi wajib atasnya untuk menyandarkan dan menjelaskan bahwa keluarnya ia dari rumah adalah yang lebih utama dan lebih baik.

Adapun permasalahan yang kedua yaitu seseorang lebih mendahulukan istri daripada ibunya. Maka perbuatan seperti ini adalah haram, sebab hak ibu untuk mendapatkan bakti dari sang anak lebih kuat dibandingkan hak istri untuk mendapatkan perlakuan baik dari suaminya. akan tetapi bukan berarti bahwa baktinya kepada sang Ibu lantas melalaikan hak istri, yaitu ia berbakti kepada ibunya dan menyia-nyiakan hak istri. perbuatan seperti ini juga haram bahkan yang wajib atas seorang suami adalah berbakti kepada ibu dan menunaikan hak-hak istri.

Lalu bagaimana hukumnya jika sang ibu menyuruhnya untuk menceraikan sang istri? jika Ibu memintanya untuk menceraikan istrinya Maka jangan mentaatinya selama istri masih sebagai wanita yang lurus agama dan muamalah, walaupun sang Ibu marah dan geram kepada menantunya. Tetapi jika Ibu menyuruhnya untuk menceraikan istrinya karena ada kekurangan dalam hal agama dan akhlaknya dan ibu menjelaskan kepadanya sisi kekurangan tersebut maka wajib bagi sang suai untuk menceraikannya sebab istrinya adalah wanita yang jelek akhlak dan agamanya Istri seperti ini tidak pantas untuk tetap hidup bersamanya terkecuali jika si istri mau bertobat dan memperbaiki akhlak dan agamanya.

4. Apakah hukum suami istri yang menceritakan atau menyebarkan segala yang mereka lakukan pada malam pengantin ataupun malam lainnya, baik terkait dengan urusan jimak (hubungan badan) dan yang lainnya? 

Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin menjawab bhwa hukumnya itu adalah haram sehingga tidak halal bagi seorang suami dan tidak pula bagi seorang istri menyebarkan segala perkara rahasia yang ada antara keduanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memberikan memberitakan bahwa orang yang paling buruk kedudukannya pada hari kiamat adalah orang yang menyebarkan segala perkara rahasia yang terjadi antara dirinya dengan istrinya. Demikian pula hal ini berlaku bagi istri tidak halal baginya menyebarkan segala perkara rahasia yang terjadi antara dirinya dengan suaminya. Tidak ada perbedaan antara ia menyebarkannya ditengah kerabat atau teman-temannya baik kepada ibunya saudaranya dan siapapun dari kerabatnya ataupun kepada teman-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun