1. Wajibnya mahar
Mahar adalah harta yang harus dikeluarkan oleh calon suami dan diberikan ke calon istrinya sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam akad pernikahan. Jika maharnya telah ditentukan oleh calon istri, maka mahar itu harus sesuai dengan ketentuan calon istrinya baik banyak atau sedikit harus ditepati. Dan jika calon istri tidak menentukan besaran mahar, maka sang calon suami harus tetap memberikan mahar yang pantas untuk calon istrinya. Mahar itu bisa berupa harta atau barang tertentu dan bisa juga berupa sesuatu yang bermanfaat.Â
Didalam islam juga disyariatkan bahwa mahar itu adalah yang ringan atau tidak memberatkan calon suami, semakin sedikit dan mudah maka mahar itu semakin baik dan hal ini kita melakukannya dalam rangka meneladani Rasulullah dan meraih berkah dari Rasulullah SAW, sebab pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan dan mudah maharnya. Tetapi seiring berjalannya waktu dari masa ke masa mahar ini mengalami kenaikan. Dan hal tersebut berdampak buruk yaitu terhalangnya pernikahan, banyak wanita dan pria tidak menikah karena pria harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai sebuah mahar yang pantas dan tinggi. Dan juga keluarga wanita cenderung melihat maharnya banyak atau sedikit, jadi mahar itu menurut anggapan sebagian besar keluarga adalah sesuatu yang bisa diperoleh dari sang calon suami karena menikahi anak perempuan mereka, dan orangtua sang wanita juga akan tenang jika anaknya dinikahi oleh seorang pria yang memberikan mahar yang banyak dan seorang pria yang mapan. Jika maharnya banyak mereka akan menikahnkannya tanpa memperhitungkan konsekuensi dan resikonya namun jika maharnya sedikit mereka akan menolak calon suami tersebut.Â
2. Wajibnya nafkahÂ
Suami itu wajib menafkahi istrinya dengan cara yang baik, berupa pangan (makanan dan minuman), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal) , jika sang suami tidak menafkahi istrinya maka dia kaan berdosa. Istri boleh mengambil harta suaminya secukupnya atau berhutang atas suaminya sehingga suaminyalah yang harus membayar hutang istrinya.
3. Terjalinnya hubungan sumi-istri dan anatar keluarga keduanya.
4. Mahram, seorang suai akan menjadi mahram bagi ibu istrinya neneknya, dan seterusnya keatas. Juga akan menjadi mahram untuk anaknya, cucu dari anak laki-lakinya, cucu dari anak perempuannya, dan seterusnya kebawah. ini berlaku jika suai telah menggauli ibu mereka (istri). Istri juga akan menjadi mahram bagi ayah suami dan seterusnya keatas. Juga akan menjadi mahram bagi anak-anak suami dan seterusnya kebawah.
5. Warisan, Ketika seorang pria mengadakan pernikahan yang sah dengan wanita, maka keduanya akan saling mewarisi. Baik sudah melakukan khalwat dengan istrinya atau belum, keduanya tetap akan saling mewarisi.Â
   Dalam buku pernikahan dalam islam yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ini juga dibahas mengenai hukum talak. Talak ini adalah keinginan sumai untuk berpisah atau bercerai dari istrinya dengan ucapan, tulisan, atau isyarat. Hukum asal dari percearaian yaitu makruh, karena perceraian menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan dan kebahagian yang telah dilalui bersama dan juga akan menyebabkan rusaknya hubungan sebuah keluarga. Namun meski begitu, kadang perceraian harus dilakukan demi kebahagian masing-masing individu seperti misalnya di dalam rumah tangga itu mereka merasa bahwa hubungan pernikahannya sudah tidak cocok lagi, sudah tidak ada rasa cinta dan sayang lagi, dan bahkan hubungannya dirasa menimbulkan hal-hal yang buruk (toxic) dan mereka ingin berpisah untuk mendapatkan pasangan yang cocok untuk masing-masing dari mereka, maka disaat itu boleh melakukan talak atau perceraian.Â
Tetapi jika sang suami ingin melakukan talak terhadap istrinya, maka harus memperhatikan hal-hal berikut:Â
1. Tidak boleh mentalak istri ketika haid