"Besok Mas Agus ikut, kan?" tanya Chintya.
   "Iya. Saya akan menemani kalian," jawabnya.
   Subuh tiba, kami sudah bangun dan bersiap. Mobil yang mengantar kami menunggu di jalan  yang paling dekat dengan rumah ini. Kami bersepakat pukul 05.00. Pertama ke Pantai Indrayanti. Lalu mampir juga ke beberapa pantai lain. Di daerah ini banyak tempat wisata. Ada wisata pantai, hutan, goa, air terjun, kuliner, dan wisata budaya. Pantai di sini cantik-cantik. Pemandangan alamnya sungguh elok. Kami berselancar dari tempat yang satu ke tampat yang lain seharian.
   "Bagaimana perjalanan kalian hari ini?" tanya Pak Margono.
   "Luar biasa, Pak. Sangat menyenangkan. Di sini banyak tempat yang indah," jawab Chintya.
   Aku lihat Chintya sangat bergembira dan bersemangat sepanjang hari ini. Begitu juga kedekatannya dengan Mas Agus. Terlihat di Pantai Baron tadi, mereka selalu berdua. Bahkan berfoto-foto dan tampak mesra. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
   Aku ingin segera tidur malam ini. Tenagaku terkuras. Lagi pula, besok adalah hari terakhir dan kami harus bangun pagi-pagi.
   Pagi ini aku akan kembali ke Jakarta. Pak Margono dan Mas Agus sudah siap mengantar kami. Kembali aku dan Chintya duduk di atas dipan bambu di teras depan.
   "Mas, ada yang ingin kusampaikan!" tiba-tiba Chintya memanggil Mas Agus.
   "Ada apa Chintya, kamu terlihat tegang dan begitu serius?" jawabnya.
   "Aku sangat berterima kasih pada Mas Agus. Mas sangat baik padaku selama ini.  Aku punya kakak laki-laki seumuran Mas Agus. Ia saudaraku satu-satunya. Dia sangat menyayangiku. Ia kakak, teman, sekaligus pengganti ayahku yang sejak kami kecil, ayah pergi entah ke mana.  Kakak melakukan apa pun agar aku tersenyum gembira. Tiba-tiba Chintya memeluk Mas Agus disertai isak tangis.  "Tapi lima tahun lalu ia meninggal karena tumor ganas. Kami sangat merindukannya, Mas. Kakak...kembalilah, Kak...", lanjutnya. Â