Mohon tunggu...
Fabian Satya Rabani
Fabian Satya Rabani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar, model, dan atlet

Hobi bermain musik, membaca, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ikut Sedih, Chintya

30 November 2023   21:25 Diperbarui: 30 November 2023   22:30 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Tidak lama di ladang. Kami pulang berjalan kaki lagi. Dalam perjalanan, beberapa kali kami bertemu orang-orang di Desa Ngijoharjo ini. Mereka begitu ramah. "Dari mana, Nduk?" "Ayo mampir ke rumah saya, Mbak!" dan kata-kata sapaan lain senantiasa kudengar. 

      Kemudian, aku membantu Pak Margono memasak. Ingin mencoba menggunakan tungku. Salama ini aku belum pernah memasak dengan tungku. Ada dua tungku di dapur ini. Tak jauh dari tungku ada tumpukan kayu kering di lantai dapur. Menyalakan apinya dimulai dari memasukkan kayu. Pada bagian bawah diberi daun kelapa kering. Lalu, daun kelapa dinyalakan.

      "Habis makan siang ini, apakah kalian mau jalan-jalan?" kata Mas Agus. Tentunya aku dan Chintya sangat setuju. Kami mengusulkan mengunjungi rumah yang ditempati Ella dan Sasa. Mereka masih sedesa dengan kami.  Kami semua sepakat.

      Kami melewati jalan tanah, naik dan turun tebing. Kanan kiri jalan tumbuh pohon jati yang daunnya mulai bersemi. Banyak ulat bergelantungan dengan sulurnya. Sebagian daun jati tinggal rangka dimakan ulat. Tadinya aku takut dan jijik melihat ulat-ulat daun jati ini. Namun, Mas Agus meyakinkan kami bahwa ulat-ulat ini tidak berbahaya. Bahkan, ulat-ulat dan kepompongnya sangat gurih jika digoreng. Penduduk di sini memanfaatkan ulat ini untuk lauk.

      Kulihat  Chintya dan Mas Agus cukup romantis. Chintya sering memegang pundak Mas Agus jika di depannya ada ulat jati. Atau kadang tangan mereka berpegangan saat  jalan nanjak. Chintya begitu antausias menanggapi perkataan Mas Agus. Chintya terlihat begitu menikmati perjalanan ini.

      Pemandangan begitu indah. Udara bersih dan segar. Jauh dari kebisingan kendaraan. Suara burung kutilang dan derkuku menyejukkan jiwa. Ada suara unik di pohon. Kata Mas Agus, itu suara gareng pung. Setelah lebih dari 40 menit berjalan, kami menemui jalan beraspal.  Di depan terlihat dua rumah yang besar, tinggi, dan bagus. Temboknya bercat kuning. Atas atap terpasang parabola. Di garasi terparkir minibus  dan pick up hitam.

      Sesampai di teras, kami disambut ramah oleh pemilik rumah. Lantai rumah ini semua sudah keramik. Tata ruang dan fasilitas rumah terlihat lebih bagus dari rumahku di Bandung. Di atas meja ruang tamu tersedia beberapa kue. Tak lama kemudian kami dibuatkan teh manis.

      Banyak hal kami obrolkan. Bu Darno menceritakan bahwa mereka punya dua anak dan semua bekerja di Jakarta. Setelah pensiun, Pak Darno beternak sapi. Ada dua karyawan yang membantunya.

     Pak Darno menawari kami berempat jalan-jalan. Kami akan diantar menggunakan mobilnya.

     "Biarlah Mas Sutimin yang bawa mobilnya," kata Bu Darno. Mas Sutimin adalah salah satu karyawan mereka. Kami berempat mengangguk tanda sejutu.

      Hari sudah sore. Kami kembali pulang ke rumah Pak Margono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun